Selasa, 22 Desember 2015

ADVOKASI LSM DAN INTERVENSI PEMERINTAH DALAM PROSES REHABILITASI SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA SEMBURAN LUMPUR LAPINDO DI SIDOARJO, JAWA TIMUR, INDONESIA



ADVOKASI LSM DAN INTERVENSI  PEMERINTAH  
DALAM PROSES  REHABILITASI SOSIAL  
BAGI KORBAN BENCANA SEMBURAN LUMPUR LAPINDO
DI SIDOARJO, JAWA TIMUR, INDONESIA

 Oleh:
Oman Sukmana
E-mail: osukmana@ymail.com; oman@umm.ac.id
Program Doktor Sosiologi, Fisipol-UGM
Dosen Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fisip-UMM

Abstraksi
Bencana semburan lumpur Lapindo telah menimbulkan dampak fisik dan non-fisik  yang luar biasa, sehingga menyebabkan krisis bagi kehidupan sosial warga masyarakat di  Kecamatan Porong, dan sekitarnya. Untuk mengatasi dampak bencana lumpur Lapindo, diperlukan bantuan advokasi  LSM dan intervensi pemerintah dalam berbagai bentuk program rehabilitasi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana dampak bencana lumpur Lapindo serta bagaimana peran advokasi LSM dan intervensi pemerintah dalam proses rehabilitasi sosial bagi korban bencana lumpur Lapindo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bencana lumpur Lapindo telah menimbulkan dampak fisik berupa hancurnya areal permukiman, persawahan, pertanian, dan perindustrian seluas 1.071 ha, sekitar 16 desa dan 33 pabrik hancur, sekitar 48.983 jiwa harus mengungsi, dan 33 sekolah hancur, serta dampak non-fisik seperti sosial, kesehatan, pendidikan, psikologis, perekonomian, dan sebagainya. Advokasi sosial yang dilakukan LSM meliputi program pendampingan dan upaya ligitasi. Sedangkan intervensi pemerintah dalam proses rehabilitasi sosial bagi korban bencana lumpur Lapindo, tertuang dalam kebijakan sebagaimana diatur melalui  Peraturan Presiden (Perpres), yakni: Perpres No. 14/2007, Perpres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Bentuk intervensi pemerintah meliputi fasilitasi: kebijakan, kelembagaan, dan alokasi anggaran.

Kata Kunci: Advokasi, Intervensi, Rehabilitasi Sosial, Bencana Lumpur Lapindo.


Pendahuluan
Tanggal 29 Mei 2006 menjadi awal munculnya bencana semburan lumpur panas Lapindo. Lumpur panas dengan volume antara 100 ribu-150 ribu m3  per-hari, keluar dari perut bumi dan menenggelamkan wilayah kawasan pemukiman, pertanian, dan industri (Batubara & Utomo, 2012:3)[1]. Lokasi pusat semburan lumpur Lapindo berada di Kecamatan Porong, yakni kecamatan di bagian selatan  Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Lokasi pusat semburan berjarak sekitar 15 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), sebagai operator blok Brantas. Blok Brantas membentang dari wilayah Kabupaten Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan, di Provinsi Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tidak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan Tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan jalan raya Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur Pantura Timur), serta jalur Kereta Api lintas Timur Surabaya-Malang dan jalur Surabaya-Banyuwangi.
Menurut Prasetia dan Batubara (2010:40)[2], bencana lumpur Lapindo adalah bencana yang sangat kompleks kalau dilihat dari geneologi terjadinya bencana. Perdebatan teoritis melibatkan ahli dari seluruh penjuru dunia. Umumnya pendapat para ahli terbelah menjadi dua kubu, yaitu kalangan yang berpendapat bahwa bencana ini disebabkan oleh aktivitas pengeboran pada sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1 (BJP-1) milik PT. LBI, dan kalangan yang berpendapat bahwa bencana lumpur disebabkan oleh reaktivasi patahan regional Watukosek akibat adanya gempa bumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, 2 hari sebelum bencana semburan lumpur Lapindo terjadi.
Pemerintah menetapkan bahwa fenomena seburan lumpur Lapindo di Sidoarjo sebagai bencana alam. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 November 2007, menyatakan bahwa pemerintah dan Lapindo tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada tanggal 13 Juni 2008, yang isinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN)  Jakarta Pusat tanggal 27 Nopember 2007,  bahwa adanya kejadian Lumpur Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam lebih dominan, bukan sebagai kesalahan manusia.  Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA), tanggal 3 April 2009,  menyatakan bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam dan bukan kesalahan industri dan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Hingga tahun 2013, bencana lumpur Lapindo sudah berjalan sekitar tujuh tahun. Namun semburan lumpur belum menunjukkan tanda-tanda berhenti, meskipun volumenya sudah agak berkurang. Belum bisa dipastikan kapan semburan lumpur akan berhenti.  Menurut Richard Davies dan kawan-kawan[3], sulit untuk memprediksikan kapan kepastian semburan lumpur Lapindo akan berhenti. Namun, menurutnya kemungkinan semburan tersebut akan padam diprediksikan sekitar 26 tahun lagi[4]. Dengan demikian, bencana semburan lumpur Lapindo diperkirakan akan berhenti pada tahun 2037.
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui dan menggambarkan bagaimana dampak bencana lumpur Lapindo serta bagaimana bentuk dan peran intervensi pemerintah dalam proses  rehabilitasi sosial terhadap korban bencana lumpur Lapindo.

Tinjauan Pustaka
Bencana dipandang sebagai suatu kondisi atau suatu situasi, baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun alam, yang bersifat mendadak maupun terjadi secara berangsur, yang menyebabkan kekacauan dan kerugian secara meluas terhadap kehidupan, materi, serta lingkungan sedemikian rupa sehingga melebihi kemampuan dari masyarakat korban untuk menangani dengan menggunakan kemampuan sumber dayanya sendiri. Sejalan dengan pengertian bencana, maka bencana social dipandang sebagai suatu situasi yang disebabkan oleh perbuatan manusia, yang bersifat mendadak maupun terjadi secara berangsur, yang menyebabkan kekacauan dan kerugian secara meluas terhadap kehidupan, materi, serta lingkungan sedemikian rupa sehingga melebihi kemampuan dari masyarakat korban untuk menanganinya dengan menggunakan kemampuan sumberdaya sendiri. Bencana Sosial seperti ini dapat disebabkan oleh adanya konflik social secara terbuka dan meluas, peperangan, atau kerusuhan social lainnya (Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Depsos RI, 2004: 4-5)[5].
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan: (a) perbaikan lingkungan daerah bencana; (b) perbaikan prasarana dan sarana umum; (c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; (d) pemulihan sosial psikologis; (e) pelayanan kesehatan; (f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (g) pemulihan sosial ekonomi budaya; (h) pemulihan keamanan dan ketertiban; (i) pemulihan fungsi pemerintahan; dan (j) pemulihan fungsi pelayanan publik (Peraturan Kepala Badan Nasional  Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana).
Oleh karena dampak bencana social melebihi kemampuan dari masyarakat korban untuk menanganinya dengan kemampuan sumberdaya sendiri, maka dalam upaya rehabilitasi social diperlukan adanya advokasi (bantuan) social dan intervensi (campurtangan) social dari pihak luar. Menurut Abdul Hakim Nusantara (Miller & Covey, 2005:vii)[6], advokasi diartikan sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Pembelaan atau dukungan kepada kelompok masyarakat yang lemah itu digiatkan oleh individu, kelompok, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan organisasi rakyat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketidakadilan. Dalam pengertian yang lebih luas, advokasi adalah suatu proses politik (political pocess) yang dilakukan individu atau kelompok yang pada umumnya bertujuan untuk mempengaruhi kebijaka public dan keputusan alokasi sumberdaya dalam politik, ekonomi, atau institusi dan system social. Advokasi dapat meliputi berbagai aktivitas (bentuk), antara lain seperti: Budget advocacy, Bureaucratic advocacy, Health advocacy, Ideological advocacy, Interest-group advocacy, Legislative advocacy, Mass advocacy, dan Media advocacy[7].
Samuel (2007:616)[8] menyatakan bahwa advokasi public (public advocacy) adalah seperangkat tindakan yang disengaja (deliberate actions) yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan public (public policies) atau sikap-sikap public (public attitudes) dalam upaya memperdayakan pihak-pihak yang termarjinalisasi. Perbedaan utama antara advocacy public (public advocacy) dan advokasi yang berpusat pada manusia (people-centred advocacy) adalah bahwa tujuan  dari  advokasi yang berpusat pada manusia (people-centred advocacy) dalam rangka memberdayakan manusia, khususnya orang-orang yang termarginalkan. Dalam konteks budaya demokrasi liberal, advokasi public digunakan sebagai instrument dekorasi dengan menerapkan makna non-kekerasan (non-violent) dan konstitusional. Advokasi publik sebagai proses politik yang digerakkan oleh nilai (value-driven political process), karena berusaha untuk mempertanyakan dan merubah terjadinya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang yang mengakibatkan orang termarjinalkan secara social, politik, dan ekonomi. Proses advokasi dengan demikian meliputi: (1) menolak relasi kekuasaan yang tidak seimbang dalam setiap level, termasuk patriarki (patriarchy), dari mulai level personal hingga public, dari keluarga hingga pemerintahan; (2) melibatkan lembaga pemerintah untuk memberdayakan pihak-pihak yang termarginalkan; (3) menciptakan dan menggunakan “ruang” dalam system untuk suatu perubahan; (4) stategi menggunakan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan peluang-peluang (opportunitie) dalam mempengaruhi kebijakan public; dan (5) memadukan aktivitas level-mikro dan inisiatif kebijakan level-makro.
Selanjutnya Samuel (2007:616)[9] melakukan studi tentang proses advokasi di India. Menurut Samuel, dalam konteks India, organisasi akar rumput dan mobilisasi (grassroots organization and mobilization) digunakan untuk membangun kesadaran dan menuntut hak-hak sebagai warganegara, dan menjamin kredibilitas, legitimasi, serta kekuatan tawar-menawar terhadap advokasi public. Di India, salah satu tawaran dari advokasi public adalah penerapan legislasi keadilan social (social-justice legislation) dan program keamanan social (social-security programmes). Legislasi progresif termasuk seperti: the Equal Remunertion Act, the Dowry Prohibition Act, the Bonded Labour Prohibition Act, dan the Prevention of Atrocities against Scheduled Caste and Scheduled Tribe Act.
Para pihak yang melakukan advokasi berangkat dari suatu pemahaman dan keyakinan bahwa ketidakadilan yang menimpa kelompok masyarakat miskin atau kelompok masyarakat tertindas,  disebabkan oleh tatanan social asimetris yang melahirkan hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang. Hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang dan tidak demokratis itulah kemudian memproduksi proses dan mekanisme pengambilan keputusan yang menyangkal keikutsertaan masyarakat miskin (kelompok marjinal). Proses dan mekanisme pengambilan keputusan yang tidak demokratis itu dengan sendirinya menghasilkan berbagai kebijakan yang merugikan hak dan kepentingan masyarakat miskin (kelompok marjinal).  Dalam perspektif itu advokasi merupakan suatu kegiatan yang direncanakan bersama oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk tujuan mentransformasi tata hubungan social asimetris yang melahirkan hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak demoratis menuju ke arah terwujudnya tatanan social yang simetris yang mendasari hubungan-hubungan kekuasaan yang lebih demokratis dan adil. Ke arah tatanan masyarakat ideal itulah kegiatan advokasi direncanakan dan dilakukan.
Dalam konteks Indonesia, kegiatan-kegiatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi-organisasi rakyat meliputi berbagai bentuk kegiatan advokasi seperti: pendidikan, penyadaran, dan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat miskin, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan kegiatan ligitasi (gugatan) atau pembelaan hak-hak dan kepentingan kaum miskin di depan pengadilan. Kegiatan lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh LSM-LSM yang bergerak di bidang advokasi hukum dan lingkungan hidup, seperti Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan banyak organisasi lingkungan hidup lainnya. Demikian pula masyarakat konsumen Indonesia melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan LSM konsumen lainnya telah sejak lama melakukan advokasi hak-hak dan kepentingan masyarakat konsumen melalui program pendidikan dan penyadaran, ligitasi, dan lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan agar lahir suatu kebijakan yang responsive dan produktif terhadap hak-hak konsumen.
Selanjutnya Miller dan Covey (2005:13)[10] menyatakan bahwa pendekatan terhadap advokasi dapat beraneka ragam tergantung pada konteks politik di mana organisasi itu bekerja. Strategi-strategi advokasi dapat beraneka ragam mulai dari pendekatan-pendekatan yang menekankan kerjasama dengan pihak penguasa hingga pendekatan yang memusatkan perhatian pada pendidikan dan himbauan, dan akhirnya sampai pada pendekatan yang secara terbuka menentang dan menggunakan gabungan strategi-strategi yang saling memperkuat. Misalnya, salah satu LSM yang bekerja di Afrika di bawah rezim otoriter menggunakan pendekatan di belakang layar untuk menciptakan perubahan. Di Filipina, dalam kasus Penataan Ulang Lahan Perkotaan dimana sebuah koalisi luas LSM-LSM, asosiasi pemukiman, dan tokoh-tokoh utama gereja menggunakan pendekatan yang berkisar dari demonstrasi di jalanan hingga jamuan makan yang diadakan oleh uskup-uskup Katolik untuk komisi-komisi penting di Kongres dan penyusunan rancangan undang-undang untuk komisi-komisi penting di Kongres. Di Ekuador sebuah gerakan pribumi nasional yang kuat bekerjasama dengan pendukung-pendukung gereja yang berkuasa serta LSM internasional yang penting bersekutu untuk membatalkan undang-undang yang akan melenyapkan perlindungan hokum atas lahan-lahan yang dimiliki oleh adat. Karena takut bahwa akhirnya lahan mereka akan lenyap, gerakan kaum Indian itu menggunakan serangkaian luas strategi dan taktik advokasi untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Pertama-tama mereka meminta nasihat para anggota tentang dampak undang-undang itu, mengumpulkan pengetahuan dan temuan-temuan akar rumput mereka dan kemudian memobilisasi para anggota untuk membuka ruang politik bagi perundingan dengan pemerintah. Untuk memperluas ruang itu, mereka memblokade jalan-jalan raya, menduduki gedung-gedung pemerintahan, menimbulkan liputan media, menggunakan system pengadilan untuk mendapatkan keputusan yang menguntungkan ketika tentara campur tangan, dan berbicara dengan pejabat-pejabat bank utama di Washington. Tindakan-tindakan ini pada akhirnya menjurus pada perundingan dengan presiden negeri itu dan pemimpin pemerintah lainnya sehingga menghasilkan konsesi penting yang melenyapkan sebagian besar segi-segi hukum yang tak tertahankan itu.
Sementara itu, intervensi social (social intervention) mengacu kepada proses campur-tangan melalui perubahan relasi social yang sedang berlangsung (Bennett, 1987:13)[11]. Proses intervensi social meliputi cara dimulainya perubahan, berkembang, dan bertahan dalam dunia social (social world). Menurut Parson (Bennet, 1987:13)[12], intervensi social berkaitan dengan proses perubahan system (change of the system), bukan proses perubahan dalam system (change within the system). Perubahan system (change of a system) menyangkut pergantian atau transformasi yang mencoba mengatasi problem dalam system.
Menurut  Loewenberg (1977:7)[13], dalam konteks pekerjaan social, istilah intervensi social menekankan kepada partisipasi aktif, bertujuan, dan direncanakan baik oleh klien maupun pekerja sosial dalam setiap fase dari proses intervensi social. Aktivitas intervensi merupakan respons atas kondisi terjadinya masalah spesifik atau sebagai upaya untuk mencegah berkembangnya masalah pada individu, kelompok, atau masyarakat. Selanjutnya Loewenberg (1977: 25)[14] menyatakan bahwa proses-proses dari intervensi social meliputi: (1) Problem Recognition; (2) Request for Help; (3) Preliminary Assessment; (4) Problem Assessment and Goal Identification; (5) Strategy Development; (6) Contract Negotiation; (7) Impelemntation of Strategy; (8) Feedback and Evaluation; dan (9) Termination.
Intervensi kritis merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam upaya penanganan (rehabilitasi) korban bencana sosial. Intervensi kritis, yaitu intervensi intervensi yang bertujuan untuk memberikan sebanyak mungkin dukungan dan bantuan kepada individu dan keluarganya, dalam rangka memungkinkan orang yang ditolong mendapatkan kembali keseimbangan psikologis secepat mungkin (Buku Pedoman: Pola Penanganan Korban Bencana Sosial di Indonesia, Direktorat  Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos RI, 2004: 90). Menurut Roberts (Payne, 1997: 101), langkah-langkah dalam intervensi kritis meliputi: (1)  assess to risk and safety of clients and others; (2) establish rapport and appropriate communication with clients; (3) identity major problems; (4) deal with feelings and provide support; (5) explore possible alternatives; (6) formulate an action plan; and (7) provide follow-up support.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif-konstruktivisme (constructivism-interpretive). Semua penelitian yang berciri interpretif dipandu oleh seperangkat kepercayaan dan perasaan tentang dunia dan bagaimana memahami serta mengkajinya (Denzim & Lincoln, 2009:16)[15]. Menurut Denzim dan Guba (Salim, 2001:71)[16], tujuan penelitian (inquiry aim) dari paradigma interpretif-konstruktivisme adalah untuk mengadakan pemahaman dan rekonstruksi social action. Menurut Marvasti (2004:8)[17], tujuan dari penelitian constructionism adalah berkaitan dengan bagaimana variasi kultural dan situasional mewarnai sebuah realitas (How do situational and cultural variations shape reality). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Menurut Denzim dan Lincoln (2009:6)[18],  kata kualitatif menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya. Jenis atau metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi. Menurut Denzim dan Guba (Salim, 2001:89)[19], metode fenomenologi adalah merupakan salah satu metode dari penelitian dengan pendekatan kualitatif.  Demikian juga Creswell (2007: 53)[20] yang menyebutkan bahwa fenomenologi merupakan salah satu dari lima pendekatan dalam inkuiri kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.        Dampak Bencana Lumpur Lapindo:
Terjadinya bencana semburan lumpur Lapindo pada tanggal 29 Mei 2006 telah menimbulkan dampak bagi masyarakat dan lingkungan di wilayah Kabupaten Sidoarjo, khususnya pada wilayah di tiga kecamatan baik yang masuk ke dalam PAT maupun luar PAT, yakni: Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Kecamatan Jabon. Bencana semburan lumpur Lapindo telah menghancurkan sekitar 16 desa,  dimana 1.071 hektar luas wilayah yang meliputi areal pertanian, pertambakan, industri, dan pemukiman penduduk harus dikosongkan, baik karena tenggelam oleh luapan lumpur maupun karena dinyatakan sudah tidak layak huni sebagai dampak sosial-kemasyarakatan, amblesan, maupun bahaya semburan gas.  Sementara lebih dari sekitar 15.788 KK atau 48.983 Jiwa harus pindah dari tempat tinggal asalnya ke tempat yang baru.
Bencana lumpur Lapindo selain menimbulkan dampak pada  terjadinya perubahan wilayah di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon akibat hilangnya beberapa wilayah karena tenggelam lumpur atau tidak layak huni, juga telah menimbulkan perubahan pada berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial, lingkungan, pendidikan, dan sebagainya.
Aset yang rusak terdiri dari: (1) Tanah dan bangunan hunian penduduk; (2) Tanaman produktif, seperti tanaman padi, tebu, dan palawija; (3) Bangunan dan peralatan pabrik; dan (4) Infrastruktur, seperti jalan tol, jaringan listrik, jaringan irigasi, jaringan air bersih, jaringan telekomunikasi, jaringan pipa gas, dsb.
Kerugian ekonomi akibat luapan lumpur setidaknya terbagi dalam dua, yakni direct cost atau kerugian langsung yang mencapai Rp 50 milyar per-hari, dan indirect cost atau kerugian tidak langsung Rp 500 milyar per-hari. Menurut Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, dengan mengacu kepada hasil kajian dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, kerugian akibat bencana lumpur Lapindo mencapai Rp 33 Trilyun per-tahun.
Data pada tahun 2009, sebanyak 3.562 buruh terkena PHK akibat beberapa perusahaan tutup dan beberapa perusahaan lainnya melakukan pengurangan buruh/keryawan. Sementara 2.302 buruh korban lumpur panas masih terkatung-katung tanpa pekerjaan akibat  pabrik tempatnya bekerja terendam lumpur. Menurut catatan Komnas Ham, hak masyarakat untuk bekerja atau membuat pekerjaan baru juga lenyap terendam lumpur. Menurut data terakhir (2013) sebagaimana dijelaskan oleh ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL), Drs. S.H. Ritonga[21], bahwa terdapat 33 perusahaan/pabrik yang terpaksa harus tutup karena tergenang lumpur yang menyebabkan sekitar 10.000 karyawan (buruh) kehilangan pekerjaannya. Dalam bidang pendidikan, sedikitnya sekitar 33 bangunan sekolah mulai TK hingga SMA hancur terendam lumpur. Akibatnya, 5.397 siswa harus dimutasi ke sekolah lain atau belajar di sekolah darurat. Kondisi seperti ini merupakan ancaman bagi terjadinya anak putus sekolah.
Kerugian material tersebut memicu dampak non-fisik terhadap masyarakat yang mengakibatkan kerugian yang mempunyai nilai tidak kalah besar dengan kerugian materi, yaitu kerugian sosial-budaya, serta kerugian psikologi dan kesehatan masyarakat. Dampak non-fisik ini belum menjadi perhatian utama pihak yang bertanggungjawab, yang seharusnya juga memberikan ganti-rugi kepada masyarakat yang menjadi korban terkena dampak kerusakan, sosial-budaya, psikologi dan kesehatan. Misalnya, dampak sosial-budaya yakni hancurnya tatanan sosial, nilai-nilai, norma, dan tradisi yang selama ini sudah terbangun puluhan bahkan ratusan tahun dalam kehidupan komunitas masyarakat; Dampak kesehatan, yakni munculnya berbagai penyakit yang diderita oleh warga korban bencana lumpur Lapindo, seperti: ISPA (berdasarkan laporan  dari tiga puskesmas di tiga kecamatan terdampak, terdapat peningkatan yang signifikan jumlah penderita gangguan pernapasan/ISPA), Kanker kulit, batuk-batuk, dsb.; Dampak psikologis, seperti munculnya perasaan khawatir, stres, bahkan depresi.

2.        Advokasi LSM:
Advokasi yang dilakukan oleh LSM terhadap korban lumpur Sidoarjo dilakukan antara lain melalui proses ligitasi, yang meliputi:
Pertama; Aksi gugatan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (Ham) dalam kasus semburan lumpur panas Sidoarjo oleh YLBHI.
Pada bulan Desember tahun 2006, sekitar delapan bulan setelah terjadinya semburan lumpur panas Lapindo, korban lumpur Lapindo melakukan aksi berupa tuntutan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran Ham. Aksi gerakan sosial korban lumpur Lapindo tersebut dalam rangka menuntut pertanggungjawaban terhadap pihak pemerintah dan PT. LBI atas terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (Ham). Aksi ini  didukung dan diwakili oleh sebuah tim, yakni “Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo”, yang terdiri dari 59 para advokat publik dan asisten advokat publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo, melakukan aksi gugatan perbuatan melawan hukum dalam kasus lumpur Lapindo. Surat gugatan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada tanggal 8 Desember 2006, dalam perkara No. 384/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST[22].
Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Sidoarjo atas nama korban bencana lumpur Lapindo, menggugat para pihak tergugat, yakni: Presiden RI (sebagai pihak tergugat I), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (sebagai pihak tergugat II), Menteri Negara Lingkungan Hidup (sebagai pihak tergugat III), Badan Pelaksana Migas (sebagai pihak tergugat IV), Gubernur Jawa Timur (sebagai pihak tergugat V), Bupati Sidoarjo (sebagai pihak tergugat VI), dan pihak PT. Lapindo Brantas Incorporated (sebagai pihak turut tergugat). Menurut pihak penggugat, para tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum dalam kasus lumpur panas Sidoarjo. Menurut para penggugat, bahwa sekalipun sejak awal telah dapat diperhitungkan akan menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, para tergugat tidak mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak semburan lumpur panas tersebut pada hari-hari awal terjadinya semburan lumpur. Hal ini menunjukkan bahwa para tergugat, selaku penyelenggara negara telah bertindak tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya.
Menurut YLBHI, bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur panas dan penanganan yang berlarut-larut antara lain mencakup kerugian atas: (1) hak untuk hidup berupa hilangnya nyawa manusia akibat ledakan pipa gas Pertamina pada tanggal 22 November 2006; (2) Hak atas kehidupan yang layak berupa menurunnya kualitas kehidupan masyarakat yang menjadi korban langsung semburan Lumpur panas dan korban tidak langsung yakni masyarakat luas yang terkena imbas semburan Lumpur panas; (3) hak atas bebas dari rasa takut yang dialami korban dan potensi korban serta masyarakat di Sidoarjo dan sekitarnya termasuk para nelayan di selat Madura; (4) hak atas perumahan yang dialami para korban yang harus kehilangan tempat tinggalnya akibat semburan Lumpur panas; (5) hak atas pekerjaan berupa hilangnya mata pencaharian dan pekerjaan akibat semburan Lumpur panas; (6) hak atas pendidikan berupa hilangnya kesempatan menjalani pendidikan akibat semburan Lumpur panas; (7) hak anak berupa terenggutnya hak-hak anak untuk memperoleh perawatan yang baik dari orang tuanya, untuk bermain dan berkreasi, dan mengikuti pendidikan, akibat semburan Lumpur panas; (8) hak-hak perempuan berupa hilangnya perlindungan kepada perempuan, khususnya anak-anak perempuan dan ibu-ibu akibat semburan Lumpur panas; dan (9) hak milik berupa hilangnya harta benda milik korban akibat semburan Lumpur panas.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan beberapa pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo, Jawa Timur. Adapun beberapa pelanggaran HAM tersebut antara lain hak untuk hidup. Berdasarkan temuan Komnas HAM, pemerintah gagal untuk memenuhi hak atas standar dan lingkungan hidup yang layak. Pelanggaran lainnya adalah dalam hal hak atas informasi. Hal ini ditekankan pada informasi yang tidak sampai kepada masyarakat terkait proyek pengeboran yang dilakukan, kemudian hak atas rasa aman terhadap ancaman jebolnya tanggul penahan lumpur yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan rumah-rumah penduduk.  Dalam hal ini, pemerintah juga tidak membuat sistem peringatan dini (early warning system). Ditambah lagi dengan munculnya gelembung-gelembung gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran. Tidak hanya itu, bencana lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo tersebut juga menghilangkan hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, juga hak pendidikan.  Karena bencana lumpur tersebut, tercatat 2.288 orang berhenti bekerja akibat pabrik-pabrik tempat mereka bekerja sudah tidak beroperasi. Kemudian ada 33 sekolah yang rusak sehingga 1.774 siswa SD, SMP, SMA, dan pondok pesantren kehilangan tempat belajar karena sekolah mereka tergenang lumpur[23].
Komnas HAM juga mencatat, akibat bencana lumpur tersebut, para korban kehilangan hak kesejahteraan (hak milik) atas aset-aset mereka yang hilang direnggut lumpur. Hal ini juga berimplikasi terhadap hilangnya hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Komnas HAM juga menyebutkan bahwa dalam konteks bencana lumpur di Porong Sidoarjo itu, pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab juga telah melanggar hak-hak kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, dan perempuan. Terbukti di lapangan, tidak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil serta tidak ada jaminan keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual karena tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita. Dengan terlanggarnya hak-hak para korban lumpur tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka untuk memperoleh jaminan sosial juga tidak dipenuhi sama sekali.
Penggugat mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut: (1) Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya; (2) Menyatakan PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT telah melakukan PERBUATAN MELAWAN HUKUM; (3) Menghukum PARA TERGUGAT untuk mengeluarkan kebijakan yang memerintahkan TURUT TERGUGAT untuk memulihkan hak-hak masyarakat korban semburan lumpur panas di Sidoarjo dengan ketentuan bahwa masyarakat korban memperoleh kembali haknya setara atau lebih baik dengan nilai keadaan semula seperti sebelum terjadinya semburan lumpur panas ditambah dengan tanggungan penuh selama para korban belum terpenuhi hak-haknya; (4) Memerintahkan PARA TERGUGAT mengeluarkan kebijakan agar TURUT TERGUGAT untuk secara bersama-sama segera menghentikan semburan lumpur panas dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang tersedia dan mempertimbangkan Hak Asasi Masyarakat termasuk hak atas lingkungan yang sehat; (5) Memerintahkan kepada PARA TERGUGAT mengeluarkan kebijakan yang dapat menjamin secara hukum bahwa TURUT TERGUGAT akan menanggung seluruh biaya yang telah dan akan dikeluarkan terkait dengan upaya penanggulangan semburan Lumpur panas di Sidoarjo dan pemulihan hak-hak korban; (6) Memerintahkan TERGUGAT I untuk memerintahkan jajaran aparat hukum mengambil tindakan hukum secara tegas, melakukan penegakan hukum dan penuntutan terhadap seluruh pihak yang bertanggungjawab termasuk pimpinan penanggungjawab usaha yang kegiatannya telah memicu terjadinya semburan lumpur panas; dan (7) Memerintahkan kepada PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk meminta maaf secara tertulis kepada para korban yang diumumkan melalui 5 (lima) stasiun televisi nasional, 5 (lima) stasiun radio dan 10 (sepuluh) media cetak nasional selama tiga hari berturut-turut yang isinya berbunyi sebagai berikut:
“Kami, Presiden RI, Menteri Energi Sumber Daya Mineral RI, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Ketua Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas RI; Gubernur Jawa Timur; Bupati Sidoarjo; Lapindo Brantas Incorporated, menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya atas perbuatan melawan hukum yang kami lakukan terkait dengan kelalaian dan kealpaan melakukan kewajiban hukum kami terkait dengan terjadinya semburan lumpur panas yang merenggut Hak Asasi Manusia para korban dan masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya, serta membuat kerusakan lingkungan hidup yang memberikan dampak kerugian materil maupun immaterial yang besar dan meluas. Kiranya pernyataan penyesalan atas perbuatan melawan hukum ini menjadi titik awal wujud penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia serta perubahan sistem pengelolaan lingkungan hidup yang bermutu dan berkualitas dengan manfaat yang digunakan sebesar-besarnya bagi hak-hak Warga Negara Indonesia”.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terhadap pemerintah dan PT Lapindo Brantas Incorporated (Inc) soal penanganan semburan lumpur. Putusan PN Jakarta Pusat tanggal 27 November 2007 menyatakan menolak gugatan YLBHI dimana pemerintah dan PT. Lapindo Brantas Inc., tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Pada sidang pembacaan putusan di PN Jakarta Pusat, majelis hakim yang diketuai Moefri hanya mempertimbangkan bahwa PT Lapindo sudah cukup mengeluarkan banyak uang untuk menanggulangi semburan lumpur tersebut. Majelis menyatakan pemerintah dan Lapindo tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum akibat tidak terpenuhinya hak ekonomi, social, dan budaya (ekosob) para korban akibat semburan lumpur[24].
Majelis menolak semua gugatan tergugat secara keseluruhan. Majelis menilai pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang perlu untuk menangani semburan lumpur yang terjadi sejak Mei 2006 dengan cara membentuk tim terpadu penanggulangan lumpur. Sedangkan PT Lapindo Brantas Inc., dinilai telah mengeluarkan banyak uang, di antaranya Rp1,6 triliun untuk para pengungsi dan untuk menangani semburan lumpur serta untuk membayar biaya jatah hidup (jadup) untuk para pengungsi. “Sejak semburan terjadi di lokasi pengeboran pada 29 Mei 2006, pengungsi sudah diungsikan ke Pasar Porong dengan angkutan yang disediakan Lapindo. Lapindo juga telah membayar biaya kontrak rumah para pengungsi dan menanggung biaya sekolah anak para korban,” tutur Martini Mardja.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) secara resmi mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menolak gugatan YLBHI terkait kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas Inc. Banding sendiri dilakukan dengan alasan putusan majelis hakim lemah. Alasan banding dilakukan YLBHI, karena pihaknya tetap berpendapat putusan majelis hakim memiliki sejumlah kelemahan yang substansial. Salah satunya adalah majelis hakim tidak mempertimbangkan terjadinya pelanggaran atas pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya para korban, seperti hilangnya rumah, pekerjaan, lahan, dan sebagainya. Namun putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta tanggal 13 Juni 2008 justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tanggal 27 November 2007 yang menyatakan bahwa adanya kejadian Lumpur Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam lebih dominan, bukan karena kesalahan manusia[25].
Selanjutnya YLBHI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namum putusan kasasi MA tanggal 3 April 2009 menyatakan menolak permohonan kasasi YLBHI bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam dan bukan kesalahan industri, dan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam keterangannya di Gedung MA, Jakarta Pusat, Kepala Humas Mahkamah Agung, Nurhadi mengatakan bahwa pengajuan kasasi oleh YLBHI kepada Lapindo dimenangkan Lapindo. Nurhadi juga menjelaskan, bahwa penolakan kasasi YLBHI tersebut berdasarkan pengulangan dari dalil yang telah diajukan sebelumnya, serta hasil pembuktian yang diajukan tidak dapat dipertimbangkan di tingkat kasasi[26].
Kedua; Aksi Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Bersamaan dengan gugatan YLBHI di PN Jakarta Pusat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga melakukan gugatan di PN Jakarta Selatan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajukan gugatan terhadap PT Lapindo Brantas dan pemerintah karena dinilai bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan akibat semburan lumpur di Sidoarjo. Gugatan perdata itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan gugatan terhadap pemerintah, karena pemerintah dianggap telah melakukan pembiaran dan tidak melakukan kontrol. Walhi menggugat 12 pihak, yaitu: Lapindo, PT Energi Mega Persada, Kalila Energy Limited, Pan Asia Enterprise, PT Medco Energy, Santos Australia Limited. Dari pihak pemerintah, yang digugat adalah Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur Provinsi Jawa Timur, dan Bupati Sidoarjo[27].
Namun ternyata gugatan Walhi terhadap PT. Lapindo dan Pemerintah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jaksel Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 27 Desember 2007, menolak gugatan legal standing yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas kasus lumpur PT Lapindo[28]. Dalam amar putusannya, majelis hakim memenangkan 12 tergugat, termasuk PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Hakim beranggapan, semburan lumpur di sumur Banjar Panji-1, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah fenomena alam biasa. Putusan ini dianggap Walhi sebagai ketidakadilan terhadap lingkungan. Alasan majelis hakim dalam putusannya yang dibacakan kemarin karena tergugat PT Lapindo Brantas dinyatakan tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus semburan lumpur yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup seperti yang digugat Walhi. Meski menolak gugatan Walhi, namun majelis hakim menyatakan tetap mewajibkan para tergugat untuk memenuhi tanggung-jawab moral yaitu berupaya menghentikan semburan lumpur.
Walhi selanjutnya mengajukan banding di tingkat PT Jakarta[29]. Namun putusan PT Jakarta tanggal 27 Oktober 2008 menguatkan putusan PN Jakarta Selatan tanggal 27 Desembar 2007 yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo disebabkan fenomena alam. Surat Panitera PN Jaksel tanggal 14 Januari 2009 yang menyatakan masing-masing pihak tidak mengajukan Kasasi, sehingga secara hukum putusan PT Jakarta tanggal 27 Oktober 2008 mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht)[30].
Upaya advokasi yang dilakukan oleh LSM YLBHI dan Walhi dalam membela kepentingan korban bencana lumpur Lapindo melalui ligitasi ternyata mengalami kegagalan.

3.        Intervensi Pemerintah:
Intervensi pemerintah dalam proses rehabilitasi sosial diwujudkan dalam tiga bentuk fasilitasi, yakni: kebijakan, kelembagaan, dan alokasi anggaran dana.
Pertama; Fasilitasi Kebijakan. Kebijakan pemerintah dalam penanganan dampak luapan lumpur Sidoarjo sejak terjadinya peristiwa semburan lumpur tahun 2006 hingga tahun 2013, tertuang dalam Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres), sebagai berikut:
(1)     Tertanggal 8 September 2006 terbit Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PSLS). Tim ini mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo yang meliputi: penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah lumpur. Pembentukkan Tim  Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya. Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan pada anggaran PT. Lapindo Brantas.
(2)     Tertanggal 8 April 2007 terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomo 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Perpres 14 Tahun 2007 ini menggantikan Kepres Nomor 13 Tahun 2006, dengan demikian keberadaan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo sudah berakhir dan tugas-tugasnya diambil-alih oleh Badan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (BPLS). Tugas BPLS adalah menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infratsruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil.
Dalam lampiran Kepres Nomor 14 Tahun 2007 dicantumkan wilayah yang masuk ke dalam Peta Area Terdampak (PAT), yakni wilayah yang terendam lumpur, sebagaimana usulan Timnas PSLS. Wilayah masuk PAT meliputi empat desa yaitu: Desa Siring, Desa Jatirejo, Desa Kedung Bendo, dan Desa Renokenongo, kemudian wilayah di dalam PAT ditambah lagi enam desa, yakni: Desa Ketapang, Desa Kalitengah, Desa Glagah Arum, Desa Gempolsari, Desa Pejarakan, Desa Mindi, dan Desa Keboguyang. Luas wilayah di dalam PAT, yakni luas wilayah yang terendam lumpur, keseluruhnya meliputi 613,4 Ha. Berdasarkan pasal 15 Perpres Nomor 14 Tahun 2007, PT. Lapindo Brantas diharuskan membeli tanah dan bangunan milik warga masyarakat yang ada di dalam wilayah PAT tersebut melalui skema jual-beli dengan pembayaran bertahap, yakni 20% dibayar dimuka dan sisanya dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.  Namun hingga saat ini proses jual-beli aset tanah dan bangunan oleh PT LBI belum bisa diselesaikan seluruhnya. Berdasarkan hasil kesepakatan antara warga korban dengan PT LBI maka disepakati besarnya nilai jual-beli, yakni: untuk bangunan sebesar Rp 1,5 juta per-meter persegi, untuk tanah darat sebesar sebesar Rp 1 juta per-meter persegi, dan untuk tanah sawah  sebesar Rp 150 ribu per-meter persegi.
(3) Tertanggal 17 Juli 2008, terbit Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Salah satu pertimbangan terbitnya Perpres Nomor 48 Tahun 2008 ini adalah bahwa luapan lumpur di Sidoarjo telah menimbulkan dampak sosial kemasyarakatan bagi masyarakat di luar wilayah PAT tanggal 22 Maret 2007 (Lampiran Perpres Nomor 14 Tahun 2007). Selanjutnya, proses jual beli terhadap tanah dan bangunan milik warga masyarakat yang masuk wilayah di luar PAT dilakukan oleh BPLS dengan mengacu kepada besaran harga jual-beli yang dibayarkan oleh PT. LBI terhadap tanah dan banguan warga masyarakat yang ada di dalam PAT. Biaya jual-beli di luar PAT sebagaimana Perpres Nomor 48 Tahun 2008 ini dibebankan kepada dana APBN. Dengan demikian, sejak terbit Perpres No. 48/2007 maka wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni: wilayah di dalam PAT dan wilayah di luar PAT.
(4) Selanjutnya, tertanggal 23 September 2009 terbit Perpres Nomor 40 Tahun 2009; kemudian tertanggal 27 September 2011 terbit Perpres Nomor 68 Tahun 2011;  Tertanggal 5 April 2012 terbit Perpres Nomor 37 Tahun 2012; dan  terakhir, pada tanggal 8 Mei 2013 terbit Perpes Nomor 33 Tahun 2013 tentang perubahan kelima atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Inti dari berbagai Perpres ini adalah adanya penambahan luas wilayah di luar Peta Area Terdampak (PAT). Khusus dalam   Perpes Nomor 33 Tahun 2013 sudah mulai diatur tentang mekanisme panggantian/penukaran tanah wakaf.
Kedua; Pembentukkan Kelembagaan. Secara khusus, untuk menangani berbagai permasalahan yang terkait dengan bencana semburan lumpur Sidoarjo, pemerintah membentuk suatu badan, yakni: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Dengan Perpres ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang bertugas menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil. Selanjutnya BPLS melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden.
BPLS terdiri dari Dewan Pengarah dan  Badan Pelaksana.  Dewan Pengarah bertugas memberikan arahan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan atas upaya penanggulangan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, penanganan masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, yang dilaksanakan Badan Pelaksana.  Dewan Pengarah terdiri dari:  Ketua: Menteri Pekerjaan Umum, merangkap anggota;  Wakil Ketua : Menteri Sosial; merangkap Anggota;  Anggota:  Menteri Keuangan,  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,  Menteri Dalam Negeri,  Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perhubungan,  Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS,  Menteri Negara Lingkungan Hidup,  Kepala Badan Pertanahan Nasional,  Gubernur Provinsi Jawa Timur,  Panglima Daerah Militer V/ Brawijaya,  Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur; dan  Bupati Kabupaten Sidoarjo. Susunan organisasi Badan Pelaksana, terdiri dari:  Kepala Badan Pelaksana,  Wakil Kepala Badan Pelaksana,  Sekretaris Badan Pelaksana,  Deputi Bidang Operasi,  Deputi Bidang Sosial, dan  Deputi Bidang Infrastruktur.
Upaya yang dilakukan oleh BPLS meliputi penanganan semburan lumpur Lapindo dan penanganan penyelesaian masalah sosial-kemasyarakatan sebagai dampak semburan lumpur Lapindo. Dalam upaya penanganan penyelesaian masalah sosial-kemasyarakatan, program BPLS meliputi: bantuan sosial, perlindungan sosial, dan pemulihan sosial. Bantuan sosial diberikan dalam bentuk: bantuan kesehatan dan air bersih dan bantuan uang kontrak, uang evakuasi dan uang jaminan hidup. Perlindungan sosial diberikan dalam bentuk proses jual-beli tanah dan bangunan milik warga korban bencana lumpur Lapindo baik oleh PT MLJ maupun oleh BPLS. Sedangkan proses pemulihan sosial diberikan dalam bentuk:  kegiatan pelatihan (jahit sepatu, sulam pita, pertukangan emas, otomotif, modes, olahan pangan, teknisi mesin jahit, kewirausahaan, tanggap bencana, dan ternak unggas), dan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi.
 Ketiga; Alokasi Anggaran. Penentuan wilayah terdampak luapan lumpur Sidoarjo dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: Pertama, wilayah yang termasuk ke dalam Peta Area Terdampak (PAT); dan Kedua, wilayah yang termasuk di luar Peta Area Terdampak (PAT). Dana penanganan dampak luapan lumpur yang ada di wilayah Peta Area Terdampak (PAT) menjadi tanggungjawab PT. Lapindo Brantas Inc., sedangkan dana penanganan   luapan lumpur yang ada di luar wilayah Peta Area Terdampak (PAT) menjadi tanggungjawab pemerintah melalui APBN.
Total anggaran pemerintah yang menyerap dana APBN,untuk penanggulangan lumpur Lapindo sudah sebanyak Rp 6,2 triliun. Anggaran itu dihitung mulai 2008 hingga 2013. Sementara alokasi anggaran pada 2007 sebesar Rp 505 miliar  diambilkan dari pos anggaran darurat. Rinciannya sebagai berikut: APBN 2008 sebesar Rp 1,1 triliun, 2009 sebesar Rp 1,147 triliun, 2010 sebesar Rp 1,216 triliun, 2011 sebesar Rp 1,286 triliun, 2012 sebesar Rp 1,533 triliun dan 2013 sebesar Rp 2,256 triliun[31].
Sesuai dengan amanat Undang-undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah Pusat menjadi penanggung jawab dalam  penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik pada peristiwa bencana alam, bencana nonalam, maupun bencana sosial. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam Penanggulangan Bencana meliputi: (1) Pengurangan Risiko Bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (2) Pelindungan masyarakat dari dampak bencana; (3) Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; (4) Pemulihan kondisi dari dampak bencana; (5) Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai; (6) Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai (dana pemerintah yang dicadangkan merupakan dana siap pakai apabila terjadi bencana); dan (7) Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Sedangkan wewenang Pemerintah Pusat dalam Penanggulangan Bencana meliputi: (1) Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; (2) Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; (3) Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah; (4) Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain; (5) Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana; (6) Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan (7) Pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional (termasuk pemberian izin pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional menjadi kewenangan Menteri Sosial).
Dari paparan di atas, Intervensi pemerintah dalam upaya penanganan masalah bencana semburan lumpur Sidoarjo dapat disimpulkan sebagai berikut:

Tabel :
Gambaran Intervervensi Pemerintah
Dalam Bencana Lumpur Sidoarjo

No.
Bentuk Intervensi
Keterangan
Evaluasi
1.
Fasilitasi Kebijakan.
Pemerintah menerbitkan Kepres No. 13/2006. Kemudian Perpres No. 14/2007, Perpres No. 14/2007, Perpres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 37/2012, dan Perpes Nomor 33/2013.
Pada prinsipnya kebijakan pemerintah ini mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan: pembagian wilayah dalam PAT & luar PAT, mekanisme pembayaran jual-beli aset tanah dan bangunan, dasar pembentukan BPLS, & jaminan alokasi anggaran APBN.

Catatan: (1) Kebijakan ini mengisyaratkan warga sebagai pihak penjual bukan sebagai pihak korban; dan (2) Tidak satu pun dalam Perpres yang mengatur upaya pemulihan kehidupan sosial-ekologis yang rusak akibat bencana lumpur panas Lapindo.

2.
Pembentukkan Kelembagaan.
Dibentuk TimNas PSLS kemudian diganti dengan BPLS.
Tugas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur.

Catatan: Fokus BPLS dalam upaya penanganan masalah sosial-kemasyarakatan masih kurang.

3.
Fasilitasi Dana/ Alokasi Anggaran.
Pemerintah mengalokasikan anggaran melalui APBN: 2007, 2008, 2009, 2010, 2011 & 2013.
Hingga tahun 2013 total alokasi anggaran APBN sebesar Rp 6,2 Trilyun. Dana ini sebagian besar digunakan untuk: pembayaran jual-beli tanah dan bangunan milik warga korban yang ada di luar PAT, penutupan semburan  dan pengaliran lumpur, dan penanganan masalah sosial-kemasyarakatan.

Catatan: Porsi anggaran untuk penanganan masalah sosial-kemasyarakatan masih relatif kecil.


Simpulan dan Saran
Dari uraian hasil penelitian sebagaimana dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai beriut:
Advokasi sosial terhadap korban bencana semburan lumpur Lapindo dilaukan oleh LSM dalam bentuk ligitasi dan pendampingan. LSM yang aktif melakukan advokasi sosial terhadap korban bencana lumpur Lapindo antara lain Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Sedangkan intervensi pemerintah dilakukan dalam bentuk: kebijakan, pembentukkan kelembagaan, dan alokasi dana.  Kebijakan pemerintah dalam upaya mengatasi permasalahan bencana lumpur Lapindo tertuang dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres), seperti: (1) Kepres No.13/2006; (2) Perpres No. 14/2007; (3) Perpres Nomor 48 Tahun 2008; (4) Perpres Nomor 40 Tahun 2009; (5) Perpres Nomor 68 Tahun 2011;  (6) Perpres Nomor 37 Tahun 2012; dan (7) Perpes Nomor 33 Tahun 2013. Dari aspek kelembagaan, intervensi pemerintah diwujudkan dalam bentuk pembentukkan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (Timnas PSLS), yang kemudian diganti dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sedangkan dari sisi anggaran, intervensi pemerintah diwujudkan dalam bentuk kebijakan alokasi anggara di APBN yang hingga tahun 2013 sudah menyerap dana sekitar  Rp 6,2 Trilyun.
Sedangkan saran yang bisa diberikan adalah terkait dengan program penelitian selanjutnya, yakni penting untuk diteliti dan dikaji lebih detail hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan manajemen bencana dalam penanganan masalah bencana lumpur Lapindo, yang meliputi: fase migitasi, fase tanggap darurat, dan fase rekaperi (recovery).
                                                             ***
Ucapan Terimakasih
Penelitian ini didanai oleh:
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M),
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Kemendikbud.
Melalui:
Program Penelitian Desentralisasi-DP2M,
Universitas Muhammadiyah Malang-Tahun 2013


[1] Batubara, Bosman & Utomo, Paring Waluyo.2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: INSITPress. Hal.3.
[2] Prasetia, Heru; & Batubara, Bosman (eds.). 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil. Depok: DESANTARA.
[3] Richard Davies, dkk., ahli geologi dari Universitas Durham, Inggris, menulis dalam Journal of the Geological Society.
[4] Tempo Interaktif. Edisi Jumat, 25 Pebruari 2011.
[5] Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos RI. 2004. Pola Penanganan Korban Bencana Sosial di Indonesia.
[6] Miller, Valerie, & Covey, Jane. 2005. Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[8] Samuel, John. 2007. Public Advocacy and People-Centred Advocacy: Mobilising for Social Change. Development in Practice, Vol.17, No. 4/5 (Aug., 2007), pp. 615-621.
[9] ibid
[10] Miller, Valerie, & Covey, Jane. 2005. Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[11] Bennet, Edwars M. (ed.). 1987. Social Intervention: Theory and Practice. Lewiston & Queenston: The Edwin Mellen Press.
[12] ibid
[13] Loewenberg, FM. 1977. Fundamentals of Social Intervention: Core Concepts and Skills for Social Work Practice. New York: Columbia University Press.
[14] Ibid
[15] Denzin, Norman K.; & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
[16] Salim, Agus (peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitan Sosial: Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan penerapannya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[17] Marvasti, Amit B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction. New Delhi: SAGE Publications.
[18] Op.cit.
[19] Op.cit.
[20] Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design: Chosing Among Five Approaches. New Delhi: SAGE Publications.
[21] Hasil wawancara dengan Drs. S.H. Ritonga, Ketua GPKLL, Selasa: 2 April 2013.
[22] ttp://id.wikisource.org/wiki/Surat_Gugatan_Perbuatan_Melawan_Hukum_Kasus_Lumpur_Panas_Sidoarjo.
[23] http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/063423492/Komnas-HAM-Kasus-Lapindo-Adalah-Kejahatan
[24] http://gebraklapindo.wordpress.com/2007/11/28/majelis-hakim-tolak-gugatan-ylbhi-soal-lumpur-lapindo/
[25] http://gebraklapindo-wprdpress.com/2007/12/11/ylbhi-banding-kasus-lapindo/
[26] http://kabarinews.com/jakarta-mahkamah-agung-tolak-kasasi-ylbhi-atas-kasus-lapindo/33148.
[28] http://www.hukumline.com/berita/baca/ho118236/dinilia-akibat-fenomena-alam-hakim-tolak-gugatan-walhi.
[29] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/25/2410/Walhi-Ajukan-Banding
[30] http://hukum.kompasiana.com/2012/05/29/9-fakta-hukum-kasus-lapindo-466713.html
[31] Sumber: http://www.bpls.go.id.


Daftar Pustaka

Babbie, Eral. 2008. The Basics of Social Research. Belmont, USA: Thomson Wadsworth.

Bennet, Edwars M. (ed.). 1987. Social Intervention: Theory and Practice. Lewiston & Queenston: The Edwin Mellen Press.

Creswell, John W. 2007. Quantitative Inquiri & Research Design: Choosing Among Five Approaches. London: SAGE Publications.

Denzin, Norman K.; & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial, Depsos RI. 2004. Pola Penanganan Korban Bencana Sosial di Indonesia.

Kalof, Linda.; Dan, Amy; & Dietz, Thomas. 2008. Essentials of Social Research. Berkshire: Open University Press.

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjadjaran.

Locher, David A. 2002. Collective Behavior. New Jersey: Prentice Hall.

Loewenberg, FM. 1977. Fundamentals of Social Intervention: Core Concepts and Skills for Social Work Practice. New York: Columbia University Press.

Luce, Henry; & Wisner, Ben. 1993. Disaster Vurnerability: Scale, Power and Daily Life. GeoJournal, Vol. 30, No. 2, Vulnerability, Hunger and Famine (June 1993), pp. 127-40.

Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction. London: SAGE Publications.

Miller, Valerie, & Covey, Jane. 2005. Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Neuman, W. Lawrence. 2007. Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Appoaches. Boston: Pearson Education, Inc.

Pratt, Brian. 2007. Advocacy in the Amazon and the Camisea Gas Project: Implications for Non-Government Public Action. Development in Practice, Vol. 17, No. 6 (Nov., 2007), pp. 775-783.

Salim, Agus (peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitan Sosial: Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan penerapannya. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Samuel, John. 2007. Public Advocacy and People-Centred Advocacy: Mobilising for Social Change. Development in Practice, Vol.17, No. 4/5 (Aug., 2007), pp. 615-621.
*****