Minggu, 31 Mei 2009

Konflik Antar Elit

Konflik Antar Elit

Konflik Elit Lokal
Konflik mengandung pengertian "benturan ", seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama. Ada berbagai teori penyebab konflik, misalnya teori hubungan masyarakat mengganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sedangkan teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan-perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Selanjutnya teori elit memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori: (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elite) (Varma, 1987:199).
Konsep dasar teori elit mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the rulling class) selain ada elit yang berkuasa (the rulling elit) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini massa memegang sejenis kontrol jarak jauh atas elit yang berkuasa, tetapi karena mereka tidak begitu acuh dengn permainan kekuasaan, maka tidak bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya
Nurhasim (2005) membagi elit ke dalam dua kategori yaitu: (1) elit politik lokal; dan (2) elit non-politik lokal. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Contoh Elit politik: gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik. Elit non-politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Konflik biasanya merujuk pada keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok dengan identitas yang jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu atau lebih kelompok lain karena kelompok-kelompok ini mengejar atau berusaha mencapai tujuan. Pertentangan tersebut polanya dapat hanya sebatas pertentangan nilai, atau menyangkut klaim terhadap status (jabatan politik), kekuasaan, dan atau sumberdaya-sumberdaya yang terbatas; serta dalam prosesnya seringkali ditandai oleh adanya upaya dari masing-masing pihak untuk saling menetralisasi, menyederai, hingga mengeliminasi posisi/eksistensi rival/lawannya. Konflik akan merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masing-masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama, atau setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya ke posisi yang lebih tersubordinasi.
Untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan politiknya, konflik elit politik dapat dipahami dari berbagai dimensi, yaitu: dari pengertian konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antar kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Pengertian konflik di sini merujuk pada hubungan antar kekuatan politik (kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Selain itu ada faktor struktur masyarakat yang mengandung deprivasi relatif yang belum menopang upaya pengembangan kohesi dan integrasi sosial.
Apabila dari sisi sirkulasi elit, maka sirkulasi elit konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antar kelompok yang berbeda serta antara kelompok penguasa dengan kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: pertama, pergantian terjadi di antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri; dan kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainnya. Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuannya dan orang luar di kelas tersebut menunjukkan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas penguasa yang baru. Atas dasar dua model sirkulasi tersebut, persaingan dan konflik bisa terjadi antar kelompok yang memerintah maupun antar kelompok pemerintah dengan kelompok tandingan yang ingin berkuasa. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti: organisasi dan jumlah uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.
Menurut Loomis (Liliweri, 2005), konflik terjadi dalam setiap proses dari peristiwa hubungan antarmanusia. Hubungan antarmanusia dapat terjadi di mana dan kapan saja, mulai dari level antarpribdai, antarkelompok, antarkomunitas, sampai antarbangsa. Dengan demikian, frekuensi situasi konflik selalu terjadi mulai dari skala kecil sampai skala luas dalam suatu masyarakat antara pelbagai pihak, didorong oleh faktor perbedaan etnik, ras, agama, ekonomi. Semua ini tumbuh karena perbedaan nilai, keyakinan dan kepercayaan, serta sikap terhadap isu.
Menurut Liliwweri (2005) yang dimaksud dengan konflik adalah: (1) bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan; (2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan; (3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya; (4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat perasaan dan fisik orang lain terganggu; (5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbaharui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok; (6) proses mendapatkan monopoli gajaran, kekuasaan, pemilikan dengan menyingkirkan atau melemahkan para pesaing; dan (7) suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa unsur-unsur konflik meliputi: (1) ada dua pihak atau lebih yang terlibat, jadi ada interaksi antara mereka yang terlibat; (2) ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik, tujuan itulah yang menjadi suber konflik; (3) ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan/sasaran; dan (4) ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan, ini meliputi situasi antar-pribadi, antar-kelompok, dan antar-organisasi (Berge, 1994; dalam Liliweri, 2005)
Menurut Liliweri (2005) terdapat beberapa tipe konflik yang dikelompokkan ke dalam 9 kategori, yakni:
1. Konflik sederhana;
Konflik masih dalam taraf emosi dan muncul dari perasaan perbedaan yang dimiliki oleh individu. Terdapat 4 tipe konflik sederhana, yaitu: (1) konflik personal versus diri sendiri, adalah konflik yang terjadi karena apa yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan; (2) konflik personal versus personal, adalah konflik antar-personal yang bersumber dari perbedaan karakter masing-masing personal; (3) konflik personal versus masyarakat, adalah konflik yang terjadi antara individu dan masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu kelompok atau keyakinan masyaraat atau perbedaan hukum; dan (4) konflik personal versus alam, adalah konflik yang terjadi antara keberadaan personal dan tekanan alam.
2. Konflik dalam organisasi;
Sekurang-kurangnya ada tiga tipe konflik dalam organisasi, yakni: (1) konflik tugas (task conflict), adalah konflik yang terjadibkarena anggota organisasi menghadapi ketidaksesuaian peran yang dia jalankan dengan status yang (terutama) diikuti dengan kemampuan, pengetahuan, pendidikan, keterampilan, dan lain-lain; (2) konflik antar-personal (interpersonal conflict), adalah konflik yang terjadi manakala hubungan antar-personal dalam organisasi terganggu karena ada ketidaksepakatan antarapersonal terhadap kebutuhan atau keinginan personal yang seharusnya dapat dipenuhi oleh organisasi; dan (3) konflik prosedural (procedural conflict), adalah konflik yang terjadi ketika anggota kelompok tidak sepakat tentang posedur yang mengatur tentang bagaimana kelompok mencapai tujuan organisasi.
3. Konflik berdasarkan sifat;
Tipologi konflik dapat dilihat dari sifat gerak-dinamika konflik. Dari segi dinamika, konflik berproses dari: (1) adanya keyakinan bahwa setiap konflik mempunyai struktu tertentu, dan struktur itu umumnya bersifat laten yang umumnya mempunyai karakteristik, sifat atau modus operandi yang relatif hampir sama dan berulang-ulang; (2) akibatnya, konflik laten berubah menjadi konflik yang nyata (manifes); dan (3) kadang-kadang sifat konflik itu tidak laten juga tidak manifes, melainkan datang sebagai sebuah peristiwa yang luar biasa karena tidak ada catatan modus operandi sebelumnya.
4. Konflik berdasarkan jenis peristiwa dan proses;
Berdasarkan jenis peristiwa, dikenal beberapa tipe konflik, yaitu: (1) konflik biasa, adalah konflik yang terjadi hanya karena kesalahpahaman akibat distorsi informasi, melibatkan hubungan antarpersonal yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi; (2) konflik luar biasa, adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operandi; (3) konflik zero-sum (game), adalah bentuk konflik yang hasilnya adalah satu pihak menang dan pihak lain kalah (win-lose); (4) konflik merusak, adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak sistem relasi sosial; (5) konflik yang dapat dipecahkan, adalah konflik substantif karena dapat dipecahkan melalui sebuah keputusan bersama.
5. Konflik berdasarkan faktor pendorong;
Konflik terjadi karena beragam faktor pendorong, yang secara psikologis dilakukan karena para pelaku konflik mengubah respons terhadap perubahan stimulus. Misalnya salah satu pihak mengubah atau membuat klarifikasi baru berupa gagasan yang ditujukan kepada pihak lawan. Ada beberapa kategori faktor pendorong yang memungkinkan kita menentukan tipe konflik berdasarkan: (1) konflik internal, timbul karena disposisi, respons, reaksi psikologis yang muncul dari dalam diri seseorang karena dia merasa kebutuhan atau keinginan pribadinya tidak dipenuhi.; (2) konflik ekssternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (3) konflik realistik, merupakan tipe konflik yang nyata, berstruktur, modus operandi-nya diketahui sehingga dapat dipecahkan; dan (4) konflik tidak realistik, terjadi karena konflik ini bersumber dari alasan yang tidak jelas, tidak nyata, karena sumber atau sifat konfliknya tidak berstruktu sehingga tidak mengetahui modus operndi-nya.
6. Konflik berdasarkan jenis ancaman;
Dimensi-dimensi konflik meliputi: (1) ancaman atau sengketa atas wilayah, misalnya batas-batas fisik (physical bonds); (2) batas-batas sosial (social bonds); (3) batas-batas wilayah kerja (works area bonds); dan (4) ancaman terhadap nilai, tujuan, kebijakan.
7. Konflik berdasarkan apa, kapan, di mana ia terjadi;
Potensi konflik sangat tergantung sejauh mana kebutuhan kita akan sumber daya dapat dibagi, dan pembagian tersebut sangat tergantung pada jumlah sumber yang disengketakan dengan jumlah individu atau kelompok yang akan mendapatkannya.
8. Konflik berdasarkan cara memandang peristiwa atau isu;
Konflik terjadi karena perbedaan struktur ekonomi (industri di kota, pertanian, dan lain-lain); perubahan skala waktu (perubahan yang cepat atau lambat terhadap suatu iklim sosial; pergantian penduduk dan nilai, misalnya komunitas rural harus berhadapan dengan penduduk baru dengan nilai, sikap, dan kepentingan yang timbul akibat adanya sekolah, gereja, struktur, dan pajak).
9. Konflik berdasarkan level pemerintahan.
Konflik berkaitan dengan atau merupakan akibat dari stratifikasi atau level kekuasaan dan wewenang organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta terhadap publik. Dalam pemerintahan, misalnya dikenal pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan pemerintahn desa. Setiap level pemerintahan mempunyai struktur penduduk yang berbeda, ada yang homogen dan ada yang heterogen. Perbedaan ini dapat menimbulkan konflik vertikal dengan pemerintah dan konflik horizontal antarkomunitas.

Resolusi Konflik
Galtung sebagaimana dikutip Tubagus (2001) menawarkan tiga model yang berkaitan satu sama lain yaitu peace keeping, peace building, dan peace making. Model peace keeping (operasi keamanan) yang melibatkan aparat keamanan dan militer perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi darpiada kuantitas. Karena itu lima hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini;
Pertama, inetraksi yang terjadi harus antara pihak-pihak yang memiliki kesejajaran status. Kedua, adanya dukungan dari lingkungan sosial. Ketiga komunikasi terjadi secara intim (bukan kasual). Kempat proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan keilma, ada tujuan yang hendak dicapai bersama.
Sedangkan peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan. Ada beberapa metode bisa dipilih pada tahapan negosiasi ini. Pertama, melalui kekerasan, kedua melalui hukum atau pendekatan konvensional. Pendekatan hukum akan efektif dilakukan pemerintah yang memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi, negara akan kehilangan kewenangan dan kewibawaan dalam mengelola negara termasuk rekonsiliasi sebagai bagian resolusi konflik.
Sedangkan menurut Liliweri (2005) paling tidak terdapat 12 model dalam penyelesaian konflik, yaitu: (1) Abandoning (meninggalkan konflik); (2) Avoiding (menghindari konflik); (3) Dominating (menguasai konflik); (4) Obliging (melayani konflik); (5) Getting Help (mencari pertolongan); (6) Humor (bersikap humoris); (7) Postponing (menunda penyelesaian); (8) Compromise (kompromi); (9) Integrating (mengintegrasikan); (10) Collaboration/problem solving (kerjasama dan memecahkan masalah); (11) Konfrontasi; dan (12) Akomodasi.
Albert Bandura menyusun beberapa cara pemecahan konflik di dalam kelompok, sebagai berikut:
Withdrawal, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan: (1) kami mengalah; (2) kami mendongkol; (3) kami keluar; (4) kami membentuk kelompok kami sendiri.
Subjugation atau Domination, artinya pihak atau orang yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya.
Majority Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menentukan keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi; pada hakekatnya majority rule ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.
Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub-kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah (halfway).
Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.

Konflik Antar Elit Lokal dalam PILKADA

ANALISIS TIPOLOGI KONFLIK ANTAR ELIT LOKAL DALAM PEMLIHAN WALIKOTA (PILWALI) KOTA  MALANG

Drs. Oman Sukmana, M.Si.[1]

Abstrak
           Kota Malang sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur, memiliki peran yang sangat strategis dan merupakan salah satu indikator  keberhasilan pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur. Oleh karena itu kajian tentang dinamika masyarakat dalam proses pelaksanaan Pilkada, khususnya tipologi konflik antar elit lokal di Kota Malang merupakan hal yang sangat penting.
      Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis tipologi konflik antr-elit lokal dalam proses Pilwali Kota Malang.  Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik analisa data menggunakan teknik deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data utama yang dilakukan adalah wawancara mendalam (indeepth interview),  observasi, dan dokumentasi. Lokasi penelitian ditentukan di kota Malang. Subjek penelitian ditentukan secara purvosive, yaitu  Tokoh Elit Lokal kota Malang yang meliputi: (1) Tokoh Partai; (2)  Tokoh Masyarakat; (3)  KPUD Kota Malang; (4)  Panwaslu Kota Malang; (5) LSM.
      Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tipe konflik yang terjadi antar-elit lokal dalam proses Pilkada kota Malang adalah meliputi: (1) Konflik prosedural (procedural conflict); (2) Konflik Sederhana, yaitu Personal versus personal; (3) Konflik ekssternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (4) Konflik eksternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; dan (5) Konflik dalam organisasi, yakni yang sifatnya Interpersonal conflict.  Sedangkan model resolusi konflik yang digunakan dalam penyelesaian konflik adalah: (1) Kompromi (Compromise); (2) Subjugation atau Domination; (3) Integration (integrasi); dan (4) Withdrawal (Pengunduran diri).

   
Kata kunci: Elit Lokal, Tipologi Konflik, Resolusi Konflik


1.      PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
     Sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Bupati, Walikota dan Gubernur secara langsung, di satu sisi merupakan media pengembangan demokrasi, namun di sisi lain merupakan potensi bagi munculnya konflik kepentingan antar berbagai elemen masyarakat terutama antar  elit lokal di daerah. Kasus di beberapa daerah di Indonesia, pelaksanaan Pilkada selalu ditandai dengan konflik sosial antar elit lokal. Memahami tentang konflik elit lokal dalam proses Pilkada merupakan aspek penting dalam rangka mengantisipasi dampak negatif  bagi masyarakat.
     Secara teoritis, sumber-sumber kekuasaan yang terbatas akan terus menjadi rebutan, walaupun memerlukan biaya yang mahal, dan dimungkinkan akan memunculkan konflik. Kekuasaan menjadi perhatian utama para elit politik. Dalam konteks pergantian kekuasaan sebagai akibat tuntutan demokrasi dari rezim lama kepada rezim baru, ternyata di beberapa daerah menimbulkan persoalan. Tajamnya perebutkan dan kepentingan politik antar kekuasaan politik maupun intra kekuasaan politik, mengakibatkan konflik yang seringkali tidak terhindarkan dalam perebutan jabatan-jabatan politik. Rivalitas politik, kadang-kadang bukanlah semata-mata sebagai akibat dari perbedaan persepsi, melainkan perbedaan kepentingan antar kekuasaan politik dalam memperbutkan sumber-su,ber kekuasaan di tingkat lokal. Selain itu, konflik yang terjadi mencerminkan sikap dan perilaku politik kekuatan politik lokal yang relatif masih ”belum matang”. Hal ini dicerminkan oleh belum ”bakunya” infrastruktur pemilihan pejabat publik yang seringkali kontroversial, dipersoalkan oleh partai politik dan aktor politik serta kadang-kadang ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh partai politik maupun anggota legislatif yang partainya kalah dalam pemilihan jabatan politik lokal.
     Perkembangan politik lokal, sebenarnya cukup menarik karena selama masa pemerintahan otoriter di bawah rezim orde baru dan orde reformasi pemilihan kepala daerah selalu saja dikuasai dan ditentukan oles sekelompok elit di Jakarta maupun oleh sekelompok elit yang duduk di parlemen daerah. Dalam era otonomi daerah, proses suksesi kekuasaan Pemerintah daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat melalui proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Walaupun dalam implementasinya tidak jarang masih memunculkan konflik politik, namun yang jelas dalam proses Pilkada langsung telah terjadi interaksi politik antara elit politik dengan rakyat. Pergantian elit lokal, kadang-kadang menyebabkan terjadinya konflik, apalagi rakyat yang kehilangan identaitas dan adanya ketidakadilan struktural akan mudah dimobiliasai kearah konflik.
    Sumber konflik berasal dari ketidaksiapan elit politik dalam berkompetisi secara sehat maupun ketidaksiapan elit untuk dapat menerima kekalahan. Konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh kekusaaan yang lebih besar, atau kekhawatiran akan kehilangan kekuasaan. Kekusaaan memiliki beberapa pengertian, yakni: kekuatan, legitimasi, otoritas, atau kemampuan untuk memaksa.
      Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis tipologi konflik antr-elit lokal dalam proses Pilwali Kota Malang.  Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik analisa data menggunakan teknik deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data utama yang dilakukan adalah wawancara mendalam (indeepth interview),  observasi, dan dokumentasi. Lokasi penelitian ditentukan di kota Malang. Subjek penelitian ditentukan secara purvosive, yaitu  Tokoh Elit Lokal kota Malang yang meliputi: (1) Tokoh Partai; (2) Tokoh Masyarakat; (3) KPUD Kota Malang; (4) Panwaslu Kota Malang; dan (5) LSM.
      Kota Malang sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur, memiliki peran yang sangat strategis dan merupakan salah satu indikator  keberhasilan pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur. Oleh karena itu kajian tentang dinamika masyarakat dalam proses pelaksanaan Pilkada, khususnya tipologi konflik antar elit lokal di Kota Malang merupakan hal yang sangat penting.

1.2.      Rumusan Masalah
      Fokus penelitian  ini adalah tentang Analisis Tipologi Konflik Antar Elit Lokal di Kota Malang. Dari hasil penelitian ini akan diperoleh informasi tipologi, jenis, sifat dan resolusi konflik antar elit lokal di kota Malang dalam proses pelaksanaa Pemilihan Walikota Malang. Hasil penelitian juga dapat dikembangkan sebagai bahan bagi kajian disiplin Psikologi Sosial dan Ilmu Kesejahteran Sosial, terutama dalam mengembangkan konsep resolusi konflik sosial.
     Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis tentang koflik antar-elit lokal dalam proses Pilwali di Kota Malang.  Untuk membatasi lingkup penelitian, maka masalah penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek berikut:
(1)  Siapakah  tokoh dan kelompok elit lokal dalam proses Pilwali di Kota Malang?
(2)  Bagaimanakah jenis dan tipe konflik antar-elit lokal dalam proses Pilwali di kota Malang?
(3)  Bagaimanakah konsep elit lokal dalam proses resolusi konflik sosial di Kota Malang?
(4)  Bagaimanakah Tipologi konflik antar-elit lokal di kota Malang?

1.3. Tujuan Penelitian
       Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis tentang koflik antar-elit lokal dalam proses Pilwali di Kota Malang.  Secara rinci maka tujuan  penelitian ini adalah untuk:
(1)
Mengetahui dan mengidentifikasi   tokoh dan kelompok elit lokal dalam proses Pilwali di Kota Malang,
(2)
Untuk menggambarkan dan mengidetifikasi tentang jenis dan tipe konflik antar-elit lokal dalam proses Pilwali di kota Malang,
(3)
Menganalisis bagaimana konsep elit lokal dalam proses resolusi konflik sosial di Kota Malang, serta
(4)
Menganalisis tentang  Tipologi konflik antar-elit lokal di kota Malang.

2.     TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konflik Elit Lokal
Konflik mengandung pengertian "benturan ", seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama. Ada berbagai teori penyebab konflik, misalnya teori hubungan masyarakat mengganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sedangkan teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan-perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Selanjutnya teori elit memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori: (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elite) (Varma, 1987:199).
   Konsep dasar teori elit mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the rulling class) selain ada elit yang berkuasa (the rulling elit) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini massa memegang sejenis kontrol jarak jauh atas elit yang berkuasa, tetapi karena mereka tidak begitu acuh dengn permainan kekuasaan, maka tidak bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya
   Nurhasim (2005) membagi elit ke dalam dua kategori yaitu: (1) elit politik lokal; dan (2) elit non-politik lokal. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Contoh Elit politik: gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik. Elit non-politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Konflik biasanya merujuk pada keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok dengan identitas yang jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu atau lebih kelompok lain karena kelompok-kelompok ini mengejar atau berusaha mencapai tujuan. Pertentangan tersebut polanya dapat hanya sebatas pertentangan nilai, atau menyangkut klaim terhadap status (jabatan politik), kekuasaan, dan atau sumberdaya-sumberdaya yang terbatas; serta dalam prosesnya seringkali ditandai oleh adanya upaya dari masing-masing pihak untuk saling menetralisasi, menyederai, hingga mengeliminasi posisi/eksistensi rival/lawannya. Konflik akan merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masing-masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama, atau setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya ke posisi yang lebih tersubordinasi.
Untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan politiknya, konflik elit politik dapat dipahami dari berbagai dimensi, yaitu: dari pengertian konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antar kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Pengertian konflik di sini merujuk pada hubungan antar kekuatan politik (kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Selain itu ada faktor struktur masyarakat yang mengandung deprivasi relatif yang belum menopang upaya pengembangan kohesi dan integrasi sosial.
Apabila dari sisi sirkulasi elit, maka sirkulasi elit konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antar kelompok yang berbeda serta antara kelompok penguasa dengan kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: pertama, pergantian terjadi di antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri; dan kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainnya. Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuannya dan orang luar di kelas tersebut menunjukkan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas penguasa yang baru. Atas dasar dua model sirkulasi tersebut, persaingan dan konflik bisa terjadi antar kelompok yang memerintah maupun antar kelompok pemerintah dengan kelompok tandingan yang ingin berkuasa. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti: organisasi dan jumlah uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.
      Menurut Loomis (Liliweri, 2005), konflik terjadi dalam setiap proses dari peristiwa hubungan antarmanusia. Hubungan antarmanusia dapat terjadi di mana dan kapan saja, mulai dari level antarpribdai, antarkelompok, antarkomunitas, sampai antarbangsa. Dengan demikian, frekuensi situasi konflik selalu terjadi mulai dari skala kecil sampai skala luas dalam suatu masyarakat antara pelbagai pihak, didorong oleh faktor perbedaan etnik, ras, agama, ekonomi. Semua ini tumbuh karena perbedaan nilai, keyakinan dan kepercayaan, serta sikap terhadap isu.
     Menurut Liliwweri (2005) yang dimaksud dengan konflik adalah: (1) bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan; (2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan; (3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya; (4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat perasaan dan fisik orang lain terganggu; (5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbaharui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok; (6) proses mendapatkan monopoli gajaran, kekuasaan, pemilikan dengan menyingkirkan atau melemahkan para pesaing; dan (7) suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis.
     Selanjutnya dijelaskan bahwa unsur-unsur konflik meliputi: (1) ada dua pihak atau lebih yang terlibat, jadi ada interaksi antara mereka yang terlibat; (2) ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik, tujuan itulah yang menjadi suber konflik; (3) ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan/sasaran; dan (4) ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan, ini meliputi situasi antar-pribadi, antar-kelompok, dan antar-organisasi (Berge, 1994; dalam Liliweri, 2005)
      Menurut Liliweri (2005)  terdapat beberapa tipe konflik yang dikelompokkan ke dalam 9 kategori, yakni:
1.  Konflik sederhana;
     Konflik masih dalam taraf emosi  dan muncul dari perasaan perbedaan yang dimiliki oleh individu. Terdapat 4 tipe konflik sederhana, yaitu: (1) konflik personal versus diri sendiri, adalah konflik yang terjadi karena apa yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan; (2) konflik personal versus personal, adalah konflik antar-personal yang bersumber dari perbedaan karakter masing-masing personal; (3) konflik personal versus masyarakat, adalah konflik yang terjadi antara individu dan masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu kelompok atau keyakinan masyaraat atau perbedaan hukum; dan (4) konflik personal versus alam, adalah konflik yang terjadi antara keberadaan personal dan tekanan alam.
2.  Konflik dalam organisasi;
     Sekurang-kurangnya ada tiga tipe konflik dalam organisasi, yakni: (1) konflik tugas (task conflict), adalah konflik yang terjadibkarena anggota organisasi menghadapi ketidaksesuaian peran yang dia jalankan dengan status yang (terutama) diikuti dengan kemampuan, pengetahuan, pendidikan, keterampilan, dan lain-lain; (2)  konflik antar-personal (interpersonal conflict), adalah  konflik yang terjadi manakala hubungan antar-personal dalam organisasi terganggu karena ada ketidaksepakatan antarapersonal terhadap kebutuhan atau keinginan personal yang seharusnya dapat dipenuhi oleh organisasi; dan (3) konflik prosedural (procedural conflict), adalah konflik yang terjadi ketika anggota kelompok tidak sepakat tentang posedur yang mengatur tentang bagaimana kelompok mencapai tujuan organisasi.
3.  Konflik berdasarkan sifat;
     Tipologi konflik dapat dilihat dari sifat gerak-dinamika konflik. Dari segi dinamika, konflik berproses dari: (1) adanya keyakinan bahwa setiap konflik mempunyai struktu tertentu, dan struktur itu umumnya bersifat laten yang umumnya mempunyai karakteristik, sifat atau modus operandi yang relatif hampir sama dan berulang-ulang; (2)  akibatnya, konflik laten berubah menjadi konflik yang nyata (manifes); dan (3) kadang-kadang sifat konflik itu tidak laten juga tidak manifes, melainkan datang sebagai sebuah peristiwa yang luar biasa karena tidak ada catatan modus operandi sebelumnya.
4.  Konflik berdasarkan jenis peristiwa dan proses;
     Berdasarkan jenis peristiwa, dikenal beberapa tipe konflik, yaitu: (1) konflik biasa, adalah konflik yang terjadi hanya karena kesalahpahaman akibat distorsi informasi, melibatkan hubungan antarpersonal yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi; (2)  konflik luar biasa, adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operandi; (3) konflik zero-sum (game), adalah bentuk konflik yang hasilnya adalah satu pihak menang dan pihak lain kalah (win-lose); (4) konflik merusak, adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak sistem relasi sosial; (5) konflik yang dapat dipecahkan, adalah konflik substantif karena dapat dipecahkan melalui sebuah keputusan bersama.
5.  Konflik berdasarkan faktor pendorong;
     Konflik terjadi karena beragam faktor pendorong, yang secara psikologis dilakukan karena para pelaku konflik mengubah respons terhadap perubahan stimulus. Misalnya salah satu pihak mengubah atau membuat klarifikasi baru berupa gagasan yang ditujukan kepada pihak lawan. Ada beberapa kategori faktor pendorong yang memungkinkan kita menentukan tipe konflik berdasarkan: (1) konflik internal, timbul karena disposisi, respons, reaksi psikologis yang muncul dari dalam diri seseorang karena dia merasa kebutuhan atau keinginan pribadinya tidak dipenuhi.; (2) konflik ekssternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (3) konflik realistik, merupakan tipe konflik yang nyata, berstruktur, modus operandi-nya diketahui sehingga dapat dipecahkan; dan (4) konflik tidak realistik, terjadi karena konflik ini bersumber dari alasan yang tidak jelas, tidak nyata, karena sumber atau sifat konfliknya tidak berstruktu sehingga tidak mengetahui modus operndi-nya.
6.  Konflik berdasarkan jenis ancaman;
     Dimensi-dimensi konflik meliputi: (1) ancaman atau sengketa atas wilayah, misalnya batas-batas fisik (physical bonds); (2) batas-batas sosial (social bonds); (3) batas-batas wilayah kerja (works area bonds); dan (4) ancaman terhadap nilai, tujuan, kebijakan.
7.  Konflik berdasarkan apa, kapan, di mana ia terjadi;
     Potensi konflik sangat tergantung sejauh mana kebutuhan kita akan sumber daya dapat dibagi, dan pembagian tersebut sangat tergantung pada jumlah sumber yang disengketakan dengan jumlah individu atau kelompok yang akan mendapatkannya.
8.  Konflik berdasarkan cara memandang peristiwa atau isu;
     Konflik terjadi karena perbedaan struktur ekonomi (industri di kota, pertanian, dan lain-lain); perubahan skala waktu (perubahan yang cepat atau lambat terhadap suatu iklim sosial; pergantian penduduk dan nilai, misalnya komunitas rural harus berhadapan dengan penduduk baru dengan nilai, sikap, dan kepentingan yang timbul akibat adanya sekolah, gereja, struktur, dan pajak).
9.  Konflik berdasarkan level pemerintahan.
     Konflik berkaitan dengan atau merupakan akibat dari stratifikasi atau level kekuasaan dan wewenang organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta terhadap publik. Dalam pemerintahan, misalnya dikenal pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan pemerintahn desa. Setiap level pemerintahan mempunyai struktur penduduk yang berbeda, ada yang homogen dan ada yang heterogen. Perbedaan ini dapat menimbulkan konflik vertikal dengan pemerintah dan konflik horizontal antarkomunitas.

2.2.    Resolusi Konflik
      Galtung sebagaimana dikutip Tubagus (2001) menawarkan tiga model yang berkaitan satu sama lain yaitu peace keeping, peace building, dan peace making. Model peace keeping (operasi keamanan) yang melibatkan aparat keamanan dan militer perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi darpiada kuantitas. Karena itu lima hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini;
      Pertama, inetraksi yang terjadi harus antara pihak-pihak yang memiliki kesejajaran status. Kedua, adanya dukungan dari lingkungan sosial. Ketiga komunikasi terjadi secara intim (bukan kasual). Kempat proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan keilma, ada tujuan yang hendak dicapai bersama.
      Sedangkan peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan. Ada beberapa metode bisa dipilih pada tahapan negosiasi ini. Pertama, melalui kekerasan, kedua melalui hukum atau pendekatan konvensional. Pendekatan hukum akan efektif dilakukan pemerintah yang memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi, negara akan kehilangan kewenangan dan kewibawaan dalam mengelola negara termasuk rekonsiliasi sebagai bagian resolusi konflik.
      Sedangkan menurut Liliweri (2005) paling tidak terdapat 12 model dalam penyelesaian konflik, yaitu: (1) Abandoning (meninggalkan konflik); (2) Avoiding (menghindari konflik); (3) Dominating (menguasai konflik); (4) Obliging (melayani konflik); (5) Getting Help (mencari pertolongan); (6) Humor (bersikap humoris); (7) Postponing (menunda penyelesaian); (8) Compromise (kompromi); (9) Integrating (mengintegrasikan); (10) Collaboration/problem solving (kerjasama dan memecahkan masalah); (11) Konfrontasi;  dan (12) Akomodasi.
      Albert Bandura menyusun beberapa cara pemecahan konflik di dalam kelompok, sebagai berikut:
  1. Withdrawal, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan: (1) kami mengalah; (2) kami mendongkol; (3) kami keluar;  (4) kami membentuk kelompok kami sendiri.
  2. Subjugation atau Domination, artinya pihak atau orang yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya.
  3. Majority Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menentukan keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi; pada hakekatnya majority rule ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.
  4. Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
  5. Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub-kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah (halfway).
  6. Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.


3. METODOLOGI PENELITIAN
     Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif,  pendekatan penelitian utama yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, sehingga data utama bersifat kualitatif. Lokasi penelitian di kota Malang. Subjek penelitian ditentukan secara purvosive, yaitu  Tokoh Elit Lokal kota Malang yang meliputi: (1) Tokoh Partai; (2) Tokoh Masyarakat; (3) KPUD Kota Malang; (4)  Panwaslu Kota Malang; dan (5) LSM. Proses pengumpulan data menggunakan 2 (dua) metode pokok yang saling berkaitan dan melengkapi, yaitu :  (1) Indeept Interviewdan  (2) Teknik Dokumentasi. 

4.  HASIL DAN PEMBAHASAN
 Berdasarkan data hasil penelitian, maka secara umum dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Hampir semua calon walikota memiliki posisi yang penting dalam jabatan partai, jabatan politik, dan posisi penting dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Nurhasim (2005) bahwa  elit lokal dibagi  ke dalam dua kategori yaitu: (1) elit politik lokal; dan (2) elit non-politik lokal. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Contoh Elit politik: gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik. Elit non-politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
      Tokoh elit politik lokal yang muncul sebagai kekuatan politik untuk  berkompetisi dalam memperebutkan jabatan politik eksekutif  sebagai Walikota Malang pada proses Pilwali Kota Malang tahun 2008 adalah: (1) Aries Pudjangkoro; (2) Mohan Katelu; (3) Fathol Arifin; (4) Subur Triono; (5) Peni Suparto; (6) Bambang Priyo Utomo; (7) Hasanudin Latif; (8) Arif Darmawan; (9) Ahmad Subchan; dan (10) Noor Chozin.   Sedangkan kekuatan Partai Politik politik yang muncul sebagai partai pengusung calon Walikota Malang pada pada proses Pilwali Kota Malang tahun 2008 adalah: (1) Partai Golkar; (2) Partai Amanat Nasional (PAN); (3) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); (4) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); (5) Partai Demokrat (PD); dan (6) Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
      Pihak-pihak yang berkonflik dalam Piilkada Kota Malang meliputi: (1) Hasanudin Latif & Arif Darmawan (HATI) Vs KPUD; (2) Panwaslu Kota Malang vsTim kampanye Peni Suparto & Bambang Priyo Utomo (IYO); (3) Panwas vs Pasangan Fathol Arifin & Subur Triono (FAIS); (4) Panwas vs Semua Pasangan Calon; (5) Aries Pudjangkoro vs Agus Sukamto; (6) Aries Pudjangkoro vs Kelompok Anti-Aris Pudjangkoro; (7) Kelompok Pro-Aries Pudjangkoro vs Kelompok Anti-Aris Pudjangkoro; (8) Fathol Arifin & Pengurus DPC PKB Kota Malang; dan (9) Pengurus PC Partai Demokrat Kota Malang vs Subur Triono.
      Secara umum tipe konflik yang terjadi antar-elit lokal dalam proses Pilkada kota Malang adalah meliputi: (1) Konflik prosedural (procedural conflict); (2) Konflik Sederhana, yaitu Personal versus personal; (3) Konflik ekssternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (4) Konflik eksternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; dan (5) Konflik dalam organisasi, yakni yang sifatnya Interpersonal conflict.
      Sedangkan model resolusi konflik yang digunakan dalam penyelesaian konflik adalah: (1) Kompromi (Compromise); (2) Subjugation atau Domination; (3) Integration (integrasi); dan (4) Withdrawal (Pengunduran diri).
TABEL :
ANALISIS KONSEP ELIT  LOKAL
DALAM RESOLUSI KONFLIK
PADA PILWALI KOTA MALANG 2008

No.
Pihak Elit Lokal yang berkonflik
Konsep Resolusi Konflik
Model Resolusi Konflik
1.
Hasanudin Latif & Arif Darmawan (HATI)
Vs
KPUD
Pelanggaran harus diselesaikan secara hukum untuk menyadarkan masyarakat. Penyelesaian konflik diserahkan kepada hasil dari proses penyidikan kepolisian.
Kompromi (Compromise) karena tidak cukup bukti.
2.
Panwaslu Kota Malang
 vs
Tim kampanye Peni Suparto & Bambang Priyo Utomo (IYO)
Panwas melakukan  pengumpulan bukti untuk proses hukum. Panwas tidak menemukan bukti adanya pelanggaran.
Withdrawal, yaitu Panwaslu Kota Malang tidak melanjutkan proses hukum.
3.
Panwas vs
Pasangan Fathol Arifin & Subur Triono (FAIS)
Panwas menyatakan bahwa kampanye harus dilaksanakan sesuai dengan jadwal waktu yang sudah ditetapkan. Setiap pelanggaran terhadp jadwal kampanye harus ditindak.
Subjugation atau Domination, artinya pihak atau orang yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya.

4.
Panwas vs Semua Pasangan Calon
Panwas menyatakan bahwa semua pasangan calon walikota melakukan pelanggaran Pilkada, sehingga harus diproses sesuai aturan.
Kompromi (Compromise) karena tidak cukup bukti.

5.
Aries Pudjangkoro vs
Agus Sukamto
Menurut Agus Sukamto, Aris Pudjangkoro telah melakukan pelanggaran hukum karena telah memberikan informasi fiktif sehingga harus diproses secara hukum. 
Kompromi (Compromise) karena tidak cukup bukti.

6.
Aries Pudjangkoro vs Kelompok Anti-Aris Pudjangkoro
Kelompok anti-Aries Pudjangkoro berpendapat bahwa harus diselenggarakan Musdalub (Musyawarah Daerah Luar Biasa) partai Golkar Kota Malang untuk meminta pertanggungjawaban Arise Pudjangkoro sebagai ketua DPC Partai Golkar Kota Malang.
Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
7.
Kelompok Pro-Aries Pudjangkoro vs Kelompok Anti-Aris Pudjangkoro
Kelompok Pro-Aries Pudjangkoro melakukan apel kesetiaan dan melakukan demonstrasi yang mengecam kelompok anti-Aries Pudjangkoro.
Subjugation atau Domination, dan Kompromi (compromise).

8.
Fathol Arifin & Pengurus DPC PKB Kota Malang vs Taufik Imam Santoso
Taufik Imam Santoso melaporkan Fathol Arifin dan tiga orang pengurus DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Malang ke Polresta Malang karena dianggap telah melakukan penipuan.
Kompromi (Compromise) karena tidak cukup bukti.

9.
Pengurus PC Partai Demokrat Kota Malang vs Subur Triono
Pengurus Partai Demokrat memecat Subur Triono dari keanggotaan Partai Demokrat (PD) Kota Malang.  Subur Triono keluar dari keanggotaan Partai Demokrat (PD) Kota Malang dan bergabung dengan PAN kota Malang.
Withdrawal, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan keluar dari  kelompok.



5.      KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.  Kesimpulan
       Tipologi konflik yang terjadi antar-elit lokal dalam proses Pilkada kota Malang adalah meliputi: (1) Konflik prosedural (procedural conflict); (2) Konflik Sederhana, yaitu Personal versus personal; (3) Konflik ekssternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (4) Konflik eksternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; dan (5) Konflik dalam organisasi, yakni yang sifatnya Interpersonal conflict.  Sedangkan model resolusi konflik yang digunakan dalam penyelesaian konflik adalah: (1) Kompromi (Compromise); (2) Subjugation atau Domination; (3) Integration (integrasi); dan (4) Withdrawal (Pengunduran diri).

5.2.   Saran
          Konflik antar-elit lokal yang terjadi dalam proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  Kota Malang tahun 2008 masih dalam konteks yang wajar dan terkendali. Kesadaran dan komitmen dari elit local kota Malang merupakan aspek yang penting dalam upaya resolusi konflik. Oleh karena itu perlu ditingkatkan dan dijaga terus kesadaran dan komitmen dari seluruh elit local di kota Malang ini

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini  dibiayai oleh Lemlit UMM melalui  Proyek DPP UMM
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor: E.d/692/BAA-UMM/VIII/2008
Tanggal, 7 Agustus 2008
Terimkasih kepada Rektor UMM dan Kepala Lemlit UMM.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depan. Yogyakarta: Qalam.

Alfian, dalam pengantar buku Bottomore yang diterjemahkan oleh Abdul Haris, 2006 : Elite dan Masyarakat, Akbar Tanjung Institute, Jakarta.

Budiarjo, Miriam. 1991. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan.

Fakih, Mansour. 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haryanto. 1990. Elit, Massa dan   konflik. Yogyakarta:  Pusat Antar Universitas-Studi sosial, UGM.

Irwanto. 1998. Focus Group Discussion :Suatu Pengantar Praktis. Jakarta : Pusat kajian pembangunan masyarakat - Unika Atmajaya.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS.

Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mardalis. 1998. Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.

Nurhasim, Moch. (ed.). 2005. Konflik Antar Elit Lokal dalam Pemilihan Kepala Daera. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pruitt, Dean G., & Rubin, Jeffrey Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rauf, Maswadi & Nasrun, Mappa (ed.). 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.
Rush, Michael & Althoff, Philip. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: RajaGrafindo.

Sairin, Sjafri. 2001. Kredibilitas Pemimpin dalam Model Budaya Yogyakarta. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial “Madani”, Vol. 2, No. 3, Oktober 2001, ISSN 1411-5417.

Salim, Agus (Peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sanapiah Faisal. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Singarimbun, Masri, & Sofian Effendi (ed.). 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Sidel, John T.  2005.  Bosisme dan   Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia : Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang Orang Kuat Lokal. Jakarta: Demos.

Soerjono Soekamto. 1986. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press.

Varna, S.P. 1987. Teori Politik Modern.  Jakarta: Rajawali Press.


*****




[1] Drs. Oman Sukmana, M.Si., adalah dosen Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.