Minggu, 20 Desember 2015

KEBIJAKAN SOSIAL TENTANG PEMBANGUNAN SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH



KEBIJAKAN SOSIAL TENTANG PEMBANGUNAN SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh:
Oman Sukmana*

Pendahuluan
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didesain sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state). Husodo (Triwibowo & Bahagijo, 2006) menyatakan bahwa Negara Kesejahteraan (welfare state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya.
Menurut Esping-Anderson (Triwibowo & Bahagijo, 2006), negara kesejahteraan pada dasarnya  mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat  tertentu bagi warga negaranya. Secara umum suatu negara  bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya, yaitu: (1)  social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation systems; serta (4) rights to education and the expansion of modern mass educations systems. Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the grnating of social rights) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dapat dilanggar (inviolable), serta diberikan berdasar basis kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas.
Untuk mendukung perwujudan negara kesejahteraan, maka diperlukan kebijakan sosial. Menurut Suharto (2007), kebijakan sosial adalah `anak kandung’ paham negara kesejahteraan (welfare state). Sebagai suatu kebijakan publik di bidang kesejahteraan sosial, kebijakan sosial menunjuk pada seperangkat kewajiban negara (state obligation) untuk melindungi dan memberikan pelayanan dasar terhadap warganya. Pemenuhan kebutuhan hidup minimum, pendidikan wajib, perawatan kesehatan dasar, dan perlindungan sosial terhadap kelompok-kelompok rentan adalah beberapa contoh kewajiban negara yang harus dipenuhi yang dinyatakan oleh konsep negara kesejahteraan.
Kebijakan sosial (social policy) adalah kebijakan publik (public policy) yang penting di negara-negara modern dan demokratis. Sejarah menyaksikan bahwa semakin maju dan  demokratis suatu negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan otoriter kebijakan sosial kurang mendapat perhatian.  Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smits (Suharto, 2007), secara singkat kebijakan sosial  menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan  publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya.
Kebijakan sosial pada prinsipnya berkaitan dengan pembangunan sosial dan pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Tujuan dari pembangunan sosial pada dasarnya adalah developmental of the well-being of the people (Adi, 2002). Berdasarkan tujuan tersebut, maka penekanan dari pembangunan social pada dasarnya adalah pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development). Sehingga terlihat kesamaan pola gerak dari pembangunan social dan pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu pada upaya meningkatan taraf hidup masyarakat dengan memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan manusia itu sendiri. Sebagai bagian dari pembangunan social, pembangunan bidang kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermatra pelayanan social, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006).
Pada era sentralisasi,  kebijakan social tentang pembangunan social bidang kesejahteraan social dilaksanakan secara terpusat, dimana peran pemerintah pusat sangat dominan sebagai penentu kebijakan. Namun seiring dengan gelombang reformasi telah mengubah format politik dan system pemerintahan dari kewenangan pemerintahan yang semula hanya terfokus pada pusat menjadi terdistribusi kepada pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi. Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan social dan mempebaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representative dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatan dengan komunitas local. Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu seringkali tidak terlalu memuaskan. Umumnya argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat elit-elit local, menyuburkan primordialisme, men-daerahkan KKN, dan meng-KKN-kan daerah. Bahkan argumentasi yang lebih pesimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi bangsa.
Dampak diberlakukannya Undang-undang Nonomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004), menimbulkan hal-hal yang dirasakan menjadi kendala dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan kesejahteraan social di daerah. Kendala dimaksud antara lain adanya beberapa daerah yang tidak mempunyai instansi social yang berdiri sendiri, ada perbedaan nomenklatur yang menangani masalah sosial baik di daerah propinsi maupun kota/kabupaten, beban daerah ditambah dengan minimnya anggaran yang bersumber dari APBD, sementara itu pengelolaan Unit Pelaksana Teknik (UPT) pusat diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Kondisi tersebut menunjukkan belum memadainya perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan kesejahteraan social.
Keengganan pemerintah daerah untuk membentuk instansi social berakibat pada pengabaian pelaksanaan pembangunan kesejahteraan social di daerah. Menurut Menteri Sosial RI (2003) kondisi tersebut antara lain disebabkan terjadinya 3 (tiga) bias dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda), yaitu: (1) anggapan Otonomi Daerah dikaitkan dengan mata uang sehingga daerah cenderung menetapkan prinsip ekonomi; (2) anggapan daerah belum siap dan mampu, padahal daerah memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan potensi dan sumber social yang ada di daaerahnya; dan (3) anggapan Otonomi Daerah menyebabkan daerah terlalu berwenang melakukan apa saja dan menjadikannya raja kecil. Ketiga hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan optimalisasi mekanisme control antara lembaga eksekutif, legislates dan yudikatif yang ada di daerah secara harmonis.
Permasalahan lain yang mungkin dihadapi daerah otonom adalah kenyataan adanya perbedaan kemampuan tiap daerah, baik dari segi keterbatasan anggaran maupun keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ototnomi Daerah satu sisi telah memberikan peluang kepada daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri, tapi pada sisi lain daerah menghadapi keterbatasan-keterbatasan sumber yang dimiliki. Pada kondisi yang demikian peran dan dukungan pemerintah pusat masih tetap dierlukan, baik dalam bentuk dana maupun berbagai kebijakan dan program kesejahteraan social bagi seluruh rakyat. Upaya ini akan menghadapi kendala, terutama bila legislative maupun eksekutif di daerah tidak mampu menangkap kebijakan dan program pusat atau tidak mempunyai pemahaman, persepsi atau pandangan yang sama terhadap kebijakan maupun program dimaksud.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat, bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana dikemukakan oleh Gavente (Suharto, 2007), hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan social, lecilnya kemampuan individu dan kapasitas organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi.
Tititk tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), dengan dasar pertimbangan: Pertama, dimensi politik, Kabupaten/kota diandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relative minim. Kedua, dimensi administrative, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relative dapat lebih efektif. Ketiga, Kabupaten/kota adalah daerah `ujung tombak’ pelaksanaan pembangunan sehingga kabupaten/kota lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Atas dasar itulah prinsip otonomi yang dianut, yaitu otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dan dinamis, diharapkan dapat lebih mudah direalisasikan. Nyata, berarti otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah. Bertanggung jawab, berarti pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air. Dinamis, berarti pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju (Kuncoro, 2004).
Secara konseptual, tujuan dari Otonomi Daerah (desntralisasi) adalah untuk memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/kota, dalam mengelola daerahnya  guna meningkatkan taraf  kesejahteraan  masyarakat. Dengan Otonomi Daerah diharapkan Pemerintah Daerah mampu melaksanakan pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat daerah, yang disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat di daerah.
Dari paparan tersebut diatas, maka muncul pertanyaan mendasar, yakni: Apakah Otonomi Daerah telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah?; Bagaimanakah komitmen Pemerintah Daerah terhadap pembangunan social di daerah? Bagaimanakah kebijakan social pemerintah daerah tentang pembangunan social bidang kesejahteraan social?; dan sebagainya.
     
Konsep Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial
    Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan penditribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara (Suharto, 2007).
      Banyak sekali definisi mengenai kebijakan publik. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Seperti kata Bridgman dan Davis (2005), kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai ”whatever government choose to do or not to do”. Artinya, kebijakan public adalah “apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Kadang-kadang kebijakan public menunjuk pada istilah atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sector-sektor fasilitas umum, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan atau kesejahteraan. Urusan-urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya, sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat, lembaga-lembaga rehabilitasi social adalah beberapa contoh yang termasuk dalam bidang kebijakan public.
Menurut Dye (1995) kebijakan public didefinisikan sebagai “what govertment do, why they do it, and what difference it makes”. Sedangkan Laswell dan Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan public sebagai “a projected program of goals, values, and practices”. Sementara Easton (1965) mndefinisikannya sebagai kebijakan public sebagai “the impact of government activity”. Anderson (2004) memberikan pemahaman bahwa kebijakan publik sebagai “a relative stable, purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”. Lester dan Robert Steward (2000) mendefinisikannya  kebijakan public sebagai “a process or a series or pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some public problems, either real or imagined”. Ranney (dikutip Lester & Steward, 2000) mendefinisikannya bahwa kebijakan public adalah sebagai “a selected line of action or declaration of intens”. Peterson (2003) mendefinisikannya kebijakan public sebagai “government action to address some problem”. B.G. Peters (1993) mendefinisikannya sebagai ‘the sum of government activities, wheter acting directly or through agents, as it has an influence on the lives of citizens’.
Menurut Nugroho (2006) dari definisi-definisi tersebut kita dapat membuat rumusan pemahaman tentang kebijakan public. Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administratur negara, atau administratur publik. Jadi, kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Yang  membuat kebijakan publik adalah pemerintah negara. Di Tingkat nasional adalah seluruh lembaga negara, yaitu lembaga legislatif (MPR, DPR), eksekutif (Pemerintah Pusat, Presiden, dan Kabinet), yudikatif (MA, Peradilan), dan di Indonesia ditambah Lembaga Akuntatif (BPK). Di tingkat daerah kota, lembaga administratur publiknya adalah Pemerintah Daerah Kota dan DPRD Kota. Kedua, kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administratur publik. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau golongan yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh masyarakat di daerah itu. Jadi, karena kemacetan di jalanan kota adalah masalah bersama dan bukan lagi masalah pemilik mobil atau mereka yang menggunakan jalan saja, hanya kebijakan publik yang dapat mengatasi masalah.
      Beragam pengertian mengenai kebijakan public ini dihindarkan, karena kata kebijakan (policy) merupakan penjelasan ringkas untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan keputusan-keputusan, penerangan, dan evaluasinya. Telah banyak upaya untuk mendefinisikan kebijakan publik secara tegas dan jelas, namun pengertiannya tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang seringkali tumpang tindih, ambigu, dan luas. Beberapa kalangan mengartikan kebijakan publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Sebagian lagi, mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman, acuab, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
      Setiap perundang-undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan Gunn (1990) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial (misalnya Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik. Karena kebijakan mereka tidak dapat memakai sumberdaya pubik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat dan berhak menggunakan uang dari pajak tersebut untuk mendanai kegiatan pembangunan. Hal yang sama tidak dapat dilakukan oleh LSM, Karang Taruna, atau PKK.
      Mengacu pada Hogwood dan Gunn (1990), kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1)      Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.
2)      Proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.
3)      Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah.
4)      Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.
5)      Keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.
6)      Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y.
7)      Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.
      Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan. Bahkan di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi (Winarno, 2004; dalam Suharto, 2007).
      Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang (Winarno, 2004). Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebjiakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil. Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara berkembang cenderung lebih sederhana dibandingkan  dengan negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di negara-negara maju setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Karena proses dan struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju lebih kompleks.
   Istilah lain untuk pemain kebijakan adalah stakeholder kebijakan. Stakeholder (pemangku kepentingan) yang dimaksudkan di sini adalah inidvidu, kelompok atau lembaga yang memiliki kepentingan terhadap suatu kebijakan. Stakeholder kebijakan bisa mencakup aktor yang terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik, para penerima manfaat, maupun para korban yang dirugikan sebuah kebijakan publik. Dengan demikian, stakeholder kebijakan publik bisa mereka yang mendukung ataupun yang menolak. Dalam garis besar, stakeholder kebijakan publik dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok (Putra, 2005), yaitu:
1)      Stakeholder Kunci:
Mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder kunci mencakup unsur eksekutif sesuai tingkatannya, legislatif dan lembaga-lembaga pelaksana program pembangunan. Misalnya, stakeholder kunci untuk suatu kebijakan di bidang pendidikan di tingkat kabupaten adalah: (a) Pemerintah Kabupaten; (b) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten; dan (c) Dinas Pendidikan yang membawahi langsung program-program pendidikan di daerah tersebut.
2)      Stakeholder Primer:
Mereka yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer bisa mencakup: (a) masyarakat yang diidentifikasi akan tekena dampak, baik positif maaupun negatif; (b) tokoh masyarakat; dan (c) pihak manajer publik, yakni lembaga atau badan publik yang bertanggungjawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan.
3)      Stakeholder Sekunder:
Mereka yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek, namun memiliki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah. Kelompok-kelompok krritis, organisasi profesional (PGRI, IDI, HIPMI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial (Ormas), dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat dikategorikan sebagai stakeholder sekunder.
      Menurut Lester dan Stewart (dalam Winarno, 2007), ada dua model kebijakan yang dianggap paling baik, yaitu:
1)      Model Elitis:
Di sebagian besar negara berkembang atau negara-negara Dunia Ketiga yang mendasarkan pada sistem otoriter, seperti misalnya Kuba, Korea Utara, dan Indonesia pada masa Orde Baru, model elit merupakan model yang cukup baik untuk menjelaskan pembentukkan kebijakan publik yang berlangsung di negara-negara itu. Jika ditelusuri, konsep kontrol elit atas sistem politik telah ada pada jaman Kuno, seperti halnya keberadaan teori elit itu sendiri. Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Kebijakan publik merupakan produk elit, yang merefleksikan nilai-nilai mereka untuk penguatan kepentingan-kepentingan mereka.
Dye dan Zeigler (Winarno, 2007) berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai-nilai dari para elit yang berkuasa. Seringkali dikatakan bahwa kebijakan publik merefleksikan tuntutan-tuntutan dari rakyat, namun apa yang dikatakan itu adalah mitos, bukan merupakan realitas kehidupan masyarakat demokratis, seperti di Amerika Serikat. Menurut Dye, teori elit mengatakan bahwa rakyat mempunyai perilaku apatis, dan tidak memiliki informasi yang baik tentang kebijakan publik. Oleh karena itu, sebenarnya para elit membentuk opini masyarakat luas mengenai persoalan-persoalan kebijakan dan bukan masyarakat luas membentuk opini elit. Dengan demikian, para pejabat publik dan birokrat hanya sekedar menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh para elit. Kebijakan-kebijakan publik mengalir dari para elit ke masyarakat luas. Jadi, kebijakan-kebijakan publik itu bukan berasal dari tuntutan-tuntutan dari masyarakat luas.
Dye dan Ziegler memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut model ini, sebagai berikut:
(a)    Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
(b)   Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya tingggi.
(c)    Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkeseimbangan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah.
(d)   Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar  sistem sosial dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu.
(e)    Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif.
(f)    Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit memengaruhi massa yang lebih besar.

2)      Model Pluralis:
Berkebalikan dengan model elit yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik, maka model pluralis lebih percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Di negara-negara berkembang model elitis akan cukup memadai untuk menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di negara yang mendasarkan diri pada sistem demokrasi, terlebih demokrasi pluraris seperti di Amerika Serikat.
Pandangan-pandangan plurarlis disarikan oleh ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan pluralis dapat dirangkum dalam uraian berikut:
(a)          Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-indiviu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
(b)         Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, namun hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini dibuat, maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.
(c)          Tidak ada pembedaan yang tetap di antara elit dan massa. Inidvidu-individu yang berpartisipsi dalam pembuatan keputusan dalam suatu waktu tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain. Individu masuk dan keluar dalam partisipasinya sebagai pembuat keputusan digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif dalam politik.
(d)         Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kekayaan merupakan aset dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aset politik yang ada.
(e)          Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
(f)          Kompetisi dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang dicapai di antara kompetisi pemimpin-pemimpin politik.
      Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006; dalam Suharto, 2007): ”In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people`s live by providing a range of income support, community services and support programs” (Secara singkat kebijakan social menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), juratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sbagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Suharto, 2006).
      Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial bernetuk perundang-undangan.
1)      Peraturan dan Perundang-undangan:
Pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.
2)      Program Pelayanan Sosial:
Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang,Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang,perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial (konseling, advokasi,  pendampingan).
3)      Sistem Perpajakan
Dikenal sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan suransi sosial (social insurance) adalah dua bentuk jaminan sosial (social security) yang dananya sebagian berasal dari pajak.
Kebijakan sosial seringkali melibatkan program-program bantuan yang sulit diraba atau dilihat secara kasat mata (intangible aids). Karenanya, masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum, kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti bantuan sosial dan asuransi sosil yang umumnya diberikan bagi kelompok miskin atau rentan, adalah contoh kebijakan sosial.
Menurut Martanto (2008) kebijakan sosial dalam prakteknya menaruh perhatian pada aspek redistribusi, produksi, reproduksi  dan proteksi, dan bekerja sebagai tandem kebijakan ekonomi. Kebijakan sosial tidak hanya berurusan dengan ”kausalitas” perubahan-perubahan dan proses-proses sosial; kebijakan sosial juga memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sementara, istilah ”intervensi kolektif” menegaskan adanya aksi-aksi yang bisa juga dilakukan oleh aktor-ektor non-negara dalam bentuk pelayanan dan pengaturan untuk memastikan kecukupan pendapatan, pendidikan yang relevan, perumahan dengan harga terjangkau, kesehatan, dan penghidupan yang kerkelanjutan (Yeates, 2005; dalam Martanto, 2008).
Untuk memudahkan dalam menjelaskan proses, karakteristik, mekanisme, serta menentukan strategi-strategi kebijakan sosial berikut ini model-model kebijakan sosial.

Tabel: Model-Model Kebijakan Sosial
Indikator
Model
Pengertian
Pelaksanaan
Imperatif
Kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial seluruhnya ditentukan oleh pemerintah (social policy is concerned with goverments do, why they do it, and what difference it makes).
Indikatif (Partsipatif)
Kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah biasanya hanya menentukan sasaran  kebijakan secara garis besar, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat atau institusi non-pemerintah.
Cakupan
Universal
Kebijakan sosial yang diarahkan untuk mengatur dan memenuhi  kebutuhan pelayanan sosial warga masyarakat secara menyeluruh, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial.
Selektivitas
Kebijakan sosial yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial warga masyarakat tertentu saja. Prinsip selektifitas menyatakan bahwa pelayanan sosial hanya diberikan  pada mereka yang membutuhkan saja, yaitu mereka yang mengalami masalah dan membutuhkan pelayanan tertentu. Model ini biasanya menggunakan pendekatan mean-test (tes kemiskinan) atau needs-test (tes kbutuhan) untuk menentukan persyaratan mendapatkan pelayanan sosial.
Keberlanjutan
Residua (Kuratif)
Kebijakan sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga alamiah (pasar dan keluarga), yang karena sesuatu sebab, tidak dapat menjalankan peranannya. Pelayanan yang diberikan  bersifat temporer, misalnya bantuan untuk penganggur atau korban bencana.
Institusional (Antisipatif)
Kebijakan sosial tanpa mempertimbangkan berfungsi atau tidak lembaga-lembaga alamiah. Pelayanan sosial yang diberikan bersifat ajeg, melembaga, berkesinambungan.
Sasaran
Katagorikal
Kebijakan sosial yang hanya difokuskan untuk mengatasi suatu permasalahan sosial berdasarkan sektor permasalahan tertentu (spesifik dan parsial).
Komprehensif
Kebijakan sosial yang memfokuskan tidak hanya satu bidang tertentu melainkan bidang-bidang lain yang terkait dengannya dan dirumuskan dalam satu formulasi kebijakan sosial terpadu.
Sumber: Disarikan dari Suharto (2005; dalam Martanto, 2008)


Konsepsi Tentang Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Sosial
1.      Konsep Negara Kesejahteraan
      Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan  bahwa negara mempunyai tugas: (a) mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan; dan (b) mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan diesuaikan satu sama lain  dan diarahkan kepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini (Budiardjo, 2008).
      Negara dapat dipandang  sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Menurut Roegr H. Soltau (Budiardjo, 2008) tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (The freest possible development and creative self-expression of its members). Sedangkan menurut Harold J. Laski menyatakan bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal (Creation of those conditions under which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires).
     Terlepas dari ideologinya, setiap negara menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu: (1) Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator; (2) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat penting terutama bagi negara-negara baru; (3) Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan; dan (4) Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan. Sedangkan menurut Charles E. Merriam, menyebutkan lima fungsi negara, yaitu:  keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, dan kebebasan.
      Ide dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk mengelola semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian diterjemahkan dalam sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan kesejahteraan warga negaranya atau tidak. Masalah kemiskinan da kesehatan masyarakat meerupakan sebagian dari banyak masalah yang harus segera direspons oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan.
      Menurut Barr (1998), pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara kesejahteraan haruslah berkorelasi dengan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi tugas utama yang harus diwujudkan dalam negara kesejahteraan. Menurutnya, ada dua hal yang terkait langsung dengan upaya pembangunan ekonomi: Pertama, perwujudan negara kesejahteraan bukanlah sesuatu yang terpisah dari upaya pembangunan ekonomi. Seperti yang telah dinyatakan, pembangunan ekonomi harus membuat masyarakat semakin sejahtera, bukan sebaliknya. Kedua, tujuan perwujudan negara kesejahteraan bukan hanya karena alasan kesamaan (equality), tetapi juga demi efisiensi dalam proses ekonomi. Idealnya, alasan kesamaan atau pemerataan tidak bertentangan dengan tujuan efisiensi dalam ekonomi. Dua hal ini menjadi bagian dari tujuan-tujuan kesejahteraan. Dalam mendesain sebuah negara kesejahteraan, ada dua pertanyaan penting yang harus digarisbawahi, yaitu: Pertama, apa tujuan dari sebuah kebijakan?, dan Kedua, Dengan metode apa tujuan tersebut dapat dicapai?. Dua pertanyaan ini paling tidak dapat menjelaskan apakah sebuah kebijakan satu negara betul-betul berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat atau tidak.
      Negara kesejahteraan menurut Goodin (1999) sering diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait ert dengan kebijakan sosial-ekonomi yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum. Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan kerja.
      Barr (1998) mengidentifikasi beberapa hal penting ketika kita bicara mengenai peran negara kesejahteraan. Beberapa hal itu adalah: Pertama, bahwa sumber kesejahteraan masyarakat tidak hanya berasal dari negara. Hal Kedua, yang patut diperhatikan dalam sistem negara kesejahteraan adalah bahwa cara penyampaian (modes of delivery) sumber daya kesejahteraan juga beragam. Menurutnya, penyampaian manfaat kesejahteraan itu, misalnya, bisa dilakukan dengan cara memberikan pelayanan gratis (seperti pelayanan kesehatan tanpa biaya) atau memberikan uang lewat peringanan pajak, dan sebagainya.
      Ada beberapa alasan mengapa suatu pemerintahan memiliki sistem negara kesejahteraan. Alasan-alasan tersebut menjadi tujuan sekaligus juga menjadi alat ukur kesuksesan dalam menjalankan sistem negara kesejahteraan. Goodin (1999: 22) menyebutkan bahwa terdapat Enam hal yang dijadikan sebagai alasan mengapa memilih negara kesejahteraan, yaitu: Pertama, adalah untuk mempromosikan efisiensi ekonomi (promoting economic efficiency) ; Kedua, untuk mengurangi kemiskinan (reducing proverty); Ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (promoting social equality); Keempat, mempromosikan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial (promoting social integration and avoiding social exclusion); Kelima, mempromosikan stabilitas sosial (promoting social stability); dan Keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian individu (promoting autonomy).

2.      Konsep Pembangunan Sosial
      Para pakar pembangunan dalam mendefinisikan pembangunan social mereka pada umumnya berangkat dari sudut pandang yang berbeda-beda, Namur  pada dasarnya  mereka memiliki dasar pemikiran yang sama terhadap pembangunan social tersebut (Sunusi, 1989). Menurut Midgley (1995) pembangunan sosial adalah: “As a process of palnned social change designed to promote the well-being of population as awhole in conjunction with a dinamic process of economic development”. Dari pengertian ini ada beberapa aspek kunci yang dapat memperdalam pemahaman kita tentang pembangunan sosial, yang meliputi:
(1) Linked to economic development, bahwa pembangunan sosial tersebut tidak terlepas dari hubungannya dengan pembangunan ekonomi. Walaupun pembangunan sosial sama dengan pendekatan-pendekatan sosial lainnya yang memfokuskan pada permasalahan sosial, implementasi kebijakan dan program sosial dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, namun pendekatan pembangunan sosial ini berisi proses-proses pembangunan;
(2) Pembangunan sosial memiliki interdisciplinary focus, yang menggambarkan wawasan berbagai keilmuan sosial. Menggambarkan suatu wawasan interdisipliner berarti pembangunan sosial menawarkan suatu dasar interdisipliner dalam menganalisis dan menangani permasalahan sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial juga membantu perkembangan kemampuan negara-negara berkembang untuk bekerjasama pada tingkat nasional dan internasional;
(3) Pembangunan sosial juga mengandung pengertian adanya proses. Pembangunan sosial sebagai suatu konsep yang dinamis berarti gagasan-gagasan seperti pertumbuhan (growth), perubahan dan lain-lain terjadi secara eksplisit. Dan konsep pembangunan secara eksplisit mempunyai konotasi pengertian positif;
(4) Proses perubahan yang diyakini sebagai pembangunan sosial adalah merupakan progesive in nature. Artinya jika gagasan kemajuan pembangunan sosial tidak dapat lagi menjawab tuntutan perkembangan kehidupan sosial yang ada maka mereka harus berupaya kembali untuk mewujudkan proses perbaikan kesejahteraan manusia;
(5) Bahwa proses pembangunan sosial merupakan Interventionist. Pakar pembangunan sosial menolak suatu pendapat yang mengatakan bahwa perbaikan sosial terjadi secara alami yang merupakan hasil dari ekonomi pasar atau sebagai hasil dari kekuatan historis yang tidak dapat dihindari;
(6) Tujuan pembangunan sosial tidak terlepas dari berbagai strategi-strategi. Strategi-strategi ini berupaya apakah itu langsung atau tidak langsung menghubungkan intervensi sosial dengan usaha-usaha pembangunan ekonomi, karena adanya suatu perbedaan diantara mereka, yaitu keyakinan dan ideologi;
(7) Pembangunan sosial dikaitkan dengan semua penduduk baik di dalam arti inclusive maupun universalistic. Karena pembangunan sosial tidak memfokuskan atau mengutamakan orang-orang yang sangat memerlukan secara individual, tetapi lebih menekankan pada inclusive dan universalistic; dan
(8) Bahwa pembangunan sosial berupaya meningkatkan social welfare. Pengertian kesejahteraan sosial (social welfare) yang dimaksudkan disini adalah berkaitan dengan suatu kondisi sosial bilamana masalah-masalah sosial dapat diatasi secara memuaskan, kebutuhan sosial dapat terpenuhi dengan baik, memilki rasa aman dalam hidupnya dan kesempatan-kesempatan sosial terbuka secara bebas.
      Pembangunan sosial meliputi aspek-aspek yang sangat luas, dan pendidikan merupaka aspek yang paling luas dibandingkan dengan aspek-aspek yang lain. Aspek-aspek yang lainnya mencakup program-program seperti: kesehatan, keluarga berencana, gizi, perbaikan perkampungan miskin, air minum di kota dan perubahan yang lebih baik untuk kemiskinan. Dalam pengertian ini terlihat bahwa pembangunan sosial tidak hanya bersifat inclusive atau universalistic tetapi juga ditujukan pada orang-orang atau kelompok yang sangat memerlukan atau miskin secara individual.
      Tujuan dari pembangunan sosial  pada dasarnya adalah development of the well-being of the people (Adi, 2002:147). Berdasarkan tujuan tersebut maka penekanan dari pembangunan sosial pada dasarnya adalah pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development). Sehingga terlihat kesamaan pola gerak dari pembangunan sosial dan pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development), yaitu pada upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, dengan memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan manusia itu sendiri.
      Dalam kaitan dengan hubungan antara pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi, Payne (1997, dalam Adi, 2002)  menyatakan bahwa pada beberapa negara yang pembangunan  ekonominya sudah baik (well developed), isu mengenai pembangunan sosial dan ekonomi lebih mengarah pada pembangunan di dalam wilayah perkotaan (inner cities), pengurangan wilayah industri dan perencanaan lingkungan. Bila dilihat di negara-negara tersebut di atas, maka hal yang dibahas lebih mengarahkan pada hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Hal ini agak berbeda dengan negara-negara yang pembangunan ekonominya masih relatif kurang baik (under developed) seperti Indonesia, fokus perhatian pembangunan sosial dan ekonomi lebih mengarah pada pengurangan angka kemiskinan ataupun program pengentasan kemiskinan, sehingga tidak jarang isu pelestarian lingkungan hidup hanya menjadi isu sampingan belaka, dan bukan menjadi isu utama.
      Perbedaan pandangan dalam melihat fokus pembangunan juga terlihat dalam menginterpretasikan pengertian people-centerd development  dengan pendekatan sustainable development (pembangunan yang berkesinambungan). Pada negara yang relatif belum berkembang (under developed), seperti Indonesia, pengertian people-centered development seringkali hanya diputus pada pengertian pembangunan yang menempatkan manusia sebagai prioritas dalam pembangunan, sedangkan pengertian berkesinambungan (sustainable) lebih diarahkan pada berkesinambungannya program pembangunan yang dijalankan oleh para pelaku perubahan (change agents) baik mereka dari pihak lembaga pemerintah maupun bukan pemerintah.
      Dari pendekatan people-centered development  tergambar akan pentingnya sinkronisasi antara pembangunan yang memfokuskan ekonomi dan ekologi, serta keadilan. Dalam pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia di dalamnya juga terdapat unsur partisipasi, demokrasi dan transparansi.

Penutup: Pembangunan Sosial di Era Desentralisasi (Otonomi Daerah)
      Menguatnya desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan social. Desentralisasi yang terutama digerakkan oleh globalisasi pada aras internasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi pembangunan kesejahteraan social di daerah. Tanpa sikap dan komitmen yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi dapat menimbulkan jebakan-jebakan bagi strategi dan implementasi pembangunan kesejahteraan social di daerah.
      Pada tahun 2002, Institute of Development Studies, University of Sussex di Inggris melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk pemerintahan di negara-negara berkembang di seluruh dunia. Hasil penelitan tersebut memperlihatkan bahwa dalam satu dasawarsa belakangan ini sedikitnya ada 63 negara berkembang yang sedang mengalami gelombang perubahan formasi kekuasaan dari pemerintahan sentralistik menuju pada system yang lebih dekta dengan warganya (Thamrin, 2005: dalam Suharto, 2007). Indonesia adalah salah satu Negara berkembang yang sedang mengalami transformasi kekuasaan seperti itu. Sejak runtuhnya Orde Baru, gelombang reformasi telah mengubah format politik dan sistem pemerintahan di tanah air. Kewenangan pemerintahan yang tadinya sangat terpusat di Jakarta kini semakin terdistribusi ke pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi.
      Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal. Nanum dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu tidak terlalu memuaskan. Umumnya argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme, mendaerahkan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), dan men-KKN-kan daerah. Bahkan argumen yang lebih pesimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi bangsa (Suharto, 2007).
      Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat, bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005), hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasistas organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi. Mengutip pengamatan Manor, Gaventa menyatakan bahwa ”belum ada bukti tentang elit lokal yang lebih bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di atasnya”.
      Desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat pembangunanan, khususnya pembangunan bidang sosial apabila tanpa adanya good governance dan akuntabilitas. Menurut Suharto (2007) terdapat tiga isu utama yang mendasari aksioma ini, yaitu:
1)      Money follows function atau Function follows money?
Idealnya, Undang-undang Pemerintahan daerah yang baru berpedoman pada prinsip money follows function, uang mengikuti kewewnangan. Artinya, otonomi daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Asli Daerahnya (PAD), melainkan oleh kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai dengan kebutuhan. Setiap daerah dipersilahkan menentukan kewenangannya masing-masing. Namun dalam prakteknya, prinsip function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang memiliki prosentase PAD yang besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan yang besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki PAD yang rendah memiliki otonomi yang rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5% atau 10% saja dari APBD, Pemda dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan meningkatkan PAD lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi meningkatkan) kewajiban memberi pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi publik.
2)      Pembangunan Ekonomi dulu baru kemudian Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah kerapkali menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan sosial hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan bahkan meniadakannya sama sekali. Alasanya, pembangunan kesejahteraan sosial dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi (PAD) telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linear berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan soail.
3)      Godaan Lokalisme dan Primordialisme
Sudah menjadi rahasia umum, di beberapa daerah, institusi-institusi kesejahteraan sosial digabung, dirampingkan atau dihapus dengan alasan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Tanpa menghiraukan konsepsi dan substansi kesejahteraan sosial yang benar, ada suatu daerah yang menggabungkan bidang kesejahteraan sosial dengan urusan kebakaran, pasar atau pemakaman. Di daerah yang lain lagi, primordialisme yang terlalu dominan tidak jarang mengesampingkan prinsip meritokrasi dan kompetensi sumberdaya kesejahteraan sosial. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga kesejahteraan sosial dipandang sebagai pos yang bisa diisi oleh siapa saja dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang tidak relevan sekalipun.
      Paling tidak terdapat empat faktor kunci yang mendorong sebuah daerah mempromosikan perlindungan sosial sebagai salah satu jalan atau rute peningkatan kesejahteraan warganya, yaitu:
1)      Komitmen elit lokal (pemerintah, DPRD) yang kuat, reformis dan pro-kesejahteraan.
Kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci bagi reformasi pelayanan publik. Para pejabat dan wakil rakyat perlu memiliki pemahaman dan komitmen yang kuat mengenai kebijakan sosial yang pro pembangunan sosial. Pejabat pemerintah dan wakil rakyat harus mampu menterjemahkan kebutuhan warga negara. Mereka harus tanggap dan berpihak kepada rakyat. Kejelasan visi dan kegigihan bupati dan walikota di  Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin, dan Jembrana memberi pesan jelas bahwa kepemimpinan merupakan faktor kunci bagi politik anggaran yang pro pembangunan sosial (Suharto, 2007).
2)      Good Governance
Tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel mendorong adanya partisipasi publik dalam proses perencanaan dan penganggaran sebuah kebijakan publik yang difokuskan bagi pembangunan sosial.
3)      Reformasi Birokrasi dan Anggaran Daerah
Suatu birokrasi yang lebih efisien, insentif yang lebih memadai, struktur birokrasi yang ramping dan fungsional. Reformasi ini berhasil memotong high cost bureaucracy sehingga anggaran bisa direlokasi untuk keperluan yang lebih produktif, termasuk membiayai pelayanan publik untuk rakyat.
4)      Partisipasi masyarakat
Keterlibatan rakyat memberi kontribusi penting bagi upaya-upaya promosi kebijakan, dukungan atas kebijakan, aksi-aksi sukarela dalam implementasi di lapangan. Temuan IRDA dan The Asia Foundation memperlihatkan bahwa partisipasi komisi-komisi ekstra negara mampu memberi desakan kepada pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik; partisipasi perempuan juga telah melahirkan kepekaan kebijakan Pemda terhadap kesehatan ibu dan anak.
****
Daftar Pustaka

Abidin, Zainal Said. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.

Adi, Isbandi Rukminto.2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Adi, Isbandi Rukmianto. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Arif, Sritua. 1998. Teori dan Kebijakan Pembangunan. Jakarta: CIDES.
Asrinaldi, Demokrasi dalam Pilkada. http://www.seputar indonesia.com/edisicetak/opini/demokrasi-dalam-pilkada.h.

Barr, Nicholas. 1998. The Economics of The Welfare State. California: Stanford Univeristy  Press.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Clark, John. 1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Danim, Sudarwan. 2005. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara.

Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negra Berkembang: Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia.

Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Friedlander, Walter A. 1997. Concepts and Methods of Social Work. New Delhi: Prentice-Hall.

Goodin, Robert E. 1999. The Real Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press.

Hardimen F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Johnson, Louise C. 1986. Social Work Practice, A Generalist Approach. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Kartasasmita, Ginadjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga.

MacPherson, Stewrt. 1987. Kebijakan Sosial di Negara Ketiga. Jakarta: Aksara Persada.

Martanto, Ucup (ed.). 2008. Kebijakan Sosial Kesejahteraan. Yogyakarta: Fisipol UGM.

Maskun, Sumitro. 1995. Pembangunan Masyarakat Desa: Asas, Kebijaksanaan, dan Manajemen. Yogyakarta: Media Widya Mandala.

Muhadjir, Noeng. 2004. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research: Integrasi Penelitian, Kebijakan, dan Perencanaan. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, G; & Goodman D.J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Predana Media.

Simarmata, Henry Thomas (ed.). 2008. Negara Kesejahteraan & Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina.

Siporin, Max. 1975. Intoduction to Social Work Practice. New York: MacMilln Publishing.

Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kabijakan Sosial. Bandung: ALFABETA.

Suharto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik:  Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare) di Indonesia. Bandung: ALFABETA.

Sunusi, M. 1998. Agenda Reformasi Pembangunan Sosial. Makalah: Seminar dan Kongres Nasional Pekerja Sosial Profesional Indonesia. Jakarta; 18 Agustus.
Suud, Mohammad. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Triwibowo, D., & Bahagijo, S. 2006. Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses.  Jakarta: Media Pressindho.
*****


Biodata Penulis:

Description: D:\Photo\Photo Postcard\pictures\IMG00514-20100911-1332.jpg

Oman Sukmana, Lahir di Sumedang pada tanggal 09 Pebruari 1966. Menempuh pendidikan S1 di FISIP UNPAD Bandung lulus tahun 1991 dan  S2 Psikologi Sosial Program Pascasarjana UNPAD lulus tahun 1997, saat ini sedang menempuh studi S3 Sosiologi di UGM. Sejak tahun 1991 menjadi dosen Kopertis VII Surabaya dpk pada FISIP UMM, pernah menjadi Sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Social FISIP UMM (1998-1999), Pembantu Dekan III FISIP UMM (1999-2009), Anggota Panwaslu Kabupaten Malang (2003-2004). Aktif menulis buku dan bahan ajar, kegiatan penelitian baik internal maupun eksternal, dan melaksanakan berbagai pengabdian pada masyarakat. Buku yang telah diterbitkan antara lain: Etika Profesi Pekerjaan Social (UMM Press, 1999), Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan (Bayu Media, 2003), Sosiologi dan Politik Ekonomi (UMM Press, 2005). Sedangkan bahan ajar yang pernah ditulis antara lain: Psikologi Sosial (2001), Tingkah Laku Manusia dan Lingkungan Sosial (2002), Metode Pekerjaan Social (2006), Psikologi Pariwisata (2007), Bimbingan Sosial Perseorangan & Kelompok  (2008), dan Analisa Statistik social (2009). Prestasi yang pernah diraih antara lain sebagai Dosen Berprestasi FISIP UMM tahun 2008.

*****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar