KEBIJAKAN SOSIAL TENTANG PEMBANGUNAN SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh:
Oman Sukmana*
Pendahuluan
Sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didesain
sebagai Negara Kesejahteraan (welfare
state). Husodo (Triwibowo & Bahagijo, 2006) menyatakan bahwa Negara
Kesejahteraan (welfare state) secara
singkat didefinisikan sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap
bertanggung jawab menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap
warga negaranya.
Menurut Esping-Anderson
(Triwibowo & Bahagijo, 2006), negara kesejahteraan pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif dalam
mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab
negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam
tingkat tertentu bagi warga negaranya.
Secara umum suatu negara bisa
digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya,
yaitu: (1) social citizenship; (2) full
democracy; (3) modern industrial
relation systems; serta (4) rights to
education and the expansion of modern mass educations systems. Keempat
pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan
penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the grnating of social rights) kepada
warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas
properti, tidak dapat dilanggar (inviolable),
serta diberikan berdasar basis kewargaan (citizenship)
dan bukan atas dasar kinerja atau kelas.
Untuk mendukung perwujudan
negara kesejahteraan, maka diperlukan kebijakan sosial. Menurut Suharto (2007),
kebijakan sosial adalah `anak kandung’
paham negara kesejahteraan (welfare state).
Sebagai suatu kebijakan publik di bidang kesejahteraan sosial, kebijakan sosial
menunjuk pada seperangkat kewajiban negara (state
obligation) untuk melindungi dan memberikan pelayanan dasar terhadap
warganya. Pemenuhan kebutuhan hidup minimum, pendidikan wajib, perawatan
kesehatan dasar, dan perlindungan sosial terhadap kelompok-kelompok rentan
adalah beberapa contoh kewajiban negara yang harus dipenuhi yang dinyatakan
oleh konsep negara kesejahteraan.
Kebijakan sosial (social policy) adalah kebijakan publik (public policy) yang penting di
negara-negara modern dan demokratis. Sejarah menyaksikan bahwa semakin maju
dan demokratis suatu negara, semakin
tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan
otoriter kebijakan sosial kurang mendapat perhatian. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk
dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang
dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah
sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts,
Dalton dan Smits (Suharto, 2007), secara singkat kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui
pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan
program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi
preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial adalah
ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah
sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan
mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban
negara (state obligation) dalam
memenuhi hak-hak sosial warganya.
Kebijakan sosial pada
prinsipnya berkaitan dengan pembangunan sosial dan pembangunan bidang
kesejahteraan sosial. Tujuan dari pembangunan sosial
pada dasarnya adalah developmental of the
well-being of the people (Adi, 2002). Berdasarkan tujuan tersebut, maka penekanan
dari pembangunan social pada dasarnya adalah pada pendekatan pembangunan yang
berpusat pada manusia (people centered
development). Sehingga terlihat kesamaan pola gerak dari pembangunan social
dan pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu pada upaya meningkatan taraf
hidup masyarakat dengan memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan manusia
itu sendiri. Sebagai bagian dari pembangunan social, pembangunan bidang
kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktivitas yang dilakukan
oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil
society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan
program yang bermatra pelayanan social, penyembuhan sosial, perlindungan sosial
dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006).
Pada era sentralisasi,
kebijakan social tentang pembangunan social bidang kesejahteraan social
dilaksanakan secara terpusat, dimana peran pemerintah pusat sangat dominan
sebagai penentu kebijakan. Namun seiring dengan gelombang reformasi telah
mengubah format politik dan system pemerintahan dari kewenangan pemerintahan
yang semula hanya terfokus pada pusat menjadi terdistribusi kepada pemerintahan
di daerah-daerah melalui proses desentralisasi. Desentralisasi sesungguhnya
membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam
segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan social dan mempebaiki kualitas
kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representative dan partisipatoris,
misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah, karena skala
kedaerahan dan kedekatan dengan komunitas local. Namun dalam kenyataannya,
suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu seringkali tidak
terlalu memuaskan. Umumnya argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi
hanya memperkuat elit-elit local, menyuburkan primordialisme, men-daerahkan
KKN, dan meng-KKN-kan daerah. Bahkan argumentasi yang lebih pesimis lagi
menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi bangsa.
Dampak diberlakukannya Undang-undang Nonomor 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah (kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 tahun
2004), menimbulkan hal-hal yang dirasakan menjadi kendala dalam kelancaran
pelaksanaan pembangunan kesejahteraan social di daerah. Kendala dimaksud antara
lain adanya beberapa daerah yang tidak mempunyai instansi social yang berdiri
sendiri, ada perbedaan nomenklatur
yang menangani masalah sosial baik di daerah propinsi maupun kota/kabupaten,
beban daerah ditambah dengan minimnya anggaran yang bersumber dari APBD,
sementara itu pengelolaan Unit Pelaksana Teknik (UPT) pusat diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Kondisi tersebut menunjukkan belum memadainya perhatian
pemerintah daerah terhadap pembangunan kesejahteraan social.
Keengganan pemerintah daerah untuk membentuk instansi
social berakibat pada pengabaian pelaksanaan pembangunan kesejahteraan social
di daerah. Menurut Menteri Sosial RI (2003) kondisi tersebut antara lain
disebabkan terjadinya 3 (tiga) bias dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda),
yaitu: (1) anggapan Otonomi Daerah dikaitkan dengan mata uang sehingga daerah
cenderung menetapkan prinsip ekonomi; (2) anggapan daerah belum siap dan mampu,
padahal daerah memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan potensi dan sumber
social yang ada di daaerahnya; dan (3) anggapan Otonomi Daerah menyebabkan
daerah terlalu berwenang melakukan apa saja dan menjadikannya raja kecil.
Ketiga hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan optimalisasi mekanisme
control antara lembaga eksekutif, legislates dan yudikatif yang ada di daerah
secara harmonis.
Permasalahan lain yang mungkin dihadapi daerah otonom
adalah kenyataan adanya perbedaan kemampuan tiap daerah, baik dari segi
keterbatasan anggaran maupun keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang
tersedia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ototnomi Daerah satu sisi telah
memberikan peluang kepada daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri, tapi
pada sisi lain daerah menghadapi keterbatasan-keterbatasan sumber yang dimiliki.
Pada kondisi yang demikian peran dan dukungan pemerintah pusat masih tetap
dierlukan, baik dalam bentuk dana maupun berbagai kebijakan dan program
kesejahteraan social bagi seluruh rakyat. Upaya ini akan menghadapi kendala,
terutama bila legislative maupun eksekutif di daerah tidak mampu menangkap
kebijakan dan program pusat atau tidak mempunyai pemahaman, persepsi atau
pandangan yang sama terhadap kebijakan maupun program dimaksud.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat,
bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana
dikemukakan oleh Gavente (Suharto, 2007), hambatan-hambatan kekuasaan,
pengucilan social, lecilnya kemampuan individu dan kapasitas organisasional
kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari
desentralisasi.
Tititk tolak desentralisasi di Indonesia
adalah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), dengan dasar pertimbangan: Pertama, dimensi politik, Kabupaten/kota
diandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan
separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relative minim. Kedua, dimensi administrative,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relative dapat
lebih efektif. Ketiga, Kabupaten/kota
adalah daerah `ujung tombak’ pelaksanaan pembangunan sehingga kabupaten/kota
lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Atas dasar itulah prinsip
otonomi yang dianut, yaitu otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dan dinamis,
diharapkan dapat lebih mudah direalisasikan. Nyata, berarti otonomi
secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah. Bertanggung
jawab, berarti pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk
memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air. Dinamis, berarti
pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju (Kuncoro, 2004).
Secara konseptual, tujuan dari Otonomi Daerah
(desntralisasi) adalah untuk memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada
Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/kota, dalam mengelola daerahnya guna meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat. Dengan Otonomi Daerah diharapkan Pemerintah Daerah mampu
melaksanakan pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat
daerah, yang disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat di
daerah.
Dari paparan tersebut diatas, maka muncul pertanyaan
mendasar, yakni: Apakah Otonomi Daerah telah mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah?; Bagaimanakah komitmen Pemerintah Daerah terhadap
pembangunan social di daerah? Bagaimanakah kebijakan social pemerintah daerah
tentang pembangunan social bidang kesejahteraan social?; dan sebagainya.
Konsep Kebijakan Publik dan Kebijakan
Sosial
Kebijakan (policy) adalah
sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya
menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh
pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan penditribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi
kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga
negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi kompromi atau bahkan
kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan
yang mewakili sistem politik suatu negara (Suharto, 2007).
Banyak
sekali definisi mengenai kebijakan publik. Sebagian besar ahli memberi
pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak
baik bagi kehidupan warganya. Seperti kata Bridgman dan
Davis (2005),
kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai ”whatever government choose to do or not to
do”. Artinya, kebijakan public adalah “apa saja yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Kadang-kadang kebijakan
public menunjuk pada istilah atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan
tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-bidang
tertentu dalam sector-sektor fasilitas umum, transportasi, pendidikan,
kesehatan, perumahan atau kesejahteraan. Urusan-urusan yang menyangkut
kelistrikan, air, jalan raya, sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat,
lembaga-lembaga rehabilitasi social adalah beberapa contoh yang termasuk dalam
bidang kebijakan public.
Menurut Dye (1995) kebijakan public didefinisikan
sebagai “what govertment do, why they do
it, and what difference it makes”. Sedangkan Laswell dan Kaplan (1970)
mendefinisikan kebijakan public sebagai “a
projected program of goals, values, and practices”. Sementara Easton (1965)
mndefinisikannya sebagai kebijakan public sebagai “the impact of government activity”. Anderson (2004) memberikan pemahaman bahwa
kebijakan publik sebagai “a relative
stable, purposive course of action followed by an actor or set of actors in
dealing with a problem or matter of concern”. Lester dan Robert Steward
(2000) mendefinisikannya kebijakan
public sebagai “a process or a series or
pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some
public problems, either real or imagined”. Ranney (dikutip Lester &
Steward, 2000) mendefinisikannya bahwa kebijakan public adalah sebagai “a selected line of action or declaration of
intens”. Peterson (2003) mendefinisikannya kebijakan public sebagai “government action to address some problem”.
B.G. Peters (1993) mendefinisikannya sebagai ‘the sum of government activities, wheter acting directly or through
agents, as it has an influence on the lives of citizens’.
Menurut Nugroho (2006) dari
definisi-definisi tersebut kita dapat membuat rumusan pemahaman tentang
kebijakan public. Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh
administratur negara, atau administratur publik. Jadi, kebijakan publik adalah
segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.
Yang membuat kebijakan publik adalah
pemerintah negara. Di Tingkat nasional adalah seluruh lembaga negara, yaitu
lembaga legislatif (MPR, DPR), eksekutif (Pemerintah Pusat, Presiden, dan
Kabinet), yudikatif (MA, Peradilan), dan di Indonesia ditambah Lembaga
Akuntatif (BPK). Di tingkat daerah kota, lembaga administratur publiknya adalah
Pemerintah Daerah Kota dan DPRD Kota. Kedua, kebijakan publik adalah kebijakan
yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan orang
seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain
lembaga administratur publik. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau
masalah pribadi atau golongan yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh
masyarakat di daerah itu. Jadi, karena kemacetan di jalanan kota adalah masalah
bersama dan bukan lagi masalah pemilik mobil atau mereka yang menggunakan jalan
saja, hanya kebijakan publik yang dapat mengatasi masalah.
Beragam
pengertian mengenai kebijakan public ini dihindarkan, karena kata kebijakan
(policy) merupakan penjelasan ringkas untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai
dari pembuatan keputusan-keputusan, penerangan, dan evaluasinya. Telah banyak
upaya untuk mendefinisikan kebijakan publik secara tegas dan jelas, namun
pengertiannya tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang seringkali tumpang
tindih, ambigu, dan luas. Beberapa kalangan mengartikan kebijakan publik hanya
sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan
pemerintah. Sebagian lagi, mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman, acuab,
strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar
atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Setiap
perundang-undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan
dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan Gunn (1990) menyatakan bahwa kebijakan
publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai
hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna kebijakan hanyalah milik
atau domain pemerintah saja. Organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial (misalnya Karang Taruna, Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga) dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki
kebijakan-kebijakan pula. Namun kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai
kebijakan publik. Karena kebijakan mereka tidak dapat memakai sumberdaya pubik
atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.
Sebagai contoh, pemerintah memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat dan
berhak menggunakan uang dari pajak tersebut untuk mendanai kegiatan pembangunan.
Hal yang sama tidak dapat dilakukan oleh LSM, Karang Taruna, atau PKK.
Mengacu pada Hogwood dan Gunn (1990), kebijakan publik sedikitnya
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari
tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.
2) Proposal tertentu yang mencerminkan
keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.
3) Kewenangan formal seperti undang-undang
atau peraturan pemerintah.
4) Program, yakni seperangkat kegiatan yang
mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.
5) Keluaran (output), yaitu apa yang nyata
telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.
6) Teori yang menjelaskan bahwa jika kita
melakukan X, maka akan diikuti oleh Y.
7) Proses yang berlangsung dalam periode
waktu tertentu yang relatif panjang.
Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya
diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek
warga secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan
mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan. Bahkan di Swiss dan
negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam
pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen
konstitusi (Winarno, 2004; dalam Suharto, 2007).
Para
pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara
maju dan berkembang (Winarno, 2004). Di negara-negara berkembang, seperti Kuba,
Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebjiakan lebih dikendalikan oleh elit
politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil. Struktur pembuatan
kebijakan di negara-negara berkembang cenderung lebih sederhana
dibandingkan dengan negara-negara maju,
seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di negara-negara maju setiap penduduk
pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga
negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat
mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Karena proses dan struktur pembuatan kebijakan di
negara-negara maju lebih kompleks.
Istilah
lain untuk pemain kebijakan adalah stakeholder kebijakan. Stakeholder (pemangku
kepentingan) yang dimaksudkan di sini adalah inidvidu, kelompok atau lembaga
yang memiliki kepentingan terhadap suatu kebijakan. Stakeholder kebijakan bisa
mencakup aktor yang terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan suatu
kebijakan publik, para penerima manfaat, maupun para korban yang dirugikan
sebuah kebijakan publik. Dengan demikian, stakeholder kebijakan publik bisa
mereka yang mendukung ataupun yang menolak. Dalam garis besar, stakeholder
kebijakan publik dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok (Putra, 2005), yaitu:
1) Stakeholder Kunci:
Mereka yang memiliki
kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder kunci mencakup
unsur eksekutif sesuai tingkatannya, legislatif dan lembaga-lembaga pelaksana
program pembangunan. Misalnya, stakeholder kunci untuk suatu kebijakan di
bidang pendidikan di tingkat kabupaten adalah: (a) Pemerintah Kabupaten; (b)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten; dan (c) Dinas Pendidikan yang
membawahi langsung program-program pendidikan di daerah tersebut.
2) Stakeholder Primer:
Mereka yang memiliki kaitan
kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Mereka
biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam
penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer bisa mencakup: (a) masyarakat
yang diidentifikasi akan tekena dampak, baik positif maaupun negatif; (b) tokoh
masyarakat; dan (c) pihak manajer publik, yakni lembaga atau badan publik yang
bertanggungjawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan.
3) Stakeholder Sekunder:
Mereka yang tidak memiliki
kaitan kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek, namun
memiliki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya
untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah. Kelompok-kelompok krritis,
organisasi profesional (PGRI, IDI, HIPMI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Sosial (Ormas), dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat
dikategorikan sebagai stakeholder sekunder.
Menurut
Lester dan Stewart (dalam Winarno, 2007), ada dua model kebijakan yang dianggap
paling baik, yaitu:
1)
Model Elitis:
Di sebagian besar negara
berkembang atau negara-negara Dunia Ketiga yang mendasarkan pada sistem
otoriter, seperti misalnya Kuba, Korea Utara, dan Indonesia pada masa Orde
Baru, model elit merupakan model yang cukup baik untuk menjelaskan pembentukkan
kebijakan publik yang berlangsung di negara-negara itu. Jika ditelusuri, konsep
kontrol elit atas sistem politik telah ada pada jaman Kuno, seperti halnya
keberadaan teori elit itu sendiri. Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga
politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi
oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi
instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Kebijakan publik
merupakan produk elit, yang merefleksikan nilai-nilai mereka untuk penguatan
kepentingan-kepentingan mereka.
Dye dan Zeigler (Winarno,
2007) berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai-nilai dari
para elit yang berkuasa. Seringkali dikatakan bahwa kebijakan publik
merefleksikan tuntutan-tuntutan dari rakyat, namun apa yang dikatakan itu
adalah mitos, bukan merupakan realitas kehidupan masyarakat demokratis, seperti
di Amerika Serikat. Menurut Dye, teori elit mengatakan bahwa rakyat mempunyai
perilaku apatis, dan tidak memiliki informasi yang baik tentang kebijakan
publik. Oleh karena itu, sebenarnya para elit membentuk opini masyarakat luas
mengenai persoalan-persoalan kebijakan dan bukan masyarakat luas membentuk
opini elit. Dengan demikian, para pejabat publik dan birokrat hanya sekedar
menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh para elit.
Kebijakan-kebijakan publik mengalir dari para elit ke masyarakat luas. Jadi,
kebijakan-kebijakan publik itu bukan berasal dari tuntutan-tuntutan dari
masyarakat luas.
Dye dan Ziegler memberikan
suatu ringkasan pemikiran menyangkut model ini, sebagai berikut:
(a) Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok
kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai
kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai
untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
(b) Kelompok kecil yang memerintah itu bukan
tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the rulling class) biasanya berasal
dari lapisan masyarakat yang ekonominya tingggi.
(c) Perpindahan dari kedudukan non-elit ke
elit sangat pelan dan berkeseimbangan untuk memelihara stabilitas dan
menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus
elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah.
(d) Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai
dasar sistem sosial dan pemeliharaan
sistem. Misalnya, di Amerika
Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi,
pemerintahan terbatas dan kebebasan individu.
(e) Kebijakan publik tidak merefleksikan
tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku. Perubahan-perubahan
secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam
sistem sosial dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila
perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif.
(f) Para elit secara relatif memperoleh
pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit
memengaruhi massa yang lebih besar.
2)
Model Pluralis:
Berkebalikan dengan model elit
yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik, maka model pluralis
lebih percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistem
demokrasi. Di negara-negara berkembang model elitis akan cukup memadai untuk
menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam
menjelaskan proses politik di negara yang mendasarkan diri pada sistem
demokrasi, terlebih demokrasi pluraris seperti di Amerika Serikat.
Pandangan-pandangan plurarlis
disarikan oleh ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan pluralis dapat
dirangkum dalam uraian berikut:
(a)
Kekuasaan
merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-indiviu yang lain
dalam proses pembuatan keputusan.
(b)
Hubungan-hubungan
kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, namun hubungan-hubungan kekuasaan
lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini dibuat,
maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak nampak, hubungan ini akan
digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan
selanjutnya hendak dibuat.
(c)
Tidak
ada pembedaan yang tetap di antara elit dan massa. Inidvidu-individu yang
berpartisipsi dalam pembuatan keputusan dalam suatu waktu tidak dibutuhkan oleh
individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain. Individu masuk
dan keluar dalam partisipasinya sebagai pembuat keputusan digolongkan menjadi
aktif atau tidak aktif dalam politik.
(d)
Kepemimpinan
bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kekayaan merupakan aset
dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aset
politik yang ada.
(e)
Terdapat
banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang
mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
(f)
Kompetisi
dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut
dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang dicapai di antara
kompetisi pemimpin-pemimpin politik.
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik.
Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon
isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi
kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006;
dalam Suharto, 2007): ”In short, social policy refers to what governments do
when they attempt to improve the quality of people`s live by providing a range
of income support, community services and support programs” (Secara singkat
kebijakan social menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan
pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial
lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi
preventif (pencegahan), juratif (penyembuhan), dan pengembangan
(developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara
kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi
masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi
pengembangan) sbagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi
hak-hak sosial warganya (Suharto, 2006).
Dalam
garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni
perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Berdasarkan
kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau
peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari
kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial bernetuk
perundang-undangan.
1) Peraturan dan Perundang-undangan:
Pemerintah memiliki kewenangan
membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan
swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada
kesejahteraan.
2) Program Pelayanan Sosial:
Sebagian besar kebijakan
diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan
barang, tunjangan uang,Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan
dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan
uang,perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial
(konseling, advokasi, pendampingan).
3) Sistem Perpajakan
Dikenal sebagai kesejahteraan
fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga
sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai
distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan suransi sosial (social insurance) adalah dua bentuk
jaminan sosial (social security) yang
dananya sebagian berasal dari pajak.
Kebijakan sosial seringkali
melibatkan program-program bantuan yang sulit diraba atau dilihat secara kasat
mata (intangible aids). Karenanya,
masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan
membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum, kebijakan publik
lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air
bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan
kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti bantuan sosial dan asuransi sosil
yang umumnya diberikan bagi kelompok miskin atau rentan, adalah contoh
kebijakan sosial.
Menurut Martanto (2008)
kebijakan sosial dalam prakteknya menaruh perhatian pada aspek redistribusi,
produksi, reproduksi dan proteksi, dan
bekerja sebagai tandem kebijakan ekonomi. Kebijakan sosial tidak hanya
berurusan dengan ”kausalitas” perubahan-perubahan dan proses-proses sosial;
kebijakan sosial juga memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Sementara, istilah ”intervensi kolektif” menegaskan adanya
aksi-aksi yang bisa juga dilakukan oleh aktor-ektor non-negara dalam bentuk
pelayanan dan pengaturan untuk memastikan kecukupan pendapatan, pendidikan yang
relevan, perumahan dengan harga terjangkau, kesehatan, dan penghidupan yang
kerkelanjutan (Yeates, 2005; dalam Martanto, 2008).
Untuk memudahkan dalam
menjelaskan proses, karakteristik, mekanisme, serta menentukan
strategi-strategi kebijakan sosial berikut ini model-model kebijakan sosial.
Tabel: Model-Model Kebijakan Sosial
Indikator
|
Model
|
Pengertian
|
Pelaksanaan
|
Imperatif
|
Kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh
tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial seluruhnya
ditentukan oleh pemerintah (social
policy is concerned with goverments do, why they do it, and what difference
it makes).
|
Indikatif (Partsipatif)
|
Kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi
dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah biasanya hanya menentukan
sasaran kebijakan secara garis besar,
sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat atau institusi
non-pemerintah.
|
|
Cakupan
|
Universal
|
Kebijakan sosial yang diarahkan untuk mengatur
dan memenuhi kebutuhan pelayanan
sosial warga masyarakat secara menyeluruh, tanpa membedakan usia, jenis
kelamin, dan status sosial.
|
Selektivitas
|
Kebijakan sosial yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan sosial warga masyarakat tertentu saja. Prinsip selektifitas menyatakan
bahwa pelayanan sosial hanya diberikan
pada mereka yang membutuhkan saja, yaitu mereka yang mengalami masalah
dan membutuhkan pelayanan tertentu. Model ini biasanya menggunakan pendekatan
mean-test (tes kemiskinan) atau needs-test (tes kbutuhan) untuk menentukan
persyaratan mendapatkan pelayanan sosial.
|
|
Keberlanjutan
|
Residua (Kuratif)
|
Kebijakan sosial hanya diperlukan apabila
lembaga-lembaga alamiah (pasar dan keluarga), yang karena sesuatu sebab,
tidak dapat menjalankan peranannya. Pelayanan yang diberikan bersifat temporer, misalnya bantuan untuk
penganggur atau korban bencana.
|
Institusional (Antisipatif)
|
Kebijakan sosial tanpa mempertimbangkan berfungsi
atau tidak lembaga-lembaga alamiah. Pelayanan sosial yang diberikan bersifat
ajeg, melembaga, berkesinambungan.
|
|
Sasaran
|
Katagorikal
|
Kebijakan sosial yang hanya difokuskan untuk
mengatasi suatu permasalahan sosial berdasarkan sektor permasalahan tertentu
(spesifik dan parsial).
|
Komprehensif
|
Kebijakan sosial yang memfokuskan tidak hanya
satu bidang tertentu melainkan bidang-bidang lain yang terkait dengannya dan
dirumuskan dalam satu formulasi kebijakan sosial terpadu.
|
Sumber: Disarikan
dari Suharto (2005; dalam Martanto, 2008)
Konsepsi Tentang Negara Kesejahteraan
dan Pembangunan Sosial
1.
Konsep Negara Kesejahteraan
Negara
merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari
kekuasaan politik. Negara
adalah alat (agency) dari masyarakat
yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia
hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis dan penuh
pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat
memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya
dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara
menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan
dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun
oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan
membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.
Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa
negara mempunyai tugas: (a) mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan
yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi
antagonis yang membahayakan; dan (b) mengorganisir dan mengintegrasikan
kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari
masyarakat seluruhnya. Negara
menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan
diesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan
dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan
negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua
golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan
diri dalam rangka ini (Budiardjo, 2008).
Negara
dapat dipandang sebagai asosiasi manusia
yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat
dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan
bagi rakyatnya (bonum publicum, common
good, common wealth). Menurut Roegr H. Soltau (Budiardjo, 2008) tujuan
negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya
ciptanya sebebas mungkin (The freest
possible development and creative self-expression of its members).
Sedangkan menurut Harold J. Laski menyatakan bahwa tujuan negara adalah
menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka
secara maksimal (Creation of those
conditions under which the members of the state may attain the maximum
satisfaction of their desires).
Terlepas dari ideologinya, setiap negara menyelenggarakan beberapa
minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu: (1) Melaksanakan penertiban (law and
order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam
masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara
bertindak sebagai stabilisator; (2) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat penting terutama bagi negara-negara
baru; (3) Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan
dari luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan; dan (4)
Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan. Sedangkan
menurut Charles E. Merriam, menyebutkan lima fungsi negara, yaitu: keamanan ekstern, ketertiban intern,
keadilan, kesejahteraan umum, dan kebebasan.
Ide
dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk mengelola
semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan negara yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian
diterjemahkan dalam sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik
sebelumnya dan kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul
mewujudkan kesejahteraan warga negaranya atau tidak. Masalah kemiskinan da
kesehatan masyarakat meerupakan sebagian dari banyak masalah yang harus segera
direspons oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan.
Menurut Barr (1998), pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara
kesejahteraan haruslah berkorelasi dengan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip ini menjadi tugas utama yang harus diwujudkan dalam negara
kesejahteraan. Menurutnya, ada dua hal yang terkait langsung dengan upaya
pembangunan ekonomi: Pertama, perwujudan negara kesejahteraan bukanlah sesuatu
yang terpisah dari upaya pembangunan ekonomi. Seperti yang telah dinyatakan,
pembangunan ekonomi harus membuat masyarakat semakin sejahtera, bukan sebaliknya.
Kedua, tujuan perwujudan negara kesejahteraan bukan hanya karena alasan
kesamaan (equality), tetapi juga demi
efisiensi dalam proses ekonomi. Idealnya, alasan kesamaan atau pemerataan tidak
bertentangan dengan tujuan efisiensi dalam ekonomi. Dua hal ini menjadi bagian
dari tujuan-tujuan kesejahteraan. Dalam mendesain sebuah negara kesejahteraan,
ada dua pertanyaan penting yang harus digarisbawahi, yaitu: Pertama, apa tujuan
dari sebuah kebijakan?, dan Kedua, Dengan metode apa tujuan tersebut dapat dicapai?.
Dua pertanyaan ini paling tidak dapat menjelaskan apakah sebuah kebijakan satu
negara betul-betul berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat atau tidak.
Negara
kesejahteraan menurut Goodin (1999) sering diasosiasikan dengan proses
distribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam
bentuk tertentu (cash benefits or
benefits in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait ert dengan kebijakan
sosial-ekonomi yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum.
Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan
kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan
kerja.
Barr
(1998) mengidentifikasi beberapa hal penting ketika kita bicara mengenai peran
negara kesejahteraan. Beberapa hal itu adalah: Pertama, bahwa sumber
kesejahteraan masyarakat tidak hanya berasal dari negara. Hal Kedua, yang patut
diperhatikan dalam sistem negara kesejahteraan adalah bahwa cara penyampaian
(modes of delivery) sumber daya kesejahteraan juga beragam. Menurutnya,
penyampaian manfaat kesejahteraan itu, misalnya, bisa dilakukan dengan cara
memberikan pelayanan gratis (seperti pelayanan kesehatan tanpa biaya) atau
memberikan uang lewat peringanan pajak, dan sebagainya.
Ada
beberapa alasan mengapa suatu pemerintahan memiliki sistem negara
kesejahteraan. Alasan-alasan tersebut menjadi tujuan sekaligus juga menjadi
alat ukur kesuksesan dalam menjalankan sistem negara kesejahteraan. Goodin (1999: 22) menyebutkan bahwa terdapat Enam hal yang dijadikan sebagai alasan
mengapa memilih negara kesejahteraan, yaitu: Pertama, adalah untuk mempromosikan efisiensi ekonomi (promoting
economic efficiency) ; Kedua, untuk mengurangi kemiskinan (reducing
proverty); Ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (promoting
social equality); Keempat,
mempromosikan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial (promoting
social integration and avoiding social exclusion); Kelima,
mempromosikan stabilitas sosial (promoting social stability); dan Keenam,
mempromosikan otonomi atau kemandirian individu (promoting autonomy).
2.
Konsep Pembangunan Sosial
Para pakar pembangunan dalam
mendefinisikan pembangunan social mereka pada umumnya berangkat dari sudut
pandang yang berbeda-beda, Namur pada
dasarnya mereka memiliki dasar pemikiran
yang sama terhadap pembangunan social tersebut (Sunusi, 1989). Menurut Midgley (1995) pembangunan sosial adalah: “As a process of palnned social change
designed to promote the well-being of population as awhole in conjunction with
a dinamic process of economic development”. Dari pengertian ini ada
beberapa aspek kunci yang dapat memperdalam pemahaman kita tentang pembangunan
sosial, yang meliputi:
(1) Linked to economic development, bahwa pembangunan sosial tersebut
tidak terlepas dari hubungannya dengan pembangunan ekonomi. Walaupun
pembangunan sosial sama dengan pendekatan-pendekatan sosial lainnya yang
memfokuskan pada permasalahan sosial, implementasi kebijakan dan program sosial
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, namun pendekatan
pembangunan sosial ini berisi proses-proses pembangunan;
(2) Pembangunan sosial memiliki interdisciplinary focus, yang
menggambarkan wawasan berbagai keilmuan sosial. Menggambarkan suatu wawasan
interdisipliner berarti pembangunan sosial menawarkan suatu dasar
interdisipliner dalam menganalisis dan menangani permasalahan sosial dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan sosial juga membantu perkembangan kemampuan
negara-negara berkembang untuk bekerjasama pada tingkat nasional dan internasional;
(3) Pembangunan sosial juga
mengandung pengertian adanya proses. Pembangunan sosial sebagai suatu konsep
yang dinamis berarti gagasan-gagasan seperti pertumbuhan (growth), perubahan dan lain-lain terjadi secara eksplisit. Dan
konsep pembangunan secara eksplisit mempunyai konotasi pengertian positif;
(4) Proses perubahan yang diyakini
sebagai pembangunan sosial adalah merupakan progesive
in nature. Artinya jika gagasan kemajuan pembangunan sosial tidak dapat
lagi menjawab tuntutan perkembangan kehidupan sosial yang ada maka mereka harus
berupaya kembali untuk mewujudkan proses perbaikan kesejahteraan manusia;
(5) Bahwa proses pembangunan sosial
merupakan Interventionist. Pakar
pembangunan sosial menolak suatu pendapat yang mengatakan bahwa perbaikan
sosial terjadi secara alami yang
merupakan hasil dari ekonomi pasar atau sebagai hasil dari kekuatan historis
yang tidak dapat dihindari;
(6) Tujuan
pembangunan sosial tidak terlepas dari berbagai strategi-strategi. Strategi-strategi
ini berupaya apakah itu langsung atau tidak langsung menghubungkan intervensi
sosial dengan usaha-usaha pembangunan ekonomi, karena adanya suatu perbedaan
diantara mereka, yaitu keyakinan dan ideologi;
(7)
Pembangunan sosial dikaitkan dengan semua penduduk baik di dalam arti inclusive maupun universalistic. Karena pembangunan sosial tidak memfokuskan atau
mengutamakan orang-orang yang sangat memerlukan secara individual, tetapi lebih
menekankan pada inclusive dan universalistic; dan
(8) Bahwa pembangunan sosial berupaya meningkatkan social welfare. Pengertian kesejahteraan sosial (social welfare) yang dimaksudkan disini
adalah berkaitan dengan suatu kondisi sosial bilamana masalah-masalah sosial dapat
diatasi secara memuaskan, kebutuhan sosial dapat terpenuhi dengan baik, memilki
rasa aman dalam hidupnya dan kesempatan-kesempatan sosial terbuka secara bebas.
Pembangunan sosial meliputi aspek-aspek yang sangat luas, dan pendidikan
merupaka aspek yang paling luas dibandingkan dengan aspek-aspek yang lain.
Aspek-aspek yang lainnya mencakup program-program seperti: kesehatan, keluarga
berencana, gizi, perbaikan perkampungan miskin, air minum di kota dan perubahan
yang lebih baik untuk kemiskinan. Dalam pengertian ini terlihat bahwa
pembangunan sosial tidak hanya bersifat inclusive
atau universalistic tetapi juga
ditujukan pada orang-orang atau kelompok yang sangat memerlukan atau miskin secara individual.
Tujuan dari pembangunan
sosial pada dasarnya adalah development of the well-being of the people
(Adi, 2002:147). Berdasarkan tujuan tersebut maka penekanan dari pembangunan
sosial pada dasarnya adalah pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada
manusia (people-centered development).
Sehingga terlihat kesamaan pola gerak dari pembangunan sosial dan pembangunan
yang berpusat pada manusia (people-centered
development), yaitu pada upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, dengan
memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan manusia itu sendiri.
Dalam kaitan dengan
hubungan antara pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi, Payne (1997, dalam
Adi, 2002) menyatakan bahwa pada
beberapa negara yang pembangunan
ekonominya sudah baik (well developed), isu mengenai
pembangunan sosial dan ekonomi lebih mengarah pada pembangunan di dalam wilayah
perkotaan (inner cities), pengurangan
wilayah industri dan perencanaan lingkungan. Bila dilihat di negara-negara
tersebut di atas, maka hal yang dibahas lebih mengarahkan pada hubungan antara
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Hal ini agak
berbeda dengan negara-negara yang pembangunan ekonominya masih relatif kurang baik (under developed) seperti Indonesia, fokus perhatian pembangunan
sosial dan ekonomi lebih mengarah pada pengurangan angka kemiskinan ataupun
program pengentasan kemiskinan, sehingga tidak jarang isu pelestarian
lingkungan hidup hanya menjadi isu sampingan belaka, dan bukan menjadi isu
utama.
Perbedaan pandangan dalam melihat fokus
pembangunan juga terlihat dalam menginterpretasikan pengertian people-centerd development dengan pendekatan sustainable development (pembangunan yang berkesinambungan). Pada
negara yang relatif belum berkembang (under
developed), seperti Indonesia, pengertian people-centered development seringkali hanya diputus pada
pengertian pembangunan yang menempatkan manusia sebagai prioritas dalam
pembangunan, sedangkan pengertian berkesinambungan (sustainable) lebih diarahkan pada berkesinambungannya program
pembangunan yang dijalankan oleh para pelaku perubahan (change agents) baik mereka dari pihak lembaga pemerintah maupun
bukan pemerintah.
Dari pendekatan people-centered development
tergambar akan pentingnya sinkronisasi antara pembangunan yang
memfokuskan ekonomi dan ekologi, serta keadilan. Dalam pendekatan pembangunan
yang berpusat pada manusia di dalamnya juga terdapat unsur partisipasi, demokrasi
dan transparansi.
Penutup: Pembangunan Sosial di Era
Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Menguatnya desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri
bagi proses dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan social.
Desentralisasi yang terutama digerakkan oleh globalisasi pada aras
internasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang
mempengaruhi pembangunan kesejahteraan social di daerah. Tanpa sikap dan
komitmen yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi dapat
menimbulkan jebakan-jebakan bagi strategi dan implementasi pembangunan
kesejahteraan social di daerah.
Pada tahun 2002, Institute of Development
Studies, University of Sussex di Inggris
melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk pemerintahan di negara-negara
berkembang di seluruh dunia. Hasil penelitan tersebut memperlihatkan bahwa
dalam satu dasawarsa belakangan ini sedikitnya ada 63 negara berkembang yang
sedang mengalami gelombang perubahan formasi kekuasaan dari pemerintahan
sentralistik menuju pada system yang lebih dekta dengan warganya (Thamrin,
2005: dalam Suharto, 2007). Indonesia
adalah salah satu Negara berkembang yang sedang mengalami transformasi
kekuasaan seperti itu. Sejak runtuhnya Orde Baru, gelombang reformasi telah
mengubah format politik dan sistem pemerintahan di tanah air. Kewenangan
pemerintahan yang tadinya sangat terpusat di Jakarta kini semakin terdistribusi
ke pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi.
Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi
dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya
dapat meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan sosial dan
memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi
representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat
pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas
lokal. Nanum dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi
desentralisasi itu tidak terlalu memuaskan. Umumnya argumentasi pesimis
menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan
primordialisme, mendaerahkan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), dan
men-KKN-kan daerah. Bahkan argumen yang lebih pesimis lagi menyatakan bahwa
desentralisasi menyulut disintegrasi bangsa (Suharto, 2007).
Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi seringkali hanya menguntungkan
penguasa dan pengusaha setempat, bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum
marginal. Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005), hambatan-hambatan kekuasaan,
pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasistas organisasional
kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi.
Mengutip pengamatan Manor, Gaventa menyatakan bahwa ”belum ada bukti tentang
elit lokal yang lebih bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di
atasnya”.
Desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat
pembangunanan, khususnya pembangunan bidang sosial apabila tanpa adanya good governance dan akuntabilitas.
Menurut Suharto (2007) terdapat tiga isu utama yang mendasari aksioma ini,
yaitu:
1)
Money follows function atau Function follows money?
Idealnya, Undang-undang Pemerintahan daerah yang baru
berpedoman pada prinsip money follows function, uang mengikuti kewewnangan.
Artinya, otonomi daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Asli
Daerahnya (PAD), melainkan oleh kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai
dengan kebutuhan. Setiap daerah dipersilahkan menentukan kewenangannya
masing-masing. Namun dalam prakteknya, prinsip function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang
memiliki prosentase PAD yang besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan yang
besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki PAD yang rendah memiliki otonomi yang
rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5% atau 10% saja dari APBD, Pemda
dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan meningkatkan PAD
lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi meningkatkan) kewajiban memberi
pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi publik.
2)
Pembangunan Ekonomi dulu baru
kemudian Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah
kerapkali menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan
sosial hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi
tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian
dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan
bahkan meniadakannya sama sekali. Alasanya, pembangunan kesejahteraan sosial
dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi
(PAD) telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa
kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linear berhubungan dengan
pembangunan kesejahteraan soail.
3)
Godaan Lokalisme dan
Primordialisme
Sudah menjadi rahasia umum, di beberapa daerah,
institusi-institusi kesejahteraan sosial digabung, dirampingkan atau dihapus
dengan alasan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Tanpa menghiraukan
konsepsi dan substansi kesejahteraan sosial yang benar, ada suatu daerah yang
menggabungkan bidang kesejahteraan sosial dengan urusan kebakaran, pasar atau
pemakaman. Di daerah yang lain lagi, primordialisme yang terlalu dominan tidak
jarang mengesampingkan prinsip meritokrasi dan kompetensi sumberdaya
kesejahteraan sosial. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga kesejahteraan sosial
dipandang sebagai pos yang bisa diisi oleh siapa saja dengan latar belakang
pendidikan dan pengalaman yang tidak relevan sekalipun.
Paling tidak terdapat
empat faktor kunci yang mendorong sebuah daerah mempromosikan perlindungan
sosial sebagai salah satu jalan atau rute peningkatan kesejahteraan warganya,
yaitu:
1)
Komitmen elit lokal
(pemerintah, DPRD) yang kuat, reformis dan pro-kesejahteraan.
Kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci bagi reformasi
pelayanan publik. Para pejabat dan wakil
rakyat perlu memiliki pemahaman dan komitmen yang kuat mengenai kebijakan
sosial yang pro pembangunan sosial. Pejabat pemerintah dan wakil rakyat harus
mampu menterjemahkan kebutuhan warga negara. Mereka harus tanggap dan berpihak
kepada rakyat. Kejelasan visi dan kegigihan bupati dan walikota di Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin, dan
Jembrana memberi pesan jelas bahwa kepemimpinan merupakan faktor kunci bagi
politik anggaran yang pro pembangunan sosial (Suharto, 2007).
2) Good Governance
Tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel
mendorong adanya partisipasi publik dalam proses perencanaan dan penganggaran
sebuah kebijakan publik yang difokuskan bagi pembangunan sosial.
3)
Reformasi Birokrasi dan
Anggaran Daerah
Suatu birokrasi yang lebih efisien, insentif yang lebih
memadai, struktur birokrasi yang ramping dan fungsional. Reformasi ini berhasil
memotong high cost bureaucracy sehingga anggaran bisa direlokasi untuk
keperluan yang lebih produktif, termasuk membiayai pelayanan publik untuk
rakyat.
4)
Partisipasi masyarakat
Keterlibatan rakyat memberi kontribusi penting bagi
upaya-upaya promosi kebijakan, dukungan atas kebijakan, aksi-aksi sukarela
dalam implementasi di lapangan. Temuan IRDA dan The Asia Foundation memperlihatkan bahwa partisipasi komisi-komisi
ekstra negara mampu memberi desakan kepada pemerintah untuk memperbaiki
pelayanan publik; partisipasi perempuan juga telah melahirkan kepekaan
kebijakan Pemda terhadap kesehatan ibu dan anak.
****
Daftar
Pustaka
Abidin, Zainal
Said. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta:
Yayasan Pancur Siwah.
Adi, Isbandi
Rukminto.2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas
(Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Adi, Isbandi
Rukmianto. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Arif, Sritua.
1998. Teori dan Kebijakan Pembangunan. Jakarta:
CIDES.
Asrinaldi, Demokrasi dalam Pilkada. http://www.seputar
indonesia.com/edisicetak/opini/demokrasi-dalam-pilkada.h.
Barr, Nicholas.
1998. The Economics of The Welfare State.
California:
Stanford Univeristy Press.
Budiardjo,
Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Clark, John.
1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Danim, Sudarwan.
2005. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara.
Dwidjowijoto,
Riant Nugroho. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negra Berkembang:
Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia.
Fakih, Mansour.
2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedlander,
Walter A. 1997. Concepts and Methods of
Social Work. New Delhi:
Prentice-Hall.
Goodin, Robert
E. 1999. The Real Worlds of Welfare
Capitalism. Cambridge: Cambridge University
Press.
Hardimen F.
Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Johnson, Louise C. 1986. Social
Work Practice, A Generalist Approach. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.
Kartasasmita, Ginadjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta:
CIDES.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi & Pembangunan
Daerah. Jakarta:
Erlangga.
MacPherson,
Stewrt. 1987. Kebijakan Sosial di Negara Ketiga. Jakarta: Aksara Persada.
Martanto, Ucup (ed.). 2008. Kebijakan Sosial Kesejahteraan. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Maskun, Sumitro. 1995. Pembangunan Masyarakat Desa:
Asas, Kebijaksanaan, dan Manajemen. Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Muhadjir, Noeng. 2004. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation
Research: Integrasi Penelitian, Kebijakan, dan Perencanaan. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan
Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, G; & Goodman D.J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Predana Media.
Simarmata, Henry Thomas
(ed.). 2008. Negara Kesejahteraan & Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan
Perbandingan Pengalaman. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina.
Siporin, Max. 1975. Intoduction to Social Work Practice. New York: MacMilln Publishing.
Suharto, Edi. 2005.
Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kabijakan
Sosial. Bandung: ALFABETA.
Suharto, Edi. 2007.
Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare) di Indonesia.
Bandung: ALFABETA.
Sunusi, M.
1998. Agenda Reformasi Pembangunan Sosial. Makalah: Seminar dan Kongres
Nasional Pekerja Sosial Profesional Indonesia. Jakarta; 18 Agustus.
Suud, Mohammad. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan
Sosial. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Tjokrowinoto,
Moeljarto. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Triwibowo, D.,
& Bahagijo, S. 2006. Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Jakarta: Media Pressindho.
*****
Biodata Penulis:
Oman Sukmana, Lahir di Sumedang pada tanggal 09 Pebruari 1966. Menempuh
pendidikan S1 di FISIP UNPAD Bandung lulus tahun 1991 dan S2 Psikologi Sosial Program Pascasarjana
UNPAD lulus tahun 1997, saat ini sedang menempuh studi S3 Sosiologi di UGM.
Sejak tahun 1991 menjadi dosen Kopertis VII Surabaya dpk pada FISIP UMM, pernah
menjadi Sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Social FISIP UMM (1998-1999),
Pembantu Dekan III FISIP UMM (1999-2009), Anggota Panwaslu Kabupaten Malang
(2003-2004). Aktif menulis buku dan bahan ajar, kegiatan penelitian baik
internal maupun eksternal, dan melaksanakan berbagai pengabdian pada
masyarakat. Buku yang telah diterbitkan antara lain: Etika Profesi Pekerjaan
Social (UMM Press, 1999), Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan (Bayu Media, 2003),
Sosiologi dan Politik Ekonomi (UMM Press, 2005). Sedangkan bahan ajar yang
pernah ditulis antara lain: Psikologi Sosial (2001), Tingkah Laku Manusia dan
Lingkungan Sosial (2002), Metode Pekerjaan Social (2006), Psikologi Pariwisata
(2007), Bimbingan Sosial Perseorangan & Kelompok (2008), dan Analisa Statistik social (2009). Prestasi yang pernah diraih antara lain
sebagai Dosen Berprestasi FISIP UMM tahun 2008.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar