ANALISIS
TIPOLOGI KONFLIK ANTAR ELIT LOKAL DALAM PEMLIHAN WALIKOTA (PILWALI) KOTA MALANG
Drs. Oman Sukmana, M.Si.[1]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan
menganalisis tipologi konflik antr-elit lokal dalam proses Pilwali Kota Malang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Teknik analisa data menggunakan teknik
deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data utama yang dilakukan adalah
wawancara mendalam (indeepth interview),
observasi, dan dokumentasi. Lokasi penelitian ditentukan di kota Malang.
Subjek penelitian ditentukan secara purvosive,
yaitu Tokoh Elit Lokal kota Malang yang
meliputi: (1) Tokoh Partai; (2) Tokoh
Masyarakat; (3) KPUD Kota Malang;
(4) Panwaslu Kota Malang; (5) LSM.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum tipe konflik yang terjadi antar-elit lokal dalam proses
Pilkada kota Malang adalah meliputi: (1) Konflik prosedural (procedural
conflict); (2) Konflik Sederhana, yaitu Personal
versus personal; (3) Konflik
ekssternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang
lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (4)
Konflik eksternal, dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan
orang lain karena dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain;
dan (5) Konflik dalam organisasi, yakni yang sifatnya Interpersonal conflict.
Sedangkan model resolusi konflik yang digunakan dalam penyelesaian
konflik adalah: (1) Kompromi (Compromise);
(2) Subjugation atau Domination;
(3) Integration (integrasi); dan (4) Withdrawal (Pengunduran diri).
Kata kunci: Elit Lokal, Tipologi Konflik, Resolusi
Konflik
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan
menganalisis tipologi konflik antr-elit lokal dalam proses Pilwali Kota Malang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Teknik analisa data menggunakan teknik
deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data utama yang dilakukan adalah
wawancara mendalam (indeepth interview),
observasi, dan dokumentasi. Lokasi penelitian ditentukan di kota Malang.
Subjek penelitian ditentukan secara purvosive,
yaitu Tokoh Elit Lokal kota Malang yang
meliputi: (1) Tokoh Partai; (2) Tokoh Masyarakat; (3) KPUD Kota Malang; (4)
Panwaslu Kota Malang; dan (5) LSM.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan
menganalisis tentang koflik antar-elit lokal dalam proses Pilwali di Kota
Malang. Untuk membatasi lingkup
penelitian, maka masalah penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek berikut:
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis tentang koflik
antar-elit lokal dalam proses Pilwali di Kota Malang. Secara rinci maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
(1)
|
|
(2)
|
|
(3)
|
|
(4)
|
Menganalisis tentang Tipologi konflik antar-elit lokal di kota
Malang.
|
Konflik mengandung
pengertian "benturan ", seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan
pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan
kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik terjadi
antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama. Ada berbagai teori penyebab
konflik, misalnya teori hubungan masyarakat mengganggap bahwa konflik disebabkan
oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sedangkan teori negosiasi prinsip
menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan
perbedaan-perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami
konflik. Selanjutnya teori elit memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam
dua kategori: (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang
ditakdirkan untuk diperintah. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat
dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit
yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elite)
(Varma, 1987:199).
Konsep dasar teori elit mengemukakan bahwa
di dalam kelompok penguasa (the rulling class) selain ada elit yang berkuasa
(the rulling elit) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui
massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam
hal ini massa memegang sejenis kontrol jarak jauh atas elit yang berkuasa,
tetapi karena mereka tidak begitu acuh dengn permainan kekuasaan, maka tidak
bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya
Nurhasim (2005) membagi elit ke dalam dua
kategori yaitu: (1) elit politik lokal; dan (2) elit non-politik lokal. Elit
politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik
(kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan
dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki
jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan
politik. Contoh Elit politik: gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota
DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik. Elit non-politik adalah seseorang
yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk
memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti:
elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain
sebagainya.
Konflik biasanya
merujuk pada keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok dengan identitas yang
jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu atau lebih kelompok lain
karena kelompok-kelompok ini mengejar atau berusaha mencapai tujuan.
Pertentangan tersebut polanya dapat hanya sebatas pertentangan nilai, atau
menyangkut klaim terhadap status (jabatan politik), kekuasaan, dan atau
sumberdaya-sumberdaya yang terbatas; serta dalam prosesnya seringkali ditandai
oleh adanya upaya dari masing-masing pihak untuk saling menetralisasi,
menyederai, hingga mengeliminasi posisi/eksistensi rival/lawannya. Konflik akan
merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang
masing-masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan
bersama, atau setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya ke
posisi yang lebih tersubordinasi.
Untuk melihat
faktor penyebab, motif dan kepentingan politiknya, konflik elit politik dapat
dipahami dari berbagai dimensi, yaitu: dari pengertian konflik diartikan
sebagai pertentangan yang terbuka antar kekuatan-kekuatan politik yang
memperebutkan kekuasaan. Pengertian konflik di sini merujuk pada hubungan antar
kekuatan politik (kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa
memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Selain itu ada faktor struktur
masyarakat yang mengandung deprivasi relatif yang belum menopang upaya
pengembangan kohesi dan integrasi sosial.
Apabila dari sisi
sirkulasi elit, maka sirkulasi elit konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu
sendiri maupun antar kelompok yang berbeda serta antara kelompok penguasa
dengan kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua
kategori yaitu: pertama, pergantian terjadi di antara
kelompok-kelompok yang memerintah sendiri; dan kedua, pergantian
terjadi di antara elit dengan penduduk lainnya. Sementara Mosca melihat bahwa
pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan
kemampuannya dan orang luar di kelas tersebut menunjukkan kemampuan yang lebih
baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas penguasa yang baru. Atas
dasar dua model sirkulasi tersebut, persaingan dan konflik bisa terjadi antar
kelompok yang memerintah maupun antar kelompok pemerintah dengan kelompok
tandingan yang ingin berkuasa. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik
politik sejumlah alat digunakan seperti: organisasi dan jumlah uang (kekayaan),
sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.
2.2. Resolusi Konflik
Galtung sebagaimana dikutip Tubagus
(2001) menawarkan tiga model yang berkaitan satu sama lain yaitu peace keeping,
peace building, dan peace making. Model peace keeping (operasi keamanan) yang
melibatkan aparat keamanan dan militer perlu diterapkan guna meredam konflik
dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Peace building
adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat
kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi
antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada
kualitas interaksi darpiada kuantitas. Karena itu lima hal yang harus
diperhatikan dalam tahapan ini;
Pertama, inetraksi yang terjadi harus
antara pihak-pihak yang memiliki kesejajaran status. Kedua, adanya dukungan
dari lingkungan sosial. Ketiga komunikasi terjadi secara intim (bukan kasual).
Kempat proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan keilma, ada tujuan
yang hendak dicapai bersama.
Sedangkan peace making adalah upaya
negosiasi antara kelompok kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan. Ada
beberapa metode bisa dipilih pada tahapan negosiasi ini. Pertama, melalui kekerasan,
kedua melalui hukum atau pendekatan konvensional. Pendekatan hukum akan efektif
dilakukan pemerintah yang memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi, negara akan
kehilangan kewenangan dan kewibawaan dalam mengelola negara termasuk
rekonsiliasi sebagai bagian resolusi konflik.
Albert Bandura menyusun beberapa cara pemecahan konflik di dalam kelompok,
sebagai berikut:
- Withdrawal, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan: (1) kami mengalah; (2) kami mendongkol; (3) kami keluar; (4) kami membentuk kelompok kami sendiri.
- Subjugation atau Domination, artinya pihak atau orang yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya.
- Majority Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menentukan keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi; pada hakekatnya majority rule ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.
- Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
- Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub-kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah (halfway).
- Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif, pendekatan penelitian utama
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, sehingga data utama bersifat
kualitatif. Lokasi penelitian di kota Malang. Subjek penelitian ditentukan
secara purvosive, yaitu Tokoh Elit Lokal kota Malang yang meliputi:
(1) Tokoh Partai; (2) Tokoh Masyarakat; (3) KPUD Kota Malang; (4) Panwaslu Kota Malang; dan (5) LSM. Proses
pengumpulan data menggunakan 2 (dua) metode pokok yang saling berkaitan dan
melengkapi, yaitu : (1) Indeept Interviewdan (2) Teknik Dokumentasi.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil penelitian, maka secara
umum dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Hampir semua calon walikota memiliki
posisi yang penting dalam jabatan partai, jabatan politik, dan posisi penting
dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Nurhasim
(2005) bahwa elit lokal dibagi ke dalam dua kategori yaitu: (1) elit politik
lokal; dan (2) elit non-politik lokal. Elit politik lokal merupakan seseorang
yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif
yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang
demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat
lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Contoh Elit politik:
gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin
partai politik. Elit non-politik adalah seseorang yang menduduki
jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain
dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit
organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Tokoh elit politik lokal yang muncul sebagai
kekuatan politik untuk berkompetisi
dalam memperebutkan jabatan politik eksekutif
sebagai Walikota Malang pada proses Pilwali Kota Malang tahun 2008
adalah: (1) Aries Pudjangkoro; (2) Mohan Katelu; (3) Fathol Arifin; (4) Subur
Triono; (5) Peni Suparto; (6) Bambang Priyo Utomo; (7) Hasanudin Latif; (8)
Arif Darmawan; (9) Ahmad Subchan; dan (10) Noor Chozin. Sedangkan kekuatan Partai Politik politik
yang muncul sebagai partai pengusung calon Walikota Malang pada pada proses
Pilwali Kota Malang tahun 2008 adalah: (1) Partai Golkar; (2) Partai Amanat
Nasional (PAN); (3) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); (4) Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP); (5) Partai Demokrat (PD); dan (6) Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
Sedangkan model resolusi konflik yang digunakan dalam penyelesaian
konflik adalah: (1) Kompromi (Compromise);
(2) Subjugation atau Domination;
(3) Integration (integrasi); dan (4) Withdrawal (Pengunduran diri).
TABEL :
ANALISIS KONSEP ELIT LOKAL
DALAM RESOLUSI KONFLIK
PADA PILWALI KOTA MALANG 2008
Subjugation atau Domination, artinya pihak atau orang yang mempunyai
kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya.
|
|||
Kompromi (Compromise) karena tidak cukup bukti.
|
|||
Kompromi (Compromise) karena
tidak cukup bukti.
|
|||
Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang
bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai
kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
|
|||
Subjugation atau Domination, dan Kompromi (compromise).
|
|||
Kompromi (Compromise) karena tidak cukup bukti.
|
|||
Withdrawal, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang
terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan keluar dari kelompok.
|
5. KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Tipologi konflik yang terjadi antar-elit
lokal dalam proses Pilkada kota Malang adalah meliputi: (1) Konflik prosedural
(procedural conflict); (2) Konflik
Sederhana, yaitu Personal versus
personal; (3) Konflik ekssternal,
dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena
dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; (4) Konflik eksternal,
dialami oleh dua orang yaitu insiden antara seseorang dengan orang lain karena
dua pihak memiliki perasaan yang kurang senang satu sama lain; dan (5) Konflik
dalam organisasi, yakni yang sifatnya Interpersonal
conflict. Sedangkan model resolusi
konflik yang digunakan dalam penyelesaian konflik adalah: (1) Kompromi (Compromise); (2) Subjugation atau Domination; (3) Integration (integrasi); dan (4) Withdrawal (Pengunduran diri).
5.2.
Saran
Konflik antar-elit lokal yang terjadi
dalam proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Kota Malang tahun 2008 masih dalam konteks yang wajar dan terkendali.
Kesadaran dan komitmen dari elit local kota Malang merupakan aspek
yang penting dalam upaya resolusi konflik. Oleh karena itu perlu ditingkatkan
dan dijaga terus kesadaran dan komitmen dari seluruh elit local di kota Malang
ini
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dibiayai oleh
Lemlit UMM melalui Proyek DPP UMM
Berdasarkan
Surat Keputusan
Rektor Nomor: E.d/692/BAA-UMM/VIII/2008
Tanggal,
7 Agustus 2008
Terimkasih kepada Rektor UMM dan Kepala Lemlit UMM.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Ian. 2004. Ideologi
Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depan. Yogyakarta: Qalam.
Alfian, dalam pengantar buku Bottomore yang diterjemahkan oleh Abdul Haris,
2006 : Elite dan Masyarakat, Akbar
Tanjung Institute, Jakarta.
Budiarjo,
Miriam. 1991. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Fakih, Mansour. 2004. Masyarakat
Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Haryanto.
1990. Elit, Massa dan konflik. Yogyakarta: Pusat Antar
Universitas-Studi sosial, UGM.
Irwanto. 1998. Focus Group
Discussion :Suatu Pengantar Praktis. Jakarta : Pusat kajian pembangunan
masyarakat - Unika Atmajaya.
Liliweri, Alo. 2005.
Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta:
LKIS.
Moleong, Lexy J. 1998.
Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mardalis. 1998. Metode
Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.
Nurhasim, Moch. (ed.).
2005. Konflik Antar Elit Lokal dalam Pemilihan Kepala Daera. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pruitt, Dean G., &
Rubin, Jeffrey Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rauf, Maswadi & Nasrun,
Mappa (ed.). 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.
Rush, Michael &
Althoff, Philip. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: RajaGrafindo.
Sairin, Sjafri. 2001.
Kredibilitas Pemimpin dalam Model Budaya Yogyakarta. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial “Madani”, Vol. 2, No.
3, Oktober 2001, ISSN 1411-5417.
Salim, Agus (Peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sanapiah Faisal. 2001.
Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Singarimbun, Masri, &
Sofian Effendi (ed.). 1995.
Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Sidel, John T. 2005. Bosisme dan
Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia : Menuju Kerangka
Analisis Baru Tentang Orang Kuat Lokal. Jakarta: Demos.
Soerjono Soekamto. 1986. Sosiologi
: Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press.
Varna, S.P. 1987. Teori
Politik Modern. Jakarta: Rajawali Press.
*****
[1] Drs. Oman Sukmana, M.Si., adalah dosen Jurusan Ilmu Kesejahteraan
Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar