ADVOKASI
LSM DAN INTERVENSI PEMERINTAH
DALAM
PROSES REHABILITASI SOSIAL
BAGI
KORBAN BENCANA SEMBURAN LUMPUR LAPINDO
DI
SIDOARJO, JAWA TIMUR, INDONESIA
Oleh:
Oman
Sukmana
Program
Doktor Sosiologi, Fisipol-UGM
Dosen
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fisip-UMM
Abstraksi
Bencana semburan
lumpur Lapindo telah menimbulkan dampak fisik dan non-fisik yang luar biasa, sehingga menyebabkan krisis
bagi kehidupan sosial warga masyarakat di
Kecamatan Porong, dan sekitarnya. Untuk mengatasi dampak bencana lumpur
Lapindo, diperlukan bantuan advokasi LSM
dan intervensi pemerintah dalam berbagai bentuk program rehabilitasi sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana dampak
bencana lumpur Lapindo serta bagaimana peran advokasi LSM dan intervensi pemerintah
dalam proses rehabilitasi sosial bagi korban bencana lumpur Lapindo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bencana lumpur Lapindo telah menimbulkan dampak
fisik berupa hancurnya areal permukiman, persawahan, pertanian, dan
perindustrian seluas 1.071 ha, sekitar 16 desa dan 33 pabrik hancur, sekitar
48.983 jiwa harus mengungsi, dan 33 sekolah hancur, serta dampak non-fisik
seperti sosial, kesehatan, pendidikan, psikologis, perekonomian, dan
sebagainya. Advokasi sosial yang dilakukan LSM meliputi program pendampingan
dan upaya ligitasi. Sedangkan intervensi pemerintah dalam proses rehabilitasi
sosial bagi korban bencana lumpur Lapindo, tertuang dalam kebijakan sebagaimana
diatur melalui Peraturan Presiden
(Perpres), yakni: Perpres No. 14/2007, Perpres No. 48/2008, Perpres No.
40/2009, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Bentuk intervensi
pemerintah meliputi fasilitasi: kebijakan, kelembagaan, dan alokasi anggaran.
Kata Kunci: Advokasi, Intervensi, Rehabilitasi
Sosial, Bencana Lumpur Lapindo.
Pendahuluan
Tanggal 29 Mei 2006 menjadi awal munculnya bencana
semburan lumpur panas Lapindo. Lumpur panas dengan volume antara 100 ribu-150
ribu m3 per-hari, keluar dari
perut bumi dan menenggelamkan wilayah kawasan pemukiman, pertanian, dan
industri (Batubara & Utomo, 2012:3)[1].
Lokasi pusat semburan lumpur Lapindo berada di Kecamatan Porong, yakni
kecamatan di bagian selatan Kabupaten
Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Lokasi pusat semburan
berjarak sekitar 15 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan
sumur eksplorasi gas milik PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), sebagai operator
blok Brantas. Blok Brantas membentang dari wilayah Kabupaten Jombang,
Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan, di Provinsi Jawa Timur. Lokasi semburan
lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah
satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tidak jauh dari lokasi semburan
terdapat jalan Tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan jalan raya
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur Pantura Timur), serta jalur Kereta Api
lintas Timur Surabaya-Malang dan jalur Surabaya-Banyuwangi.
Menurut Prasetia dan Batubara (2010:40)[2],
bencana lumpur Lapindo adalah bencana yang sangat kompleks kalau dilihat dari
geneologi terjadinya bencana. Perdebatan teoritis melibatkan ahli dari seluruh
penjuru dunia. Umumnya pendapat para ahli terbelah menjadi dua kubu, yaitu
kalangan yang berpendapat bahwa bencana ini disebabkan oleh aktivitas
pengeboran pada sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1 (BJP-1) milik PT. LBI, dan
kalangan yang berpendapat bahwa bencana lumpur disebabkan oleh reaktivasi
patahan regional Watukosek akibat
adanya gempa bumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, 2 hari sebelum bencana
semburan lumpur Lapindo terjadi.
Pemerintah menetapkan bahwa fenomena seburan lumpur
Lapindo di Sidoarjo sebagai bencana alam. Berdasarkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 November 2007, menyatakan bahwa pemerintah dan
Lapindo tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan Pengadilan Tinggi
(PT) Jakarta pada tanggal 13 Juni 2008, yang isinya menguatkan putusan Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Pusat tanggal 27
Nopember 2007, bahwa adanya kejadian
Lumpur Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam lebih dominan, bukan sebagai
kesalahan manusia. Putusan Kasasi Mahkamah
Agung (MA), tanggal 3 April 2009, menyatakan
bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam dan bukan kesalahan industri dan
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Hingga tahun 2013, bencana lumpur Lapindo sudah
berjalan sekitar tujuh tahun. Namun semburan lumpur belum menunjukkan tanda-tanda
berhenti, meskipun volumenya sudah agak berkurang. Belum bisa dipastikan kapan
semburan lumpur akan berhenti. Menurut
Richard Davies dan kawan-kawan[3],
sulit untuk memprediksikan kapan kepastian semburan lumpur Lapindo akan
berhenti. Namun, menurutnya kemungkinan semburan tersebut akan padam
diprediksikan sekitar 26 tahun lagi[4]. Dengan
demikian, bencana semburan lumpur Lapindo diperkirakan akan berhenti pada tahun
2037.
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui dan
menggambarkan bagaimana dampak bencana lumpur Lapindo serta bagaimana bentuk
dan peran intervensi pemerintah dalam proses
rehabilitasi sosial terhadap korban bencana lumpur Lapindo.
Tinjauan Pustaka
Bencana dipandang sebagai suatu kondisi atau suatu
situasi, baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun alam, yang bersifat
mendadak maupun terjadi secara berangsur, yang menyebabkan kekacauan dan
kerugian secara meluas terhadap kehidupan, materi, serta lingkungan sedemikian
rupa sehingga melebihi kemampuan dari masyarakat korban untuk menangani dengan
menggunakan kemampuan sumber dayanya sendiri. Sejalan dengan pengertian
bencana, maka bencana social dipandang sebagai suatu situasi yang disebabkan
oleh perbuatan manusia, yang bersifat mendadak maupun terjadi secara berangsur,
yang menyebabkan kekacauan dan kerugian secara meluas terhadap kehidupan,
materi, serta lingkungan sedemikian rupa sehingga melebihi kemampuan dari
masyarakat korban untuk menanganinya dengan menggunakan kemampuan sumberdaya
sendiri. Bencana Sosial seperti ini dapat disebabkan oleh adanya konflik social
secara terbuka dan meluas, peperangan, atau kerusuhan social lainnya
(Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Depsos RI, 2004: 4-5)[5].
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan: (a) perbaikan lingkungan daerah
bencana; (b) perbaikan prasarana dan sarana umum; (c) pemberian bantuan
perbaikan rumah masyarakat; (d) pemulihan sosial psikologis; (e) pelayanan
kesehatan; (f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (g) pemulihan sosial ekonomi budaya;
(h) pemulihan keamanan dan ketertiban; (i) pemulihan fungsi pemerintahan; dan
(j) pemulihan fungsi pelayanan publik (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana).
Oleh karena dampak bencana social melebihi kemampuan
dari masyarakat korban untuk menanganinya dengan kemampuan sumberdaya sendiri,
maka dalam upaya rehabilitasi social diperlukan adanya advokasi (bantuan)
social dan intervensi (campurtangan) social dari pihak luar. Menurut Abdul
Hakim Nusantara (Miller & Covey, 2005:vii)[6],
advokasi diartikan sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi
dukungan. Pembelaan atau dukungan kepada kelompok masyarakat yang lemah itu
digiatkan oleh individu, kelompok, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
organisasi rakyat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah hak asasi
manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Dalam pengertian yang lebih luas, advokasi adalah suatu proses politik (political pocess) yang dilakukan
individu atau kelompok yang pada umumnya bertujuan untuk mempengaruhi kebijaka
public dan keputusan alokasi sumberdaya dalam politik, ekonomi, atau institusi
dan system social. Advokasi dapat meliputi berbagai aktivitas (bentuk), antara
lain seperti: Budget advocacy, Bureaucratic
advocacy, Health advocacy, Ideological advocacy, Interest-group
advocacy, Legislative advocacy, Mass advocacy, dan Media advocacy[7].
Samuel (2007:616)[8]
menyatakan bahwa advokasi public (public
advocacy) adalah seperangkat tindakan yang disengaja (deliberate actions) yang dirancang untuk mempengaruhi
kebijakan-kebijakan public (public
policies) atau sikap-sikap public (public
attitudes) dalam upaya memperdayakan pihak-pihak yang termarjinalisasi.
Perbedaan utama antara advocacy public (public
advocacy) dan advokasi yang berpusat pada manusia (people-centred advocacy) adalah bahwa tujuan dari
advokasi yang berpusat pada manusia (people-centred
advocacy) dalam rangka memberdayakan manusia, khususnya orang-orang yang
termarginalkan. Dalam konteks budaya demokrasi liberal, advokasi public
digunakan sebagai instrument dekorasi dengan menerapkan makna non-kekerasan (non-violent) dan konstitusional. Advokasi
publik sebagai proses politik yang digerakkan oleh nilai (value-driven political process), karena berusaha untuk
mempertanyakan dan merubah terjadinya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang
yang mengakibatkan orang termarjinalkan secara social, politik, dan ekonomi.
Proses advokasi dengan demikian meliputi: (1) menolak relasi kekuasaan yang
tidak seimbang dalam setiap level, termasuk patriarki (patriarchy), dari mulai
level personal hingga public, dari keluarga hingga pemerintahan; (2) melibatkan
lembaga pemerintah untuk memberdayakan pihak-pihak yang termarginalkan; (3)
menciptakan dan menggunakan “ruang” dalam system untuk suatu perubahan; (4)
stategi menggunakan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan
peluang-peluang (opportunitie) dalam mempengaruhi kebijakan public; dan (5)
memadukan aktivitas level-mikro dan inisiatif kebijakan level-makro.
Selanjutnya Samuel (2007:616)[9]
melakukan studi tentang proses advokasi di India. Menurut Samuel, dalam konteks
India, organisasi akar rumput dan mobilisasi (grassroots organization and mobilization) digunakan untuk membangun
kesadaran dan menuntut hak-hak sebagai warganegara, dan menjamin kredibilitas,
legitimasi, serta kekuatan tawar-menawar terhadap advokasi public. Di India,
salah satu tawaran dari advokasi public adalah penerapan legislasi keadilan
social (social-justice legislation)
dan program keamanan social (social-security
programmes). Legislasi progresif termasuk seperti: the Equal Remunertion Act, the
Dowry Prohibition Act, the Bonded
Labour Prohibition Act, dan the
Prevention of Atrocities against Scheduled Caste and Scheduled Tribe Act.
Para pihak
yang melakukan advokasi berangkat dari suatu pemahaman dan keyakinan bahwa
ketidakadilan yang menimpa kelompok masyarakat miskin atau kelompok masyarakat
tertindas, disebabkan oleh tatanan
social asimetris yang melahirkan hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang.
Hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang dan tidak demokratis itulah kemudian
memproduksi proses dan mekanisme pengambilan keputusan yang menyangkal
keikutsertaan masyarakat miskin (kelompok marjinal). Proses dan mekanisme
pengambilan keputusan yang tidak demokratis itu dengan sendirinya menghasilkan
berbagai kebijakan yang merugikan hak dan kepentingan masyarakat miskin
(kelompok marjinal). Dalam perspektif
itu advokasi merupakan suatu kegiatan yang direncanakan bersama oleh
kelompok-kelompok masyarakat untuk tujuan mentransformasi tata hubungan social
asimetris yang melahirkan hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak demoratis
menuju ke arah terwujudnya tatanan social yang simetris yang mendasari
hubungan-hubungan kekuasaan yang lebih demokratis dan adil. Ke arah tatanan
masyarakat ideal itulah kegiatan advokasi direncanakan dan dilakukan.
Dalam
konteks Indonesia, kegiatan-kegiatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi-organisasi rakyat meliputi berbagai
bentuk kegiatan advokasi seperti: pendidikan, penyadaran, dan pengorganisasian
kelompok-kelompok masyarakat miskin, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan
kegiatan ligitasi (gugatan) atau pembelaan hak-hak dan kepentingan kaum miskin
di depan pengadilan. Kegiatan lobby
ke pusat-pusat pengambilan keputusan berkenaan dengan pengelolaan lingkungan
hidup dilakukan oleh LSM-LSM yang bergerak di bidang advokasi hukum dan
lingkungan hidup, seperti Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi), dan banyak organisasi lingkungan hidup lainnya.
Demikian pula masyarakat konsumen Indonesia melalui Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia dan LSM konsumen lainnya telah sejak lama melakukan advokasi hak-hak
dan kepentingan masyarakat konsumen melalui program pendidikan dan penyadaran,
ligitasi, dan lobby ke pusat-pusat
pengambilan keputusan agar lahir suatu kebijakan yang responsive dan produktif
terhadap hak-hak konsumen.
Selanjutnya
Miller dan Covey (2005:13)[10]
menyatakan bahwa pendekatan terhadap advokasi dapat beraneka ragam tergantung
pada konteks politik di mana organisasi itu bekerja. Strategi-strategi advokasi
dapat beraneka ragam mulai dari pendekatan-pendekatan yang menekankan kerjasama
dengan pihak penguasa hingga pendekatan yang memusatkan perhatian pada
pendidikan dan himbauan, dan akhirnya sampai pada pendekatan yang secara
terbuka menentang dan menggunakan gabungan strategi-strategi yang saling
memperkuat. Misalnya, salah satu LSM yang bekerja di Afrika di bawah rezim
otoriter menggunakan pendekatan di belakang layar untuk menciptakan perubahan.
Di Filipina, dalam kasus Penataan Ulang Lahan Perkotaan dimana sebuah koalisi
luas LSM-LSM, asosiasi pemukiman, dan tokoh-tokoh utama gereja menggunakan
pendekatan yang berkisar dari demonstrasi di jalanan hingga jamuan makan yang
diadakan oleh uskup-uskup Katolik untuk komisi-komisi penting di Kongres dan
penyusunan rancangan undang-undang untuk komisi-komisi penting di Kongres. Di
Ekuador sebuah gerakan pribumi nasional yang kuat bekerjasama dengan
pendukung-pendukung gereja yang berkuasa serta LSM internasional yang penting
bersekutu untuk membatalkan undang-undang yang akan melenyapkan perlindungan
hokum atas lahan-lahan yang dimiliki oleh adat. Karena takut bahwa akhirnya
lahan mereka akan lenyap, gerakan kaum Indian itu menggunakan serangkaian luas
strategi dan taktik advokasi untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Pertama-tama
mereka meminta nasihat para anggota tentang dampak undang-undang itu,
mengumpulkan pengetahuan dan temuan-temuan akar rumput mereka dan kemudian
memobilisasi para anggota untuk membuka ruang politik bagi perundingan dengan
pemerintah. Untuk memperluas ruang itu, mereka memblokade jalan-jalan raya,
menduduki gedung-gedung pemerintahan, menimbulkan liputan media, menggunakan
system pengadilan untuk mendapatkan keputusan yang menguntungkan ketika tentara
campur tangan, dan berbicara dengan pejabat-pejabat bank utama di Washington.
Tindakan-tindakan ini pada akhirnya menjurus pada perundingan dengan presiden
negeri itu dan pemimpin pemerintah lainnya sehingga menghasilkan konsesi
penting yang melenyapkan sebagian besar segi-segi hukum yang tak tertahankan
itu.
Sementara
itu, intervensi social (social
intervention) mengacu kepada proses campur-tangan melalui perubahan relasi
social yang sedang berlangsung (Bennett, 1987:13)[11].
Proses intervensi social meliputi cara dimulainya perubahan, berkembang, dan
bertahan dalam dunia social (social world).
Menurut Parson (Bennet, 1987:13)[12],
intervensi social berkaitan dengan proses perubahan system (change of the system), bukan proses
perubahan dalam system (change within the
system). Perubahan system (change of
a system) menyangkut pergantian atau transformasi yang mencoba mengatasi
problem dalam system.
Menurut Loewenberg (1977:7)[13],
dalam konteks pekerjaan social, istilah intervensi social menekankan kepada
partisipasi aktif, bertujuan, dan direncanakan baik oleh klien maupun pekerja
sosial dalam setiap fase dari proses intervensi social. Aktivitas intervensi
merupakan respons atas kondisi terjadinya masalah spesifik atau sebagai upaya
untuk mencegah berkembangnya masalah pada individu, kelompok, atau masyarakat.
Selanjutnya Loewenberg (1977: 25)[14]
menyatakan bahwa proses-proses dari intervensi social meliputi: (1) Problem Recognition; (2) Request for Help; (3) Preliminary Assessment; (4) Problem Assessment and Goal Identification;
(5) Strategy Development; (6) Contract Negotiation; (7) Impelemntation of Strategy; (8) Feedback and Evaluation; dan (9) Termination.
Intervensi
kritis merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam upaya penanganan
(rehabilitasi) korban bencana sosial. Intervensi kritis, yaitu intervensi intervensi
yang bertujuan untuk memberikan sebanyak mungkin dukungan dan bantuan kepada
individu dan keluarganya, dalam rangka memungkinkan orang yang ditolong
mendapatkan kembali keseimbangan psikologis secepat mungkin (Buku Pedoman: Pola
Penanganan Korban Bencana Sosial di Indonesia, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Dirjen
Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos RI, 2004: 90). Menurut Roberts (Payne, 1997:
101), langkah-langkah dalam intervensi kritis meliputi: (1) assess
to risk and safety of clients and others; (2) establish rapport and appropriate communication with clients; (3) identity major problems; (4) deal with feelings and provide support;
(5) explore possible alternatives;
(6) formulate an action plan; and (7)
provide follow-up support.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan paradigma interpretif-konstruktivisme (constructivism-interpretive). Semua penelitian yang berciri
interpretif dipandu oleh seperangkat kepercayaan dan perasaan tentang dunia dan
bagaimana memahami serta mengkajinya (Denzim & Lincoln, 2009:16)[15].
Menurut Denzim dan Guba
(Salim, 2001:71)[16],
tujuan penelitian (inquiry aim) dari
paradigma interpretif-konstruktivisme adalah untuk mengadakan pemahaman dan
rekonstruksi social action. Menurut
Marvasti (2004:8)[17],
tujuan dari penelitian constructionism
adalah berkaitan dengan bagaimana variasi kultural dan situasional mewarnai
sebuah realitas (How
do situational and
cultural variations
shape reality). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Denzim dan Lincoln (2009:6)[18], kata
kualitatif menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara
ketat atau belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau
frekuensinya. Jenis atau metode penelitian yang digunakan adalah
fenomenologi. Menurut Denzim dan Guba (Salim, 2001:89)[19],
metode fenomenologi adalah merupakan salah satu metode dari penelitian dengan
pendekatan kualitatif. Demikian juga
Creswell (2007: 53)[20]
yang menyebutkan bahwa fenomenologi merupakan salah satu dari lima pendekatan
dalam inkuiri kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Dampak
Bencana Lumpur Lapindo:
Terjadinya
bencana semburan lumpur Lapindo pada tanggal 29 Mei 2006 telah menimbulkan
dampak bagi masyarakat dan lingkungan di wilayah Kabupaten Sidoarjo, khususnya
pada wilayah di tiga kecamatan baik yang masuk ke dalam PAT maupun luar PAT,
yakni: Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Kecamatan Jabon. Bencana semburan
lumpur Lapindo telah menghancurkan sekitar 16 desa, dimana 1.071 hektar luas wilayah yang
meliputi areal pertanian, pertambakan, industri, dan pemukiman penduduk harus
dikosongkan, baik karena tenggelam oleh luapan lumpur maupun karena dinyatakan
sudah tidak layak huni sebagai dampak sosial-kemasyarakatan, amblesan, maupun
bahaya semburan gas. Sementara lebih
dari sekitar 15.788 KK atau 48.983 Jiwa harus pindah dari tempat tinggal
asalnya ke tempat yang baru.
Bencana lumpur
Lapindo selain menimbulkan dampak pada
terjadinya perubahan wilayah di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan
Jabon akibat hilangnya beberapa wilayah karena tenggelam lumpur atau tidak
layak huni, juga telah menimbulkan perubahan pada berbagai aspek, seperti:
ekonomi, sosial, lingkungan, pendidikan, dan sebagainya.
Aset yang rusak
terdiri dari: (1) Tanah dan bangunan hunian penduduk; (2) Tanaman produktif,
seperti tanaman padi, tebu, dan palawija; (3) Bangunan dan peralatan pabrik;
dan (4) Infrastruktur, seperti jalan tol, jaringan listrik, jaringan irigasi,
jaringan air bersih, jaringan telekomunikasi, jaringan pipa gas, dsb.
Kerugian ekonomi
akibat luapan lumpur setidaknya terbagi dalam dua, yakni direct cost atau kerugian langsung yang mencapai Rp 50 milyar
per-hari, dan indirect cost atau
kerugian tidak langsung Rp 500 milyar per-hari. Menurut Gubernur Jawa Timur,
Soekarwo, dengan mengacu kepada hasil kajian dari Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya, kerugian akibat bencana lumpur Lapindo mencapai Rp 33 Trilyun
per-tahun.
Data pada tahun
2009, sebanyak 3.562 buruh terkena PHK akibat beberapa perusahaan tutup dan
beberapa perusahaan lainnya melakukan pengurangan buruh/keryawan. Sementara
2.302 buruh korban lumpur panas masih terkatung-katung tanpa pekerjaan
akibat pabrik tempatnya bekerja terendam
lumpur. Menurut catatan Komnas Ham, hak masyarakat untuk bekerja atau membuat
pekerjaan baru juga lenyap terendam lumpur. Menurut data terakhir (2013)
sebagaimana dijelaskan oleh ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo
(GPKLL), Drs. S.H. Ritonga[21],
bahwa terdapat 33 perusahaan/pabrik yang terpaksa harus tutup karena tergenang
lumpur yang menyebabkan sekitar 10.000 karyawan (buruh) kehilangan
pekerjaannya. Dalam bidang pendidikan, sedikitnya sekitar 33 bangunan sekolah
mulai TK hingga SMA hancur terendam lumpur. Akibatnya, 5.397 siswa harus
dimutasi ke sekolah lain atau belajar di sekolah darurat. Kondisi seperti ini
merupakan ancaman bagi terjadinya anak putus sekolah.
Kerugian material tersebut memicu
dampak non-fisik terhadap masyarakat yang mengakibatkan kerugian yang mempunyai
nilai tidak kalah besar dengan kerugian materi, yaitu kerugian sosial-budaya,
serta kerugian psikologi dan kesehatan masyarakat. Dampak non-fisik ini belum
menjadi perhatian utama pihak yang bertanggungjawab, yang seharusnya juga
memberikan ganti-rugi kepada masyarakat yang menjadi korban terkena dampak
kerusakan, sosial-budaya, psikologi dan kesehatan. Misalnya, dampak
sosial-budaya yakni hancurnya tatanan sosial, nilai-nilai, norma, dan tradisi
yang selama ini sudah terbangun puluhan bahkan ratusan tahun dalam kehidupan
komunitas masyarakat; Dampak kesehatan, yakni munculnya berbagai penyakit yang
diderita oleh warga korban bencana lumpur Lapindo, seperti: ISPA (berdasarkan
laporan dari tiga puskesmas di tiga kecamatan
terdampak, terdapat peningkatan yang signifikan jumlah penderita gangguan
pernapasan/ISPA), Kanker kulit, batuk-batuk, dsb.; Dampak psikologis,
seperti munculnya perasaan khawatir, stres, bahkan depresi.
2.
Advokasi
LSM:
Advokasi yang dilakukan oleh LSM
terhadap korban lumpur Sidoarjo dilakukan antara lain melalui proses ligitasi,
yang meliputi:
Pertama; Aksi
gugatan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (Ham) dalam
kasus semburan lumpur panas Sidoarjo oleh YLBHI.
Pada bulan
Desember tahun 2006, sekitar delapan bulan setelah terjadinya semburan lumpur
panas Lapindo, korban lumpur Lapindo melakukan aksi berupa tuntutan perbuatan
melawan hukum dan pelanggaran Ham. Aksi gerakan sosial korban lumpur Lapindo
tersebut dalam rangka menuntut pertanggungjawaban terhadap pihak pemerintah dan
PT. LBI atas terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (Ham). Aksi ini didukung dan diwakili oleh sebuah tim, yakni
“Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo”, yang terdiri dari 59 para
advokat publik dan asisten advokat publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI). Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo, melakukan
aksi gugatan perbuatan melawan hukum dalam kasus lumpur Lapindo. Surat gugatan
disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada tanggal 8
Desember 2006, dalam perkara No. 384/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST[22].
Tim Advokasi
Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo atas nama korban bencana lumpur Lapindo,
menggugat para pihak tergugat, yakni: Presiden RI (sebagai pihak tergugat I),
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (sebagai pihak tergugat II), Menteri
Negara Lingkungan Hidup (sebagai pihak tergugat III), Badan Pelaksana Migas
(sebagai pihak tergugat IV), Gubernur Jawa Timur (sebagai pihak tergugat V),
Bupati Sidoarjo (sebagai pihak tergugat VI), dan pihak PT. Lapindo Brantas
Incorporated (sebagai pihak turut tergugat). Menurut pihak penggugat, para
tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum dalam kasus lumpur panas
Sidoarjo. Menurut para penggugat, bahwa sekalipun sejak awal telah dapat
diperhitungkan akan menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan hidup dan
kemanusiaan, para tergugat tidak mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk mengantisipasi dampak semburan lumpur panas tersebut pada hari-hari awal
terjadinya semburan lumpur. Hal ini menunjukkan bahwa para tergugat, selaku
penyelenggara negara telah bertindak tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya.
Menurut YLBHI, bahwa kerugian yang
ditimbulkan akibat semburan lumpur panas dan penanganan yang berlarut-larut
antara lain mencakup kerugian atas: (1) hak untuk hidup berupa hilangnya nyawa
manusia akibat ledakan pipa gas Pertamina pada tanggal 22 November 2006; (2) Hak
atas kehidupan yang layak berupa menurunnya kualitas kehidupan masyarakat yang
menjadi korban langsung semburan Lumpur panas dan korban tidak langsung yakni
masyarakat luas yang terkena imbas semburan Lumpur panas; (3) hak atas bebas
dari rasa takut yang dialami korban dan potensi korban serta masyarakat di
Sidoarjo dan sekitarnya termasuk para nelayan di selat Madura; (4) hak atas
perumahan yang dialami para korban yang harus kehilangan tempat tinggalnya
akibat semburan Lumpur panas; (5) hak atas pekerjaan berupa hilangnya mata
pencaharian dan pekerjaan akibat semburan Lumpur panas; (6) hak atas pendidikan
berupa hilangnya kesempatan menjalani pendidikan akibat semburan Lumpur panas;
(7) hak anak berupa terenggutnya hak-hak anak untuk memperoleh perawatan yang
baik dari orang tuanya, untuk bermain dan berkreasi, dan mengikuti pendidikan,
akibat semburan Lumpur panas; (8) hak-hak perempuan berupa hilangnya
perlindungan kepada perempuan, khususnya anak-anak perempuan dan ibu-ibu akibat
semburan Lumpur panas; dan (9) hak milik berupa hilangnya harta benda milik
korban akibat semburan Lumpur panas.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) menyimpulkan beberapa pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh lumpur
Lapindo di Porong-Sidoarjo, Jawa Timur. Adapun beberapa pelanggaran HAM
tersebut antara lain hak untuk hidup. Berdasarkan temuan Komnas HAM, pemerintah
gagal untuk memenuhi hak atas standar dan lingkungan hidup yang layak.
Pelanggaran lainnya adalah dalam hal hak atas informasi. Hal ini ditekankan
pada informasi yang tidak sampai kepada masyarakat terkait proyek pengeboran
yang dilakukan, kemudian hak atas rasa aman terhadap ancaman jebolnya tanggul
penahan lumpur yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan rumah-rumah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah juga tidak membuat
sistem peringatan dini (early warning system). Ditambah lagi dengan
munculnya gelembung-gelembung gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran. Tidak
hanya itu, bencana lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo tersebut juga
menghilangkan hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak
atas kesehatan, hak atas pekerjaan, juga hak pendidikan. Karena bencana lumpur tersebut, tercatat 2.288
orang berhenti bekerja akibat pabrik-pabrik tempat mereka bekerja sudah tidak
beroperasi. Kemudian ada 33 sekolah yang rusak sehingga 1.774 siswa SD, SMP,
SMA, dan pondok pesantren kehilangan tempat belajar karena sekolah mereka
tergenang lumpur[23].
Komnas HAM juga mencatat, akibat
bencana lumpur tersebut, para korban kehilangan hak kesejahteraan (hak milik)
atas aset-aset mereka yang hilang direnggut lumpur. Hal ini juga berimplikasi
terhadap hilangnya hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Komnas HAM juga
menyebutkan bahwa dalam konteks bencana lumpur di Porong Sidoarjo itu,
pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab juga telah melanggar hak-hak
kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, dan
perempuan. Terbukti di lapangan, tidak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil
serta tidak ada jaminan keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak
kekerasan ataupun pelecehan seksual karena tidak ada pemisahan khusus antara
pria dan wanita. Dengan terlanggarnya hak-hak para korban lumpur tersebut, maka
secara tidak langsung hak mereka untuk memperoleh jaminan sosial juga tidak
dipenuhi sama sekali.
Penggugat mengajukan permohonan
kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk berkenan memeriksa
dan memutuskan sebagai berikut: (1) Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT
untuk seluruhnya; (2) Menyatakan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT telah
melakukan PERBUATAN MELAWAN HUKUM; (3) Menghukum PARA TERGUGAT untuk
mengeluarkan kebijakan yang memerintahkan TURUT TERGUGAT untuk memulihkan
hak-hak masyarakat korban semburan lumpur panas di Sidoarjo dengan ketentuan
bahwa masyarakat korban memperoleh kembali haknya setara atau lebih baik dengan
nilai keadaan semula seperti sebelum terjadinya semburan lumpur panas ditambah
dengan tanggungan penuh selama para korban belum terpenuhi hak-haknya; (4) Memerintahkan
PARA TERGUGAT mengeluarkan kebijakan agar TURUT TERGUGAT untuk secara bersama-sama
segera menghentikan semburan lumpur panas dengan mengerahkan seluruh sumber
daya yang tersedia dan mempertimbangkan Hak Asasi Masyarakat termasuk hak atas
lingkungan yang sehat; (5) Memerintahkan kepada PARA TERGUGAT mengeluarkan
kebijakan yang dapat menjamin secara hukum bahwa TURUT TERGUGAT akan menanggung
seluruh biaya yang telah dan akan dikeluarkan terkait dengan upaya
penanggulangan semburan Lumpur panas di Sidoarjo dan pemulihan hak-hak korban;
(6) Memerintahkan TERGUGAT I untuk memerintahkan jajaran aparat hukum mengambil
tindakan hukum secara tegas, melakukan penegakan hukum dan penuntutan terhadap
seluruh pihak yang bertanggungjawab termasuk pimpinan penanggungjawab usaha
yang kegiatannya telah memicu terjadinya semburan lumpur panas; dan (7) Memerintahkan
kepada PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk meminta maaf secara tertulis
kepada para korban yang diumumkan melalui 5 (lima) stasiun televisi nasional, 5
(lima) stasiun radio dan 10 (sepuluh) media cetak nasional selama tiga hari berturut-turut
yang isinya berbunyi sebagai berikut:
“Kami,
Presiden RI, Menteri Energi Sumber Daya Mineral RI, Menteri Negara Lingkungan
Hidup RI, Ketua Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas RI; Gubernur Jawa
Timur; Bupati Sidoarjo; Lapindo Brantas Incorporated, menyatakan penyesalan
yang sedalam-dalamnya atas perbuatan melawan hukum yang kami lakukan terkait
dengan kelalaian dan kealpaan melakukan kewajiban hukum kami terkait dengan
terjadinya semburan lumpur panas yang merenggut Hak Asasi Manusia para korban
dan masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya, serta membuat kerusakan lingkungan
hidup yang memberikan dampak kerugian materil maupun immaterial yang besar dan
meluas. Kiranya pernyataan penyesalan atas perbuatan melawan hukum ini menjadi
titik awal wujud penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia
serta perubahan sistem pengelolaan lingkungan hidup yang bermutu dan
berkualitas dengan manfaat yang digunakan sebesar-besarnya bagi hak-hak Warga
Negara Indonesia”.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Pusat menolak gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
terhadap pemerintah dan PT Lapindo Brantas Incorporated (Inc) soal penanganan
semburan lumpur. Putusan PN Jakarta Pusat tanggal 27 November 2007 menyatakan
menolak gugatan YLBHI dimana pemerintah dan PT. Lapindo Brantas Inc., tidak
terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Pada sidang pembacaan putusan di PN
Jakarta Pusat, majelis hakim yang diketuai Moefri hanya mempertimbangkan bahwa PT
Lapindo sudah cukup mengeluarkan banyak uang untuk menanggulangi semburan
lumpur tersebut. Majelis menyatakan pemerintah dan Lapindo tidak terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum akibat tidak terpenuhinya hak ekonomi,
social, dan budaya (ekosob) para korban akibat semburan lumpur[24].
Majelis menolak semua gugatan
tergugat secara keseluruhan. Majelis menilai pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan yang perlu untuk menangani semburan lumpur yang terjadi sejak Mei
2006 dengan cara membentuk tim terpadu penanggulangan lumpur. Sedangkan PT
Lapindo Brantas Inc., dinilai telah mengeluarkan banyak uang, di antaranya
Rp1,6 triliun untuk para pengungsi dan untuk menangani semburan lumpur serta
untuk membayar biaya jatah hidup (jadup) untuk para pengungsi. “Sejak semburan
terjadi di lokasi pengeboran pada 29 Mei 2006, pengungsi sudah diungsikan ke
Pasar Porong dengan angkutan yang disediakan Lapindo. Lapindo juga telah
membayar biaya kontrak rumah para pengungsi dan menanggung biaya sekolah anak
para korban,” tutur Martini Mardja.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) secara
resmi mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang
menolak gugatan YLBHI terkait kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas Inc.
Banding sendiri dilakukan dengan alasan putusan majelis hakim lemah. Alasan
banding dilakukan YLBHI, karena pihaknya tetap berpendapat putusan majelis
hakim memiliki sejumlah kelemahan yang substansial. Salah satunya adalah
majelis hakim tidak mempertimbangkan terjadinya pelanggaran atas pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya para korban, seperti hilangnya rumah,
pekerjaan, lahan, dan sebagainya. Namun putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta
tanggal 13 Juni 2008 justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Pusat tanggal 27 November 2007 yang menyatakan bahwa adanya kejadian Lumpur
Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam lebih dominan, bukan karena kesalahan
manusia[25].
Selanjutnya YLBHI mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung. Namum putusan kasasi MA tanggal 3 April 2009 menyatakan
menolak permohonan kasasi YLBHI bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam
dan bukan kesalahan industri, dan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht). Dalam keterangannya di Gedung MA, Jakarta Pusat, Kepala Humas Mahkamah Agung, Nurhadi mengatakan bahwa pengajuan
kasasi oleh YLBHI kepada Lapindo dimenangkan Lapindo. Nurhadi juga menjelaskan,
bahwa penolakan kasasi YLBHI tersebut berdasarkan pengulangan dari dalil yang
telah diajukan sebelumnya, serta hasil pembuktian yang diajukan tidak dapat
dipertimbangkan di tingkat kasasi[26].
Kedua; Aksi Gugatan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Bersamaan dengan gugatan YLBHI di PN
Jakarta Pusat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga melakukan gugatan
di PN Jakarta Selatan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
mengajukan gugatan terhadap PT Lapindo Brantas dan pemerintah karena dinilai
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan akibat semburan lumpur di Sidoarjo.
Gugatan perdata itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan
gugatan terhadap pemerintah, karena pemerintah dianggap telah melakukan
pembiaran dan tidak melakukan kontrol. Walhi menggugat 12 pihak, yaitu:
Lapindo, PT Energi Mega Persada, Kalila Energy Limited, Pan Asia Enterprise, PT
Medco Energy, Santos Australia Limited. Dari pihak pemerintah, yang digugat
adalah Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur
Provinsi Jawa Timur, dan Bupati Sidoarjo[27].
Namun ternyata gugatan
Walhi terhadap PT. Lapindo dan Pemerintah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jaksel
Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 27 Desember 2007,
menolak gugatan legal standing yang
diajukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas kasus lumpur PT Lapindo[28].
Dalam amar putusannya, majelis hakim memenangkan 12 tergugat, termasuk PT
Lapindo Brantas dan pemerintah. Hakim beranggapan, semburan lumpur di sumur
Banjar Panji-1, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah fenomena alam biasa. Putusan ini
dianggap Walhi sebagai ketidakadilan terhadap lingkungan. Alasan majelis hakim
dalam putusannya yang dibacakan kemarin karena tergugat PT Lapindo Brantas
dinyatakan tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus
semburan lumpur yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup seperti yang
digugat Walhi. Meski menolak gugatan Walhi, namun majelis hakim
menyatakan tetap mewajibkan para tergugat untuk memenuhi tanggung-jawab moral
yaitu berupaya menghentikan semburan lumpur.
Walhi selanjutnya mengajukan banding
di tingkat PT Jakarta[29].
Namun putusan PT Jakarta tanggal 27 Oktober 2008 menguatkan putusan PN Jakarta
Selatan tanggal 27 Desembar 2007 yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas di
Sidoarjo disebabkan fenomena alam. Surat Panitera PN Jaksel tanggal 14 Januari
2009 yang menyatakan masing-masing pihak tidak mengajukan Kasasi, sehingga
secara hukum putusan PT Jakarta tanggal 27 Oktober 2008 mempunyai kekuatan
hukum tetap (Inkracht)[30].
Upaya advokasi yang dilakukan oleh
LSM YLBHI dan Walhi dalam membela kepentingan korban bencana lumpur Lapindo
melalui ligitasi ternyata mengalami kegagalan.
3.
Intervensi
Pemerintah:
Intervensi
pemerintah dalam proses rehabilitasi sosial diwujudkan dalam tiga bentuk
fasilitasi, yakni: kebijakan, kelembagaan, dan alokasi anggaran dana.
Pertama;
Fasilitasi Kebijakan. Kebijakan pemerintah dalam penanganan dampak luapan
lumpur Sidoarjo sejak terjadinya peristiwa semburan lumpur tahun 2006 hingga
tahun 2013, tertuang dalam Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden
(Perpres), sebagai berikut:
(1) Tertanggal
8 September 2006 terbit Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PSLS). Tim ini
mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah operasional secara terpadu
dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo yang meliputi:
penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah
lumpur. Pembentukkan Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo tidak mengurangi tanggung jawab PT.
Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan
lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya. Biaya yang diperlukan
bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan pada anggaran PT. Lapindo
Brantas.
(2) Tertanggal
8 April 2007 terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomo 14 Tahun 2007 tentang
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Perpres 14 Tahun 2007 ini menggantikan
Kepres Nomor 13 Tahun 2006, dengan demikian keberadaan Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo sudah berakhir dan tugas-tugasnya
diambil-alih oleh Badan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (BPLS).
Tugas BPLS adalah menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani
luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infratsruktur akibat luapan lumpur di
Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil.
Dalam lampiran Kepres
Nomor 14 Tahun 2007 dicantumkan wilayah yang masuk ke dalam Peta Area Terdampak
(PAT), yakni wilayah yang terendam lumpur, sebagaimana usulan Timnas PSLS.
Wilayah masuk PAT meliputi empat desa yaitu: Desa Siring, Desa Jatirejo, Desa
Kedung Bendo, dan Desa Renokenongo, kemudian wilayah di dalam PAT ditambah lagi
enam desa, yakni: Desa Ketapang, Desa Kalitengah, Desa Glagah Arum, Desa
Gempolsari, Desa Pejarakan, Desa Mindi, dan Desa Keboguyang. Luas wilayah di
dalam PAT, yakni luas wilayah yang terendam lumpur, keseluruhnya meliputi 613,4
Ha. Berdasarkan pasal 15 Perpres Nomor 14 Tahun 2007, PT. Lapindo Brantas
diharuskan membeli tanah dan bangunan milik warga masyarakat yang ada di dalam
wilayah PAT tersebut melalui skema jual-beli dengan pembayaran bertahap, yakni
20% dibayar dimuka dan sisanya dibayar paling lambat sebulan sebelum masa
kontrak rumah 2 (dua) tahun habis. Namun
hingga saat ini proses jual-beli aset tanah dan bangunan oleh PT LBI belum bisa
diselesaikan seluruhnya. Berdasarkan hasil kesepakatan antara warga korban
dengan PT LBI maka disepakati besarnya nilai jual-beli, yakni: untuk bangunan
sebesar Rp 1,5 juta per-meter persegi, untuk tanah darat sebesar sebesar Rp 1
juta per-meter persegi, dan untuk tanah sawah
sebesar Rp 150 ribu per-meter persegi.
(3)
Tertanggal 17 Juli 2008, terbit Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo. Salah satu pertimbangan terbitnya Perpres Nomor 48 Tahun 2008 ini
adalah bahwa luapan lumpur di Sidoarjo telah menimbulkan dampak sosial
kemasyarakatan bagi masyarakat di luar wilayah PAT tanggal 22 Maret 2007
(Lampiran Perpres Nomor 14 Tahun 2007). Selanjutnya, proses jual beli terhadap
tanah dan bangunan milik warga masyarakat yang masuk wilayah di luar PAT
dilakukan oleh BPLS dengan mengacu kepada besaran harga jual-beli yang
dibayarkan oleh PT. LBI terhadap tanah dan banguan warga masyarakat yang ada di
dalam PAT. Biaya jual-beli di luar PAT sebagaimana Perpres Nomor 48 Tahun 2008
ini dibebankan kepada dana APBN. Dengan demikian, sejak terbit Perpres No.
48/2007 maka wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo dikelompokkan ke dalam
dua kategori, yakni: wilayah di dalam PAT dan wilayah di luar PAT.
(4)
Selanjutnya, tertanggal 23 September 2009 terbit Perpres Nomor 40 Tahun 2009;
kemudian tertanggal 27 September 2011 terbit Perpres Nomor 68 Tahun 2011; Tertanggal 5 April 2012 terbit Perpres Nomor
37 Tahun 2012; dan terakhir, pada
tanggal 8 Mei 2013 terbit Perpes Nomor 33 Tahun 2013 tentang perubahan kelima
atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Inti dari berbagai Perpres ini adalah adanya penambahan luas wilayah di luar
Peta Area Terdampak (PAT). Khusus dalam
Perpes Nomor 33 Tahun 2013 sudah mulai diatur tentang mekanisme
panggantian/penukaran tanah wakaf.
Kedua;
Pembentukkan Kelembagaan. Secara khusus, untuk menangani berbagai permasalahan
yang terkait dengan bencana semburan lumpur Sidoarjo, pemerintah membentuk
suatu badan, yakni: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diatur
melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007
Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Dengan Perpres ini dibentuk Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang bertugas menangani upaya
penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah
sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan
risiko lingkungan yang terkecil. Selanjutnya BPLS melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Presiden.
BPLS terdiri
dari Dewan Pengarah dan Badan
Pelaksana. Dewan Pengarah bertugas
memberikan arahan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan atas upaya penanggulangan
semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, penanganan masalah sosial dan
infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, yang dilaksanakan Badan
Pelaksana. Dewan Pengarah terdiri dari: Ketua: Menteri Pekerjaan Umum, merangkap
anggota; Wakil Ketua : Menteri Sosial;
merangkap Anggota; Anggota: Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri
Perhubungan, Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Menteri
Negara Lingkungan Hidup, Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Gubernur Provinsi
Jawa Timur, Panglima Daerah Militer V/
Brawijaya, Kepala Kepolisian Daerah Jawa
Timur; dan Bupati Kabupaten Sidoarjo.
Susunan organisasi Badan Pelaksana, terdiri dari: Kepala Badan Pelaksana, Wakil Kepala Badan Pelaksana, Sekretaris Badan Pelaksana, Deputi Bidang Operasi, Deputi Bidang Sosial, dan Deputi Bidang Infrastruktur.
Upaya yang
dilakukan oleh BPLS meliputi penanganan semburan lumpur Lapindo dan penanganan
penyelesaian masalah sosial-kemasyarakatan sebagai dampak semburan lumpur
Lapindo. Dalam upaya penanganan penyelesaian masalah sosial-kemasyarakatan,
program BPLS meliputi: bantuan sosial, perlindungan sosial, dan pemulihan
sosial. Bantuan sosial diberikan dalam bentuk: bantuan kesehatan dan air bersih
dan bantuan uang kontrak, uang evakuasi dan uang jaminan hidup. Perlindungan
sosial diberikan dalam bentuk proses jual-beli tanah dan bangunan milik warga
korban bencana lumpur Lapindo baik oleh PT MLJ maupun oleh BPLS. Sedangkan
proses pemulihan sosial diberikan dalam bentuk:
kegiatan pelatihan (jahit sepatu, sulam pita, pertukangan emas,
otomotif, modes, olahan pangan, teknisi mesin jahit, kewirausahaan, tanggap bencana,
dan ternak unggas), dan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi.
Ketiga;
Alokasi Anggaran. Penentuan wilayah terdampak luapan lumpur Sidoarjo dibagi ke
dalam dua kategori, yaitu: Pertama, wilayah yang termasuk ke dalam Peta Area
Terdampak (PAT); dan Kedua, wilayah yang termasuk di luar Peta Area Terdampak
(PAT). Dana penanganan dampak luapan lumpur yang ada di wilayah Peta Area
Terdampak (PAT) menjadi tanggungjawab PT. Lapindo Brantas Inc., sedangkan dana
penanganan luapan lumpur yang ada di luar
wilayah Peta Area Terdampak (PAT) menjadi tanggungjawab pemerintah melalui
APBN.
Total anggaran
pemerintah yang menyerap dana APBN,untuk penanggulangan lumpur Lapindo sudah
sebanyak Rp 6,2 triliun. Anggaran itu dihitung mulai 2008 hingga 2013.
Sementara alokasi anggaran pada 2007 sebesar Rp 505 miliar diambilkan dari pos anggaran darurat.
Rinciannya sebagai berikut: APBN 2008 sebesar Rp 1,1 triliun, 2009 sebesar Rp
1,147 triliun, 2010 sebesar Rp 1,216 triliun, 2011 sebesar Rp 1,286 triliun,
2012 sebesar Rp 1,533 triliun dan 2013 sebesar Rp 2,256 triliun[31].
Sesuai dengan amanat Undang-undang
RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah Pusat menjadi
penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik pada
peristiwa bencana alam, bencana nonalam, maupun bencana sosial. Tanggung jawab
Pemerintah Pusat dalam Penanggulangan Bencana meliputi: (1) Pengurangan Risiko
Bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (2)
Pelindungan masyarakat dari dampak bencana; (3) Penjaminan pemenuhan hak
masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum; (4) Pemulihan kondisi dari dampak bencana; (5)
Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara yang memadai; (6) Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana
dalam bentuk dana siap pakai (dana pemerintah yang dicadangkan merupakan dana
siap pakai apabila terjadi bencana); dan (7) Pemeliharaan arsip/dokumen otentik
dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Sedangkan wewenang Pemerintah Pusat
dalam Penanggulangan Bencana meliputi: (1) Penetapan kebijakan penanggulangan
bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; (2) Pembuatan
perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan
bencana; (3) Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah; (4)
Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain,
badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain; (5) Perumusan kebijakan
tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana; (6) Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya
alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan (7)
Pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional (termasuk
pemberian izin pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional menjadi
kewenangan Menteri Sosial).
Dari paparan di
atas, Intervensi pemerintah dalam upaya penanganan masalah bencana semburan
lumpur Sidoarjo dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tabel
:
Gambaran
Intervervensi Pemerintah
Dalam
Bencana Lumpur Sidoarjo
No.
|
Bentuk
Intervensi
|
Keterangan
|
Evaluasi
|
1.
|
Fasilitasi Kebijakan.
|
Pemerintah menerbitkan Kepres No.
13/2006. Kemudian Perpres No. 14/2007, Perpres No. 14/2007, Perpres No.
48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 37/2012, dan Perpes Nomor 33/2013.
|
Pada prinsipnya kebijakan pemerintah
ini mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan: pembagian wilayah dalam
PAT & luar PAT, mekanisme pembayaran jual-beli aset tanah dan bangunan,
dasar pembentukan BPLS, & jaminan alokasi anggaran APBN.
Catatan: (1)
Kebijakan ini mengisyaratkan warga sebagai pihak penjual bukan sebagai pihak
korban; dan (2) Tidak satu pun dalam Perpres yang mengatur upaya pemulihan
kehidupan sosial-ekologis yang rusak akibat bencana lumpur panas Lapindo.
|
2.
|
Pembentukkan Kelembagaan.
|
Dibentuk TimNas PSLS kemudian diganti
dengan BPLS.
|
Tugas: menangani upaya penanggulangan
semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur.
Catatan: Fokus BPLS
dalam upaya penanganan masalah sosial-kemasyarakatan masih kurang.
|
3.
|
Fasilitasi Dana/ Alokasi Anggaran.
|
Pemerintah mengalokasikan anggaran
melalui APBN: 2007, 2008, 2009, 2010, 2011 & 2013.
|
Hingga tahun 2013 total alokasi
anggaran APBN sebesar Rp 6,2 Trilyun. Dana ini sebagian besar digunakan
untuk: pembayaran jual-beli tanah dan bangunan milik warga korban yang ada di
luar PAT, penutupan semburan dan pengaliran
lumpur, dan penanganan masalah sosial-kemasyarakatan.
Catatan: Porsi
anggaran untuk penanganan masalah sosial-kemasyarakatan masih relatif kecil.
|
Simpulan dan Saran
Dari uraian hasil penelitian sebagaimana dijelaskan
diatas, maka dapat disimpulkan sebagai beriut:
Advokasi sosial terhadap korban bencana semburan
lumpur Lapindo dilaukan oleh LSM dalam bentuk ligitasi dan pendampingan. LSM
yang aktif melakukan advokasi sosial terhadap korban bencana lumpur Lapindo
antara lain Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur dan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Sedangkan intervensi pemerintah dilakukan dalam
bentuk: kebijakan, pembentukkan kelembagaan, dan alokasi dana. Kebijakan pemerintah dalam upaya mengatasi permasalahan
bencana lumpur Lapindo tertuang dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan
Presiden (Perpres), seperti: (1) Kepres No.13/2006; (2) Perpres No. 14/2007;
(3) Perpres Nomor 48 Tahun 2008; (4) Perpres Nomor 40 Tahun 2009; (5) Perpres
Nomor 68 Tahun 2011; (6) Perpres Nomor
37 Tahun 2012; dan (7) Perpes Nomor 33 Tahun 2013. Dari aspek kelembagaan,
intervensi pemerintah diwujudkan dalam bentuk pembentukkan Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (Timnas PSLS), yang kemudian diganti
dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sedangkan dari sisi
anggaran, intervensi pemerintah diwujudkan dalam bentuk kebijakan alokasi
anggara di APBN yang hingga tahun 2013 sudah menyerap dana sekitar Rp 6,2 Trilyun.
Sedangkan saran yang bisa diberikan adalah terkait
dengan program penelitian selanjutnya, yakni penting untuk diteliti dan dikaji
lebih detail hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan manajemen bencana dalam
penanganan masalah bencana lumpur Lapindo, yang meliputi: fase migitasi, fase
tanggap darurat, dan fase rekaperi (recovery).
***
Ucapan Terimakasih
Penelitian
ini didanai oleh:
Direktorat
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M),
Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi-Kemendikbud.
Melalui:
Program
Penelitian Desentralisasi-DP2M,
Universitas
Muhammadiyah Malang-Tahun 2013
[1]
Batubara, Bosman & Utomo, Paring Waluyo.2012. Kronik Lumpur Lapindo:
Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: INSITPress.
Hal.3.
[2]
Prasetia, Heru; & Batubara, Bosman (eds.). 2010. Bencana Industri: Relasi
Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil. Depok: DESANTARA.
[3] Richard
Davies, dkk., ahli geologi dari Universitas Durham, Inggris, menulis dalam
Journal of the Geological Society.
[4] Tempo
Interaktif. Edisi Jumat, 25 Pebruari 2011.
[5] Direktorat Bantuan Sosial Korban
Bencana Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos RI. 2004. Pola
Penanganan Korban Bencana Sosial di Indonesia.
[6] Miller, Valerie, & Covey, Jane. 2005. Pedoman
Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[8] Samuel, John. 2007. Public Advocacy and People-Centred Advocacy: Mobilising for Social
Change. Development in Practice, Vol.17, No. 4/5 (Aug., 2007), pp. 615-621.
[9] ibid
[10] Miller, Valerie, & Covey, Jane. 2005. Pedoman
Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[11]
Bennet,
Edwars M. (ed.). 1987. Social Intervention: Theory and Practice. Lewiston &
Queenston: The Edwin Mellen Press.
[12] ibid
[13]
Loewenberg,
FM. 1977. Fundamentals of Social
Intervention: Core Concepts and Skills for Social Work Practice. New York:
Columbia University Press.
[14]
Ibid
[15] Denzin,
Norman K.; & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook
of Qualitative Research (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[16] Salim, Agus (peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitan
Sosial: Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan penerapannya.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
[17] Marvasti,
Amit B. 2004. Qualitative Research in
Sociology: An Introduction. New Delhi: SAGE Publications.
[18] Op.cit.
[19] Op.cit.
[20]
Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design: Chosing
Among Five Approaches. New Delhi: SAGE Publications.
[21] Hasil
wawancara dengan Drs. S.H. Ritonga, Ketua GPKLL, Selasa: 2 April 2013.
[22]
ttp://id.wikisource.org/wiki/Surat_Gugatan_Perbuatan_Melawan_Hukum_Kasus_Lumpur_Panas_Sidoarjo.
[23]
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/063423492/Komnas-HAM-Kasus-Lapindo-Adalah-Kejahatan
[24]
http://gebraklapindo.wordpress.com/2007/11/28/majelis-hakim-tolak-gugatan-ylbhi-soal-lumpur-lapindo/
[25]
http://gebraklapindo-wprdpress.com/2007/12/11/ylbhi-banding-kasus-lapindo/
[26]
http://kabarinews.com/jakarta-mahkamah-agung-tolak-kasasi-ylbhi-atas-kasus-lapindo/33148.
[27] http://www.tempo.co/read/news/2007/02/12/05693046/Walhi-Gugat-Lapindo-dan-Pemerintah (Diakses tgl
23 Pebrauari 2013)
[28]
http://www.hukumline.com/berita/baca/ho118236/dinilia-akibat-fenomena-alam-hakim-tolak-gugatan-walhi.
[29]
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/25/2410/Walhi-Ajukan-Banding
[30]
http://hukum.kompasiana.com/2012/05/29/9-fakta-hukum-kasus-lapindo-466713.html
[31] Sumber:
http://www.bpls.go.id.
Daftar Pustaka
Babbie, Eral.
2008. The Basics of Social Research.
Belmont, USA: Thomson Wadsworth.
Bennet, Edwars
M. (ed.). 1987. Social Intervention: Theory and Practice. Lewiston &
Queenston: The Edwin Mellen Press.
Creswell, John
W. 2007. Quantitative Inquiri &
Research Design: Choosing Among Five Approaches. London: SAGE Publications.
Denzin, Norman
K.; & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook
of Qualitative Research (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat
Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos
RI. 2004. Pola Penanganan Korban Bencana Sosial di Indonesia.
Kalof, Linda.;
Dan, Amy; & Dietz, Thomas. 2008. Essentials
of Social Research. Berkshire: Open University Press.
Kuswarno,
Engkus. 2009. Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Locher, David A.
2002. Collective Behavior. New
Jersey: Prentice Hall.
Loewenberg, FM.
1977. Fundamentals of Social
Intervention: Core Concepts and Skills for Social Work Practice. New York:
Columbia University Press.
Luce, Henry;
& Wisner, Ben. 1993. Disaster
Vurnerability: Scale, Power and Daily Life. GeoJournal, Vol. 30, No. 2,
Vulnerability, Hunger and Famine (June 1993), pp. 127-40.
Marvasti, Amir
B. 2004. Qualitative Research in
Sociology: An Introduction. London: SAGE Publications.
Miller, Valerie,
& Covey, Jane. 2005. Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Neuman, W.
Lawrence. 2007. Basics of Social
Research: Qualitative and Quantitative Appoaches. Boston: Pearson
Education, Inc.
Pratt, Brian.
2007. Advocacy in the Amazon and the
Camisea Gas Project: Implications for Non-Government Public Action.
Development in Practice, Vol. 17, No. 6 (Nov., 2007), pp. 775-783.
Salim, Agus
(peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitan Sosial: Pemikiran Norman K. Denzin
& Egon Guba, dan penerapannya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Samuel, John.
2007. Public Advocacy and People-Centred
Advocacy: Mobilising for Social Change. Development in Practice, Vol.17,
No. 4/5 (Aug., 2007), pp. 615-621.
*****