KONSEP DAN DESAIN
NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE
STATE)
Oleh:
Oman Sukmana
Dewasa
ini, wacana mengenai negara kesejahteraan (welfare
state) menjadi pusat perhatian khususnya di kalangan akademik, mengingat
bahwa negara kesejahteraan (welfare state)
dianggap sebagai jawaban yang paling tepat atas bentuk keterlibatan negara
dalam memajukan kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini diperkuat oleh munculnya
kenyataan empiris mengenai kegagalan pasar (market
failure) dan kegagalan negara (state
failure) dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut Myles dan
Quadagno (2002: 34), pada dekade tahun 1970-an studi kontemporer tentang negara
kesejahteraan modern mendapatkan banyak perhatian, baik dari kalangan sejarawan
(historians), ilmuwan politik (political scientists), dan
ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya.
Membangun negara kesejahteraan, menjadi obsesi
banyak negara baru terutama di Asia yang merdeka setelah Perang Dunia II.
Beberapa negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, telah cukup
berhasil membangun negara kesejahteraannya (Triwibowo & Bahagio, 2006:xvii).
Demikian pula, negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
didesain sebagai Negara Kesejahteraan (welfare
state). Menurut Pierson (2007:9), kata kesejahteraan (welfare) di dalamnya paling tidak
mengandung tiga subklasifikasi, yakni: (1) Social
welfare, yang mengacu kepada penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic welfare, yang mengacu kepada
jaminan keamanan melalui pasar atau ekonomi formal; dan (3) State welfare, yang mengacu kepada
jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui agen dari negara. Negara Kesejahteraan (welfare
state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu negara dimana
pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab dalam menjamin standar
kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya.
Asumsi yang kuat bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia
didesain sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state)
dapat dilacak dari bunyi pembukaan UUD 1945 bahwa “Pemerintah melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selain itu
beberapa pasal dalam UUD 1945 mencerminkan pula nilai dasar dari Negara Kesejahteraan (welfare
state), seperti: pasal 27 (2) “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya; demikian pula pada pasal 28B, 28C, 28H, 31, 33, dan pasal 34.
Apa sesungguhnya konsep Negara Kesejahteraan
(welfare state)? Dan bagaimanakah desain Negara Kesejahteraan (welfare state)
itu? Uraian makalah ini akan mencoba menjelaskan kedua hal tersebut.
Konsep Negara
Kesejahteraan (Welfare State)
Sebenarnya gagasan tentang Negara Kesejahteraan (welfare state)
bukanlah
suatu gagasan yang baru. Ide tentang Negara Kesejahteraan (welfare state)
sudah
lahir sejak sekitar abad ke-18. Menurut Bessant,
Watts, Dalton dan Smith (2006)[1],
ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham
(1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab
untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the
greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan
konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang
ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan
kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang
menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu
diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham
mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi
pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara
kesejahteraan” (father of welfare states).
Sementara pada tahun 1850-an di Prusia konsep Negara
Kesejahteraan (welfare state)
dirintis oleh Otto Von Bismarck (Triwibowo & Bahagio, 2006:xvi). Di masa
lalu, di Eropa dan Amerika, gagasan tentang Negara Kesejahteraan (welfare state)
sempat berbenturan dengan konsepsi negara liberal kapitalistik. Namun ternyata
benturan kedua gagasan besar tersebut telah menghasilkan negara-negara makmur,
terutama di Eropa Barat dan Amerika Utara, dimana rakyatnya hidup dengan
sejahtera. Rakyat di negara-negara tersebut bisa menikmanti pelayanan dari
negara di bidang kesehatan dan jaminan hari tua dengan program asuransi
kesehatan dan pensiun, sekolah gratis, dan sebagainya. Di Jerman, misalnya,
warga negara mendapatkan jaminan sekolah gratis hingga tingkat Universitas,
memperoleh jaminan penghidupan yang layak dari sisi pendapatan dan standar
hidup, mendapatkan pelayanan sistem transportasi yang murah dan efisien, dan
orang yang menganggur menjadi tanggungan negara. Semua layanan negara tersebut
sebenarnya dibiayai sendiri oleh masyarakatnya yang telah menjadi semakin
makmur melalui sistem asuransi dan perpajakan, dengan orientasi utamanya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari
warga negaranya (human investment).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan
sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H.
Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want,
squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant
evils’ yang harus diperangi (Spicker, 1995; Bessant, et al, 2006)[2].
Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial
komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang
lahat (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di
Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa dan bahkan
hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial
di negaranegara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena
berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko
yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi
(premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus,
seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja
dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan
asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya
mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Dalam konteks kapitalisme, Marshall
berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut
memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara
(Harris, 1999; dalam Suharto, 2006). Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan
pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan.
Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas
sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat
sistem negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas
penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara
masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan
ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon
konsekuensikonsekuensi kapitalisme.
Spicker (Suharto,
2005:50) berpendapat bahwa negara kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai
sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara
(pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin
terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Sementara, Husodo menyatakan bahwa Negara Kesejahteraan (welfare state) secara singkat
didefinisikan sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap
bertanggung jawab dalam menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi
setiap warga negaranya (Triwibowo & Bahagijo, 2006: xv).
Menurut
Esping-Anderson (Triwibowo & Bahagijo, 2006; 9), negara kesejahteraan pada
dasarnya mengacu pada peran negara yang
aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup
tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar
dalam tingkat tertentu bagi warga
negaranya. Secara umum suatu negara bisa
digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya,
yaitu: (1) social citizenship; (2) full
democracy; (3) modern industrial
relation systems; dan (4) rights to
education and the expansion of modern mass educations systems. Keempat
pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan
penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the granting of social rights) kepada
warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas
properti, tidak dapat dilanggar (inviolable),
serta diberikan berdasar basis kewargaan (citizenship)
dan bukan atas dasar kinerja atau kelas.
Dalam garis besar, negara kesejahteraan menunjuk
pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam
memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.
Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan
stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin
(Suharto, 1997; Spicker, 2002)[3].
Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law,
negara kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial
yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak
kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban
negara (state obligation), di pihak lain. Negara kesejahteraan ditujukan
untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua
dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin-, sebaik dan sedapat mungkin.
Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan
pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being)
warga negara secara adil dan berkelanjutan.
Negara merupakan
integrasi dari kekuasaan politik, negara
adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency)
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis
dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah
dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.
Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat
digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi,
maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan
membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.
Dalam rangka ini
boleh dikatakan bahwa negara mempunyai
tugas: (a) mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial,
yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang
membahayakan; dan (b) mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.
Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan
pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai
organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau
asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam
rangka ini (Budiardjo, 2008: 48).
Negara dapat
dipandang sebagai asosiasi manusia yang
hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan
bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi
rakyatnya (bonum publicum, common good,
common wealth). Menurut Roger H. Soltau (Budiardjo, 2008:54) tujuan negara
adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya
sebebas mungkin (The freest possible
development and creative self-expression of its members). Sedangkan menurut
Harold J. Laski (Budiarjo, 2008: 55) menyatakan bahwa tujuan negara adalah
menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka
secara maksimal (Creation of those
conditions under which the members of the state may attain the maximum
satisfaction of their desires).
Selanjutnya
Budiardjo (2008: 55-56) menyatakan bahwa terlepas dari ideologinya, setiap
negara menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu: (1) Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah
bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban,
dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator; (2) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat penting terutama bagi negara-negara
baru; (3) Pertahanan. Hal ini diperlukan
untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk itu negara dilengkapi
dengan alat-alat pertahanan; dan (4) Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan
melalui badan-badan peradilan. Sedangkan menurut Charles E. Merriam (Budiarjo, 2008:
56), menyebutkan lima fungsi negara, yaitu:
keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, dan
kebebasan.
Ide dasar konsep
negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk mengelola semua sumber
daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan negara yaitu meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian diterjemahkan dalam
sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan
kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan
kesejahteraan warga negaranya atau tidak. Masalah kemiskinan dan kesehatan
masyarakat merupakan sebagian dari banyak masalah yang harus segera direspons
oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan.
Menurut Barr (1998;
dalam Simarmata, 2008:18),
pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara kesejahteraan haruslah
berkorelasi dengan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi
tugas utama yang harus diwujudkan dalam negara kesejahteraan. Menurutnya, ada
dua hal yang terkait langsung dengan upaya pembangunan ekonomi: Pertama,
perwujudan negara kesejahteraan bukanlah sesuatu yang terpisah dari upaya
pembangunan ekonomi. Seperti yang telah dinyatakan, pembangunan ekonomi harus
membuat masyarakat semakin sejahtera, bukan sebaliknya. Kedua, tujuan
perwujudan negara kesejahteraan bukan hanya karena alasan kesamaan (equality), tetapi juga demi efisiensi
dalam proses ekonomi. Idealnya, alasan kesamaan atau pemerataan tidak
bertentangan dengan tujuan efisiensi dalam ekonomi. Dua hal ini menjadi bagian
dari tujuan-tujuan kesejahteraan. Dalam mendesain sebuah negara kesejahteraan,
ada dua pertanyaan penting yang harus digarisbawahi, yaitu: Pertama, apa tujuan
dari sebuah kebijakan?, dan Kedua, Dengan metode apa tujuan tersebut dapat
dicapai?. Dua pertanyaan ini paling tidak dapat menjelaskan apakah sebuah
kebijakan suatu negara betul-betul berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat
atau tidak.
Beberapa
Ciri dan Model Negara
Kesejahteraan (Welfare State)
Terdapat beberapa ciri dan model dari negara
kesejahteraan. Menurut Goodin (1999:4) negara kesejahteraan (welfare state) bukan hanya satu bentuk
saja, tetapi memiliki banyak ragam program dan kebijakan (programmes and
policies) dan kombinasi yang berbeda. Secara detail, ada beragam model negara kesejahteraan yang sudah berkembang,
khususnya di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Perbedaan model negara
kesejahteraan biasanya dikarenakan perbedaan penekanan tujuan dalam kebijakan
setiap negara, yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, dan realitas yang mereka hadapi.
Menurut
Goodin (1999; dalam Simarmata, 2008: 19) negara kesejahteraan sering diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya
yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind).
Konsep kesejahteraan juga terkait erat dengan kebijakan sosial-ekonomi yang
berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum. Beberapa bidang
yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan kesejahteraan adalah
masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan kerja.
Selanjutnya Barr (1998; dalam
Simarmata, 2008: 19-20)
mengidentifikasi beberapa hal penting ketika kita bicara mengenai peran negara
kesejahteraan. Beberapa hal itu adalah:
Pertama, bahwa
sumber kesejahteraan masyarakat tidak hanya berasal dari negara. Sumber kesejahteraan masyarakat bisa
berasal dari: (1) Kesejahteraan
masyarakat dapat mengalir lewat gaji atau pemasukan (income) dari tempat di
mana ia bekerja. Gaji yang layak dan aturan pekerjaan yang manusiawi dapat
membawa waarga pada kehidupan yang sejahtera. Selain itu, adanya jaminan ketika
mereka menghadapi masa sulit, seperti sakit atau di-PHK juga menjadi ukuran
penting bagi kesejahteraan masyarakat; (2) Adanya kemampuan untuk menyisihkan
sebagian dari pendapatannya juga menjadi ukuran kesejahteraan warga negara.
Kemampuan itu dimungkinkan bila mereka sudah mendapatkan gaji yang lebih dari
cukup. Bagaimana mungkin mereka dapat menabung atau membuat asuransi secara pribadi
ketika gaji yang mereka terima sangat jauh dari cukup. Karenanya, kelayakan
gaji menjadi pengandaian bagi inisiatif untuk menyisihkan sebagian dari
penghasilannya; (3) Selain itu, sumber
kesejahteraan juga bisa datang dari donasi warga yang lebih mampu secara
sukarela. Pemberian sukarela ini memang tidak hanya dalam bentuk uang. Ia bisa
saja diberikan dalam bentuk penjualan barang di bawah harga pasar atau
memberikan tambahan waktu libur kepada para pekerja; dan
(4) Sementara
peran negara bagi perwujudan kesejahteraan datang lewat kebijakan pemberian
uang tunai atau dalam bentuk tertentu (cash
benefits or benefits in kind).
Kedua, yang patut
diperhatikan dalam sistem negara kesejahteraan adalah bahwa cara penyampaian (modes of delivery) sumber daya kesejahteraan
juga beragam. Menurutnya, penyampaian manfaat kesejahteraan itu, misalnya, bisa
dilakukan dengan cara memberikan pelayanan gratis (seperti pelayanan kesehatan
tanpa biaya) atau memberikan uang lewat peringanan pajak, dan sebagainya.
Ada beberapa
alasan mengapa suatu pemerintahan memiliki sistem negara kesejahteraan.
Alasan-alasan tersebut menjadi tujuan sekaligus juga menjadi alat ukur
kesuksesan dalam menjalankan sistem negara kesejahteraan. Menurut
Goodin (1999:22), terdapat
enam hal yang dijadikan sebagai alasan mengapa memilih negara kesejahteraan,
yaitu: Pertama, adalah untuk mempromosikan efisiensi ekonomi
(promoting economic efficiency); Kedua, untuk mengurangi kemiskinan
(reducing proverty); Ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (promoting
social equality); Keempat,
mempromosikan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial
(promoting social integration and
avoiding social exclusion) ; Kelima,
mempromosikan stabilitas sosial (promoting social stability); dan Keenam, mempromosikan otonomi
atau kemandirian individu (promoting
autonomy).
Sementara Commission on Social Justice
menyebutkan ada Tujuh alasan mengapa alasan pentingnya negara kesejahteraan,
yaitu: (1) Prevent poverty where possible
and relieve it where necessary; (2) Protect
people against risks arising in the labour market and from family; (3) change; (4) Redistribute resources from richer to poorer members of society;
(5) Redistribute
resources of time and money over people’s life-cycles; (6) Encourage personal independence; dan (7)
Promote social cohesion.
Secara umum, paling
tidak terdapat tiga model utama tentang Negara Kesejahteraan (Simarmata,
2008: 31-33). Ketiga model utama ini dapat dijabarkan secara
sederhana, sebagai berikut:
Pertama,
Model Liberal atau Residual (Anglo-Saxon) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Dukungan sosial yang means-tested, atau terbatas, atau bersyarat, dan lebih berupa jaring pengaman; (2) Upaya negara yang lebih besar dipusatkan pada upaya
menciptakan skema pembiayaan supaya warga negara dapat berpartisipasi (kembali)
dalam arus besar ketenagakerjaan; dan (3) Secara sekaligus, pengembangan industri dan perdagangan
dikembangkan terlebih dahulu (precursory)
untuk menciptakan akses atas barang dan jasa, serta daya beli yang
berkelanjutan. Contoh negara penganut model ini adalah: Amerika Serikat, Kaanada, dan Australia.
Kedua,
Model Konservatif (Korporatis, Continental
Europe) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Negara mengusahakan skema kesejahteraan yang dikelola
oleh negara; (2) Dalam
produksi dan pengorganisasian, negara bukan satu-satunya pelaksana, melainkan
juga kolaborasi warga negara/pekerja dengan sektor swasta, dan juga pajak
negara yang dikaitkan dengan tunjangan tertentu; (3) Namun demikian, pajak dapat dikatakan tetap tinggi, yang
ini terkait dengan pembiayaan secara meluas kebutuhan-kebutuhan warga negara,
termasuk hal-hal yang tidak dapat dibiayai dengan kolaborasi warga negara/pekerja
dan sektor swasta; dan (4) Arah dari skema kesejahteraan terutama membiayai
kondisi-kondisi dimana warga negara ”sakit” baik secara sosial (pengangguran,
cacat, tua, dan sebagainya) maupun secara fisik (soal kesehatan), sehingga
seringkali model ini disebut model proteksi sosial.
Contoh negara penganut model ini adalah:
Austria, Perancis, Jerman, dan Italia.
Ketiga,
Model Sosial-Demokratis (Redistributif-Institusional) dengan ciri-ciri
meliputi: (1) Satu skema pajak
dipakai untuk membiayai keseluruhan pembiayaan skema kesejahteraan;
(2) Skema kesejahteraan ini
mencakup layanan yang menyeluruh dengan standar setinggi-tingginya, dan akses
yang semudah-mudahnya (universal coverage),
warga negara dianggap mempunyai hak atas pengaturan skema kesejahteraan
(prinsip equity);
dan (3) Kebijakan negara
diarahkan pada integrasi industri dan perdagangan dengan skema-skema
kesejahteraan itu. Contoh negara penganut model ini adalah negara-negara: Skandinavia, seperti: Swedia
dan Norwegia.
Sementara, Esping-Andersen (Triwibowo &
Bahagijo, 2006:14) membagi tipologi negara kesejahteraan kedalam tiga bentuk,
yakni: (1) Residual welfare state,
yang meliputi negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika
Serikat, dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan
sosial yang terbatas terhadap kelompok target yang selektif serta dorongan yang
kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik; (2) Universal Welfare State, yang meliputi negara seperti Denmark,
Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dengan basis rezim kesejahteraan
dmokrat dab dicirikan dngan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok
target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstenfif; dan (3) Social Insurance Welfare State, yang
meliputi negara seperti Australia, Belgia, Perancis, Jerman, Italia, dan
Spanyol dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan
sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai
penyedia pasok kesejahteraan.
Landasan
Filosofis-Politik Negara Kesejahteraan
Gagasan tentang
Negara kesejahteraan (welfare state)
sendiri tampil sebagai sebuah discursive
practice sejak pertengahan abad ke-20. Sebagaimana dikatakan
Myles dan Quadagno (2002: 34), bahwa pada dekade tahun 1970-an studi
kontemporer tentang negara kesejahteraan modern mendapatkan banyak perhatian,
baik dari kalangan sejarawan (historians),
ilmuwan politik (political scientists),
dan ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya.
Menurut Hobsbawn (dalam Simarmata, 2008: 349), implementasi terhadap gagasan tersebut merupakan
cerminan dari proses perkembangan demokrasi dan kapitalisme terutama di Eropa,
dimana kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari proses negosiasi politik antara
artikulasi perjuangan politik kalangan kiri dan kelas pekerja dengan
perkembangan formal social kapitalisme. Benturan-benturan antara kelas pekerja
dan modal berhasil didamaikan dengan terbangunnya common platform penataan Negara berbasis welfare state.
Platform tersebut
terwujud dalam berbagai program-program seperti pemenuhan berbagai kebutuhan
mendasar manusia (basic human needs)
oleh Negara pada bidang pendidikan, perawatan kesehatan, penyediaan perumahan
yang layak, perawatan untuk anak-anak, pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi mereka
yang lanjut usia, pengangguran maupun mereka yang memiliki kekurangan fisik.
Beberapa program-program Negara kesejahteraan telah diakomodasi oleh
perkembangan Negara di Eropa sejak abad ke-19 (Moon, 2004; dalam Simarmata, 2008:
349).
Menurut
Esping-Anderson (Simarmata, 2008: 349-350), ketika kita menelaah prinsip-prinsip utama dari
bentuk Negara kesejahteraan yang terdiri atas: Pertama, pengakuan terhadap
hak-hak social yang melekat pada tiap-tiap warganegara (social citizenship); Kedua, demokrasi yang menyeluruh (full democracy); Ketiga, relasi system
social-ekonomi berbasis industry modern; Keempat, hak untuk mendapatkan
pendidikan dengan perluasan system pendidikan modern secara massif. Keempat
prinsip tersebut menegaskan tentang bagaimana Negara kesejahteraan berdiri
diatas fondasi pentingnya peran Negara untuk menjalankan prinsip-prinsip
keadilan social, solidaritas dan kesetaraan diatas landasan formal social
masyarakat kapitalistik.
Meskipun Negara
kesejahteraan menempatkan pentingnya pemenuhan keadilan social melalui proses
distribusi ekonomi dari Negara kepada rakyat, namun dengan merujuk pada empat
prinsip asasi dari Negara kesejahteraan diatas, tidak membuat welfare state abai terhadap dinamika
pasar bebas dan pentingnya efisiensi ekonomi. Negara kesejahteraan justru
berpijak pada prinsip-prinsip keadilan social, demokrasi social yang
memperjuangkan kesetaraan tiap-tiap warga Negara, pengutamaan manusia sebagai
makhluk sosial, dan efisiensi ekonomi yang berbasis ekonomi pasar namun
responsif terhadap keberlanjutan kehidupan publik.
Terdapat Empat prinsip umum dari Negara
Kesejahteraan (Welfare State), yakni:
(1) Prinsip Hak-Hak
Sosial dalam Negara Demokrasi; (2) Prinsip Welfare Rights; (3)
Prinsip Kesetaraan
Kesempatan Bagi Warga Negara; dan (4) Prinsip Keseimbangan Otoritas Publik dan Ekonomi, dan
Efisiensi Ekonomi. Ke-Empat prinsip umum dari Negara
Kesejahteraan (Welfare State)
memiliki relevansi dan sinergi dengan tujuan dari pembangunan negara Republik
Indonesia.
Selanjutnya penjelasan
tentang ke-Empat
prinsip umum dari Negara
kesejahteraan tersebut adalah sebagai berikut (Simarmata: 350-358):
Pertama,
Prinsip Hak-Hak Sosial dalam
Negara Demokrasi. Seiring dengan trend gelombang pasang demokrasi
liberal pasar bebas yang saat ini tengah berkibar-kibar di seluruh dunia, faham
demokrasi tengah direduksi habis-habisan ke dalam aspek yang hanya bersifat
teknis procedural. Adam Przeworski (1991) misalnya memaknai demokrasi sebatas
system yang memfasilitasi penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui
cara-cara non-kekerasan. Sementara Larry Diamond (1993) memandang demokrasi
telah terkonsolidasikan ketika setiap agensi-agensi politik sepakat dengan
demokrasi sebagai satu-satunya aturan main yang sah. Pandangan demokrasi secara
minimalis ini selain mereduksi makna demokrasi, juga telah meruntuhkan
pandangan demokrasi substansial sebagai suatu political action untuk memperjuangkan kemuliaan warga Negara
sebagai pemilik sah kedaulatan politik.
Dalam diskursus
demokrasi, seperti diuraikan oleh TH Mashall (1977), pembentukan Negara
kesejahteraan merupakan salah satu pilar esensial dari Negara demokratik.
Sehingga tidak ada Negara demokrasi tanpa hadirnya pemenuhan terhadap hak-hak
sosial bagi tiap-tiap warganya. Dengan kata lain pemenuhan hak-hak social dari
warga Negara adalah inheren sebagai tanggungjawab Negara demokratik. Tatanan
demokrasi dalam konteks ini tidak dapat direduksi hanya pada penataan
aturan-aturan main prosedural politik untuk memilih pejabat publik. Pemenuhan hak-hak sosial dari warga Negara sejalan dengan tujuan
substansial demokratik untuk memberikan pemenuhan standar kehidupan sosial
masyarakat yang baik, sehingga ia dapat menggunakan hak-hak sipil dan
politiknya secara utuh. Tujuan mendasar dari pengedepanan prinsip hak-hak
sosial ini adalah agar warga Negara dapat mengaktualisasikan sepenuhnya segenap
potensi kemampuan dirinya dan terhindar dari proses pemiskinan struktural.
Kedua,
Prinsip Welfare Rights. Secara filosofis keberadaan wacana Negara
kesejahteraan ditopang oleh ide filosofis tentang keadilan sosial terutama
berhubungan dengan keadilan distributif. Kebijakan Negara kesejahteraan tidak
serta merta memenuhi kebutuhan-kebutahan dari tiap-tiap individu, namun
demikian kebijakan publik yang dilakukan oleh Negara kesejahteraan memiliki
tujuan untuk mendistribusikan pendapatan secara adil bagi seluruh warga Negara. Salah satu aspek keadilan sosial yang ditekankan sebagai
landasan filosofis dari Negara kesejahteraan adalah berhubungan dengan hak
tiap-tiap warganegara untuk hidup secara layak (welfare rights). Konsepsi tentang welfare rights memandang bahwa hak-hak asasi manusia tidak cukup
dipahami dalam pengertian negatif yang dipahami oleh kaum liberal seperti
Isaiah Berlin (1969: 118-172) dalam Four
Essays on Liberty (Kehidupan tiap-tiap manusia harus dijaga dari
kemungkinan koersi dan intervensi dari kekuatan diluar dirinya), namun hak yang
melekat dalam diri manusia juga harus dimaknai dalam pengertian positif
sehubungan dengan pentingnya pemenuhan pada akses sumber-sumber daya yang
penting bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Prinsip
pengakuan terhadap welfare rights
menjaga agar tiap-tiap system hak kepemilikan yang diterapkan tidak merampas
hak dari tiap-tiap orang maupun kelompok-kelompok social yang terpinggirkan
kehilangangan akses sumber-sumber daya yang fundamental bagi kehidupan dirinya.
Konsepsi welfare rights menjadi
jangkar pengamatan agar hak-hak rakyat untuk mengakses sarana-sarana kehidupan
yang esensial untuk dirinya tetap dapat dijamin. Sehingga prinsip common good (kebaikan bersama) yang
mengikat kehidupan tiap warganegara tetap dapat dipertahankan. Prinsip welfare rights berpijak pada pemenuhan
nilai-nilai fundamental kemanusiaan melalui program-program social untuk
memenuhi hajat hidup layak bagi setiap warganegara.
Ketika kita
memahami substansi keadilan sosial secara radikal, welfare rights sendiri merupakan hak yang secara esensial melekat
dalam diri manusia. Dalam pengertian ini suatu masyarakat dapat dipandang
sebagai masyarakat berkeadilan, ketika didalamnya hak-hak social tersebut telah
terjamin sejalaan dengan jaminan terhadap hak-hak sipil dan politik. Hak bagi
tiap-tiap orang untuk hidup secara layak merupakan bagan dari pre-political rights, dimana hak
tersebut telah melekat dalam diri manusia sebelum ia masuk menjadi warga
politik. Dalam konteks demikian maka kehidupan politik akan bermakna ketika
tatanan politik (political order)
bertugas untuk melayani dan merealisaasikan hak-hak tersebut. Sejalan dengan
kerja politik tersebut, suatu masyarakat berkeadilan dinilai ketika ia mampu
mewujudkan akses seluas-luasnya bagi public agar tiap-tiap warganya dapat hidup
secara layak.
Untuk menjamin
hak-hak tersebut dapat diperoleh oleh tiap-tiap warganegara, maka diperlukan
inisiatif aktif dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga dan merealisasikan
pemenuhan hak-hak sosial tersebut. Kebutuhan-kebutuhan sosial mendasar bagi
tiap-tiap orang seperti pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh
barang-barang publik seperti air dan listrik, layanan kesehatan, dan hak untuk
bertempat tinggal dan memiliki rumah dan kebutuhan sosial lainnya menjadi
orientasi utama dari tugas Negara untuk memperjuangkannya. Untuk
merealisasikannya, maka mekanisme pajak progresif maupun system transfer
pendapatan merupakan standar minimal yang dilakukan Negara kesejahteraan (welfare states).
Ketiga,
Prinsip Kesetaraan
Kesempatan Bagi Warga Negara. Landasan
filosofis dari relevansi Negara kesejahteraan juga ditopang oleh basis keadilan
social redistributive atas prinsip
kesetaraan kesempatan bagi setiap warga Negara. Moon (2004:214) menggunakan
konsep keadilan redistributif dari John Rawls untuk menjelaskan prinsip
kesetaraan kesempatan bagi warga Negara dalam konstruk Negara kesejahteraan.
Apabila dalam prinsip filosofis tentang welfare
rights sebelumnya telah dibahas tentang hak-hak tiap-tiap orang untuk hidup
layak yang menyangkut hak atas pendidikan, rumah, air serta listrik, dan
lain-lain. Tiap-tiap warganegara untuk dapat hidup secara layak dan terjamin
kebutuhan hidupnya juga harus memiliki akses dan pengalaman untuk meraih
berbagai posisi dan karer sehubungan dengan keberadaan lapangan kerja yang ada
di masyarakat.
Seseorang ketika
lahir dan tumbuh telah terikat pada posisi kelasnya masing-masing. Dalam
konteks ini tidak semua orang memiliki akses yang setara untuk bekerja sesuai
dengan pilihannya masing-masing. Sehingga kehadiran Negara kesejahteraan
berperan untuk mengatasi hambatan-hambatan social yang harus dihadapi oleh
tiap-tiap orang berkaitan dengan posisi kelas mereka. Akses kepada pendidikan
yang layak dan redistribusi asset-aset produktif sangat berperan dalam pemenuhan
akses kepada pekerjaan yang layak. Sehubungan dengan pemenuhan kesempatan yang
setara kepada setiap warga untuk dapat bekerja secara layak ini bersifat
kontekstual bagi setiap Negara. Formasi sosial yang eksis di tiap-tiap Negara
menentukan formulasi seperti apa yang cocok dalam implementasinya. Dalam
kecenderungan masyarakat agraris yang dominan seperti di Indonesia misalnya,
dimana akses kepada tanah menjadi fundamental agar mereka dapat hidup secara
layak, maka desain reformassi agrarian yang berkeadilan menjadi salah jalan
utama untuk mewujudkan kesetaraan akses bagi tiap-tiap warga Negara.
Keempat,
Prinsip Keseimbangan
Otoritas Publik dan Ekonomi, dan Efisiensi Ekonomi.
Seiring dengan kemenangan
rezim pengetahuan demokrasi liberal-pasar bebas, muncul pandangan yang saat ini
menjadi wacana hegemonik tentang keutamaan pasar bebas dalam ruang public. Dalam paradigm
neo-liberal masyarakat dipahami sebagai kumpulan jumlah individu-individu,
sehingga upaya untuk memenuhi kepentingan masyarakat dijalankan dengan memenuhi
kebutuhan agregatif dari tiap-tiap orang. Dalam pandangan kaum neo-liberal, institusi pasar bebas tempat proses
transaksi jual beli berlangsung merupakan institusi utama yang harus ditegakkan
agar tiap-tiap orang akan dapat terpenuhi kebutuhan dirinya.
Negara
kesejahteraan berangkat dari pemahaman yang berbeda. Dalam pandangan filosofis
Negara kesejahteraan, pasar bebas tidak dapat dibiarkan berjalan sendirian
untuk mengatur kompleksitas kehidupan publik. Pada kenyataannya mekanisme pasar
bebas tidak dapat menentukan prioritas sosial dan menanggulangi
persoalan-persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Ketika mekanisme pasar
bebas dibiarkan berjalan tanpa batasan dan regulasi, justru semakin memperlebar
jurang ketimpangan sosial, kemiskinan dan ketidakadilan. Prinsip mengejar
kepentingan diri seluas-luasnya dalam arena pasar bebas, hanya akan
mengakomodasi mereka yang dapat membayar dan memberi keuntungan dalam transaksi
ekonomi yang diakui untuk mendapatkan fasilitas bagi kenyamanan hidupnya.
Alih-alih bersikap egalitarian karena dapat memuaskan kepentingan tiap-tiap
individu, mekanisme pasar bebas justru menjadi kerangka institusional yang
berperan untuk mengekslusi setiap kepentingan dari mereka yang paling
terpinggirkan secara ekonomi.
Secara lebih
jauh pengedapanan rezim pasar bebas tanpa mempersiapkan perangkat regulasi yang
tepat diatur oleh otoritas public, hanya akan menghancurkan fondasi dasar
kehidupan publik yang berangkat dari ikatan relasi sosial. Sistem pasar bebas buta terhadap agenda prioritas dari
kepentingan-kepentingan bersama. Keuntungan yang dihasilkan memberikan
pertumbuhan dan keuntungan material, namun dalam jangka panjang, sistem pasar
bebas yang berjalan eksesif tanpa batasan hanya akan menghancurkan ikatan-ikatan
sosial yang mengintegrasikan kehidupan bersama dalam ruang publik. Prinsip
kebaikan bersama akan hancur digerus oleh prinsip pasar bebas yang berlandaskan
efisiensi ekonomi dan kepentingan diri.
Kondisi ini
sejak awal telah diperingatkan oleh founding
father sistem kapitalisme yaitu Adam Smith. Bagi Smith mekanisme mekanisme
pasar bebas dengan sendirinya akan sangat berbahaya bagi tatanan publik, ketika
masing-masing orang hanya mengejar kepentingan egoistik dirinya sendiri.
Institusi pasar bebas memerlukan topangan karakter solidaritas dan kepercayaan yang bersumber dari semangat
komunitas, agar baik penjual dan pembeli dapat duduk bersama secara setara
dalam proses transaksi pasar. Masyarakat Eropa abad ke-18 jaman disaat Adam
Smith hidup memperlihatkan spirit loyalitas, altruism dan solidaritas begitu
besar yang tumbuh dari kehidupan komunitas masyarakat sipil yang sehat tengah
tergerus oleh kolonisasi wilayah ekonomi berbasis pasar bebas ke dalam setiap
wilayah kehidupan public.
Berbeda dengan
rezim pengetahuan pasar bebas, paradigm welfare
state menegaskan pentingnya peran Negara sebagai otoritas politik berperan
sebagai agensi yang menggerakkan dan mengatur kehidupan publik. Pentingnya
Negara dalam prinsip welfare state
tidak ditempatkan untuk menggusur peran pasar bebas, namun Negara menjadi
penting guna mendorong agar pasar bebas dapat berfungsi dengan baik dan tidak
meminggirkan kepentingan bersama. Dengan demikian yang menjadi perhatian dari
penyeru welfare state bukanlah
pengedepanan peran Negara diatas pasar, namun yang paling penting adalah
bagaimana menempatkan keterlibatan pasar maupun
Negara secara tepat untuk menggerakkan kehidupan publik.
Menurut Triwibowo dan Bahagijo (2006:21), berangkat dari pengakuan terhadap pentingnya baik
otoritas pasar maupun Negara, desain Negara kesejahteraan secara filosofis
justru tidak menghalangi prinsip efisiensi ekonomi. Negara kesejahteraan justru
bermaksud menggerakkan roda perekonomian secara positif untuk mendorong agar
setiap sumber daya manusia dimanfaatkan secara produktif untuk menggerakkan
aktivitas ekonomi, dengan memenuhi kebutuhan dasar dari tiap-tiap orang.
Selanjutnya prinsip Negara kesejahteraan juga berniat untuk mendorong
partisipasi penuh pada pasar tenaga kerja maupun aktivitas investasi dan
menabung.
Kesimpulan
Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
1945, didesain sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state). Negara Kesejahteraan (welfare
state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu negara dimana
pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab dalam menjamin standar
kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya.
Secara umum suatu negara
bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar
utamanya, yaitu: (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation systems; dan (4) rights to education and the expansion of modern mass educations systems.
Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara
memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial
(the granting of social rights)
kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak
atas properti, tidak dapat dilanggar (inviolable),
serta diberikan berdasar basis kewargaan (citizenship)
dan bukan atas dasar kinerja atau kelas.
Terlepas
dari ideologinya, setiap negara menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang
mutlak perlu, yaitu: (1) Melaksanakan
penertiban (law and order); (2) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya; (3) Pertahanan;
dan (4) Menegakkan keadilan.
Terdapat
enam hal yang dijadikan sebagai alasan mengapa memilih negara kesejahteraan,
yaitu: Pertama, adalah untuk mempromosikan efisiensi ekonomi
(promoting economic efficiency); Kedua, untuk mengurangi kemiskinan
(reducing proverty); Ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (promoting
social equality); Keempat,
mempromosikan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial
(promoting social integration and
avoiding social exclusion) ; Kelima,
mempromosikan stabilitas sosial (promoting social stability); dan Keenam, mempromosikan
otonomi atau kemandirian individu (promoting autonomy).
Secara umum, paling
tidak terdapat tiga model utama tentang Negara Kesejahteraan,
yakni: Model Liberal atau
Residual (Anglo-Saxon), Model Konservatif (Korporatis, Continental
Europe), dan Model
Sosial-Demokratis (Redistributif-Institusional).
Terdapat Empat prinsip umum dari Negara
Kesejahteraan (Welfare State), yakni:
(1) Prinsip Hak-Hak
Sosial dalam Negara Demokrasi; (2) Prinsip Welfare Rights; (3)
Prinsip Kesetaraan
Kesempatan Bagi Warga Negara; dan (4) Prinsip Keseimbangan Otoritas Publik dan Ekonomi, dan
Efisiensi Ekonomi.
*****
[1]Lihat: Edi Suharto. Negara Kesejahteraan dan
Reinventing Depsos. Makalah, disaampaikan
dalam Seminar
yang bertajuk “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui
Desentralisasi-Otonomi di Indonesia” dilaksanakan di Wisma MMUGM, Yogyakarta,
25 Juli 2006.
[2] Ibid
[3] Ibid
Daftar Pustaka
Barr, Nicholas. 1998. The Economics
of the Welfare State. California: Stanford University Press.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi reevisi). Jakarta:
Gramedia.
Esping-Andersen, G. 1990. The Three
Worlds of Welfare Capitalism. Princeton: Princeton University Press.
Goodin, Robert E. 1999. The Real
Worlds of Werfare Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press.
Myles, John;
& Quadagno, Jill. 2002. Political
Theories of the Welfare State. Social Service Review, Vol. 76, No. 1, 75th
Anniversary Issue (March 2002). Pp. 34-57.
Pierson,
Christopher. 2007. Welfare State: The New
Political Economy of Welfare. Pennsylvania: The Pennsylvania State
University Press.
Simarmata, Henry
T. 2008. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijkan dan
Perbandingan Pengalaman. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina.
Suharto,
Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial:Spektrum
Pemikiran, Bandung: LSP Press.
Suharto,
Edi (2005a), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama.
Suharto,
Edi (2005b), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta.
Suharto,
Edi (2006a), “Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa
Negara:Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia?”, makalah
disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan
Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for
Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta,
bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
Triwibowo,
Darmawan; & Bahagijo, Sugeng. 2006. Mimpi Negar Kesejahteraan. Jakarta:
LP3ES.
Biodata Penulis:
Oman Sukmana, Lahir di Sumedang pada tanggal 09
Pebruari 1966. Menempuh pendidikan S1 di FISIP UNPAD Bandung lulus tahun 1991
dan S2 Psikologi Sosial Program
Pascasarjana UNPAD lulus tahun 1997, saat ini sedang menempuh studi S3
Sosiologi di UGM. Sejak tahun 1991 menjadi dosen Kopertis VII Surabaya dpk pada
FISIP UMM, pernah menjadi Sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Social FISIP
UMM (1998-1999), Pembantu Dekan III FISIP UMM (1999-2009), Anggota Panwaslu
Kabupaten Malang (2003-2004). Aktif menulis buku dan bahan ajar, kegiatan penelitian
baik internal maupun eksternal, dan melaksanakan berbagai pengabdian pada
masyarakat. Buku yang telah diterbitkan antara lain: Etika Profesi Pekerjaan
Social (UMM Press, 1999), Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan (Bayu Media, 2003),
Sosiologi dan Politik Ekonomi (UMM Press, 2005). Sedangkan bahan ajar yang
pernah ditulis antara lain: Psikologi Sosial (2001), Tingkah Laku Manusia dan
Lingkungan Sosial (2002), Metode Pekerjaan Social (2006), Psikologi Pariwisata
(2007), Bimbingan Sosial Perseorangan & Kelompok (2008), dan Analisa Statistik social (2009). Prestasi yang pernah diraih antara lain
sebagai Dosen Berprestasi FISIP UMM tahun 2008.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar